Kedatangan gadis hujan tak bisa ditebak. Ia hadir sesukanya. Tolong Kirimkan sejumput salam sehangat mentari pada si gadis hujan itu.
Katakan padanya, hai engkau lupa dengan payungmu. Lalu ia menoleh dan berkata, jangan menghinaku dengan kata yang rendah, aku adalah gadis hujan. Kenapa kau malah menyuruhku membawa payung. Aku mulai berpikir wanita ini tidak biasa, padahal tangan kirinya menggenggam sebuah payung berwarna hitam dan kemudian langsung memakainya, seolah sedari tadi ia terlupa untuk memakai payungnya itu.
Payung hitam? aku bahkan mulai menyukai gadis hujan itu. Menyukai caranya melangkah datang, gayanya yang tenang juga wajahnya yang tak pernah jelas terlihat karena tertutup payung hitam kamisan.
Payung hitam kamisan itu tetap menutupi pandanganku padanya. “Sebab diam adalah penghianatan,” teriaknya pada siapapun yang berlalu di jalan itu. Tiap-tiap peluhnya menetes membentuk hujan di bundaran bambu itu.
“cekrek,” bunyi kameraku mengabadikan momen itu.
Namun, aku lebih memilih menangkap momen itu dari kejauhan. Pada awalnya, sampai suatu sore sesaat setelah ia datang, hujan turun. Lebih deras dari biasanya,terlalu deras. Aku menatap cemas ke arah seberang jalan, tempat dimana gadis itu berdiri seorang diri dengan memegang sebuah kertas.
Kertas yang bertinta darah itu menarik pandang siapapun yang lewat. “Bebaskan bowo,” tertulis di kertas lusuh itu. “Siapa bowo?,” pikirku. Mungkin dia adalah sosok dibalik awan yang menjadikan gadis hujan terpaksa turun.
Tak lama kemudian datang si pria mendung dengan wajah merah padam…
“apa yang kau lakukan disini ?, Pulang sekarang !!!!,” Teriaknya pada si gadis itu.
Sontak kamera ku langsung tertuju pada hal menakutkan itu, menjepret nya dan tanpa sadar dengan flash menyala.
“Ah sial, ucapku,” sekarang malah dia menatapku dengan tatapan sinis dan menakutkan itu.
Namun dengan cepat-cepat ku pergi ke suatu ruangan untuk segera menyampaikan suatu informasi melalui gelombang-gelombang keraguan untuk hal yang belum tuntas.
Seketika gadis hujan berlari menyambar petir-petir yang memancarkan ketakutan,
“hei jangan pergi nak,” teriak kakek tua bangka di bawah pohon ulin yang sudah sekian lama tumbuh di samping gedung.
Melihat hal tersebut, kakek tua bangka tersenyum simpul melihat gadis tersebut berlari jauh dan makin menjauh.
Hal yang tak perlu kalian tau adalah tentang kakek ini, yang tua darinya bukanlah umur namun pengalaman. Terlihat ia melepaskan tongkat yang menopangnya dan mulai menghidupkan kuda besinya. Terdengar dari jauh suara kematian. “Ninu Ninu Ninu.”
Suara kematian dengan suara rintik hujan bercampur aduk menghilangkan jejak dari sang gadis hujan yang tak tau sudah kemana? kemana? dan kemana?
Kemana larinya gadis cantik nan ayu tersebut? langkah kakinya terlalu cepat untuk dilihat dengan mata yang terhalang butiran air hujan.
“Ah sial, gadis itu sebenarnya manusia apa bukan,” ucapku dalam hati
Niatku ingin mencari nya, namun sayang derai hujan yang begitu dingin membuat kakiku kaku seperti tak terasa.
Dalam hatiku terbesit, sebaiknya aku pulang saja mungkin saja aku akan menemuinya disini esok hari.
Keesokan harinya dan hari-hari berikutnya semenjak kejadian itu, sang gadis hujan tak pernah kunjung lagi datang. beberapa saat lamanya beredar cerita menghilangnya gadis yang penuh semangat itu. namun lambat laun kisah gadis hujan itu dihilangkan dan terlupakan. Ternyata tak selamanya pelangi akan muncul setelah hujan bukan? yang tersisa hanyalah sebuah payung hitam tergeletak diatas jalan yang telah tergenang oleh air hujan.
Penulis: Bambang, Daniel, Endy, Joko dan Nia