Salam ku untuk pria dari gereja sebrang
Berjas hitam rapi, dengan celana jeans hitam serta sepatu pantofelnya itu
Tak ragu memberi senyum manis seakan member gambaran
Kata-kata tentang perpisahan sejenak untuk berelasi di rumah ibadah masing-masing
Mengingat kembali kala itu kita menelusuri malam dengan cukup dingin
Tepian sungai ialah tempat yang paling manis kita bercerita
Berbagi persfektif akan gereja kita masing-masing yang hampir sama
Cara berargumen tentang apa yang ada difikirmu dan mimpimu ada pesona
Kau pria yang baik dengan tawa yang manis,
Tak kalah dengan kata beriman ketika kita berbicara tentangmu
Suatu bentuk kesempurnaan di mataku tak bisa terelakkan
Hingga akhirnya hati melewati batas berbeda karena kedekatan yang terlena
Mencari segala kemungkinan untuk bisa menggengam tanganmu,
Menatap mata teduh mu dan memberi bahagia
Dengan cara berbeda dari biasanya kita kemarin
Salah satu kemungkinan itu ilah hamper punya banyak kesamaan akan kita
Misalnya adanya perjamuan kudus namun konsekrasinya yang berbeda
Atau sama sama adanya perayaan natal maupun adanya pohon natal
Namun ibadah di hari natal yang berbeda
Paus Pius IV menetapkan dekrit-dekrit konsili 6 Januari 1564 lalu.
Tentang tidak adanya penerimaan reformasi yang membuat kita berbeda
Meski banyak kesamaan yang hamper sama namun ada kata berbeda di setiap kalimat.
Aku kembali sadar tak memaksa iman yang tak bisa.
“Permisi mbak, boleh saya duduk di sini?,” ungkap seorang pria muda
Mengejutkan aku yang sedang duduk di bangku pertama setelah altar
Sedang merenung akan perbedaan
Lalu sisa waktuku 20 menit sebelum misa untuk berbincang dengannya
Yang baru kutemui setelah merenung tadi,
Perlahan pikiran berkata ternyata ada lagi yang sempurna menurut standarku di dalam gereja ku
Tanpa ada kata beda dalam iman.
Biasanya aku pulang berdua denga pria dari gereja sebrang,
Sekarang bertiga adanya pria dari gereja sejalan.
Senang masih bisa menjalin pertemanan walau ada rasa tersembunyi sebelum itu.
Penulis: Eufemia Santi