Pesta demokrasi terbesar di area Universitas X tengah ramai diselenggarakan, mari sebut saja Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemirama). Pemirama merupakan sarana kedaulatan mahasiswa dalam memilih anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) serta Presiden Mahasiswa (Presma) dan Wakil Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Tentu kita pasti tahu bagaimana jalannya proses politik baik itu dalam kawasan kampus hingga nasional sekalipun tetap menjunjung tinggi Asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan adil (Luberjurdil) yang kerap dikenal di area kampus dengan prinsip mandiri, jujur, adil dan lain sebagaiinya.
Pemilihan naiknya sebuah Presiden Mahasiswa serta partai pengikutnya untuk menjabat dan mengkoarkan janji manis diawal sudah pasti akan dikawal oleh panitia Pemirama, yang mana dipegang langsung oleh Badan Pengawas Pemilihan Raya Mahasiswa (Banwasram) bersama Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM) yang terlibat dari berbagai fakultas sebagai perwakilan.
Bagaimana tugas mereka dalam mengawal sebuah keputusan bulat untuk kesimpulan akhir siapa yang akan memimpin sebuah perwakilan suara mahasiswa nantinya. Salah satu tugas mereka ialah verifikasi perolehan suara oleh beberapa mahasiswa yang meluangkan waktunya untuk memilih. Mari terus terang pada sebuah UU Pemirama pasal 26 diantaranya mengawasi seluruh proses penyelenggaraan Pemirama dan mengawasi netralitas semua pihak, sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban apabila ada kesalahan ataupun pelanggaran terhadap salah satu proses penyelenggaraan Pemirama tersebut.
Kasus ini bermula sejak berakhirnya rekapitulasi data oleh KPRM secara langsung setelah pemungutan suara berakhir berdasarkan hasil tabulasi perolehan suara. Terjadi sebuah kericuhan dan beberapa pelanggaran dilakukan. Mulai dari kapasitas saksi yang melebihi batas dan didominasi oleh tim sukses dari fakultas asal calon, pelaksanaannya yang tidak tertib, bahkan yang sangat ditakutkan adalah adanya massa ataupun saksi yang terlihat membawa benda tajam, miras dan miris ruangan dipenuhi oleh asap rokok yang tak henti-henti.
Baca Juga: Politik Kampus atau Kakus?
Bagaimana dikatakan sebuah pemilihan yang menjunjung demokratis jika pada buktinya itu hanya omong kosong belaka, terbukti sangat tidak demokratis, tak tergambar sedikitpun jiwa mahasiswa dengan prinsip yang telah disampaikan di awal, bahkan terlihat jelas politik kotor mengambil peran penting di dalamnya. Mengapa terlihat begitu terobsesi akan hasil rekapitulasi suara itu?
Tidak lain dan tidak bukan semuanya karena ada calon pasangan yang memimpin dan mewakili fakultas tersebut dan dikatakan sebagai orang yang ingin “dimenangkan”. Cara udik dan munafik dilakukan sebagai pembenaran atas cara yang sudah ditetapkan sebagai ketentuan yang salah. Pemungutan suara oleh mahasiswa dilakukan dengan melampirkan foto selfie oleh si pemilih tersebut dengan aturan yang terlampir jelas. Baik itu mode selfie yang harus terlihat jelas keseluruhan, tidak diperkenankan memakai masker, dan tidak diambil dari jarak jauh.
Bahkan dengan adanya peraturan tersebut, pada hasil rapat pleno penghitungan suara masih saja terjadi perbedaan pendapat terkait bukti foto yang dilampirkan sebagai pendukung sahnya sebuah suara itu. Bahkan foto yang gelap, foto dinding, memakai masker, hingga foto yang benar-benar tidak jelas menjadi sah dalam rapat yang berisi manusia tak kenal aturan di dalamnya.
Mahasiswa yang bersuara juga salah satu pemicu masalah ini timbul, yang dengan sengaja memakai foto yang telah diberi peringatan untuk tidak dilakukan inilah yang membuat suara menjadi terhitung tidak sah. Bersuara salah, Golput apalagi. Lalu bagaimana seharusnya demokratis bagi mahasiswa dapat berjalan jika pada akhirnya semua berlandaskan keterpaksaan. Dapat menjadi sebuah penyebab banyaknya suara yang seharusnya terhitung tidak sah adalah karena dorongan “wajib” dari berbagai pihak, baik fakultas atau lingkungan sekitar.
Karena dikatakan kewajiban mengisi suara dan bahkan dipaksa memilih Pasangan Calon yang ditentukan membuat akhirnya para mahasiswa merasa “yang penting sudah vote, aman” tanpa tahu konsekuensi dibaliknya. Siapa yang harus disalahkan dalam keterlibatan paksaan ini. Jalur main belakang dengan embel-embel kating ternyata terlihat manjur.
Bahkan sudah jelas dalam aturan penghilangan perolehan suara akan diberlakukan apabila Calon Anggota, Pasangan Calon dan/atau Tim Sukses/Partai dengan sengaja menghujat dan mencela calon lain dengan maksud merusak nama baik calon lain, dengan sengaja mempengaruhi orang lain dengan cara ancaman agar tidak memilih Calon Anggota dan Pasangan Calon yang dimaksud dan dengan sengaja melakukan kekerasan dan penganjuran kekerasan pada seseorang atau kelompok mahasiswa, Calon Anggota dan/atau Pasangan Calon lain. Namun, perbedaan pendapat sedikit saja langsung dibumbui oleh adu mulut dan kekerasan. Betapa indahnya politik kampus yang penuh dusta ini.
Baca juga: Pengumuman Hasil Pemungutan Suara Pemirama Diwarnai Kericuhan
Beberapa panitia terlihat ingin melerai namun sayang, mereka lebih sayang pada nyawanya yang ditakutkan akan ikut terlibat dalam perkelahian di dalamnya. Suara forum di dalamnya terdengar liar bahkan 1 suara berkata tidak setuju dengan kesepakatan yang telah disetujui menjadi sebuah boomerang pada jalannya rapat hasil rekapitulasi suara.
Bagaimana mahasiswa, sudah belajar demokratiskah kamu? Atau kamu salah seorang pelaku yang disebut sejak awal? Belajar lah demokratis sejak hal yang sederhana, dari situlah dirimu paham bagaimana bisa si picik dan si licik terlihat kompak dalam waktu bersamaaan.
Penulis: Anonim
**Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com