Saro’an adalah nama lain dari kondangan bagi masyarakat sambas. Saro’an ini juga dikemas dengan cara yang beda dari kondangan yang ada di bayangan kita. Jika biasanya di kondangan akan diberikan souvenir, makan dengan prasmanan dan duduk dengan nyaman di kursi sambil mendengar lagu yang disenandungkan band akustik. Serta salam-salaman dengan kedua mempelai, tak lupa memasukkan amplop berisikan uang di dalam kotak yang telah disediakan. Namun saro’an ini justru jauh berbeda. Ada perbedaan yang khas sehingga menjadikan saro’an sebagai gaya kondangan yang sangat boleh dicoba. Sebelum itu, mari kita berkenalan sedikit lebih dalam dengan makna “Saro’an”.
Menurut warga asli wilayah Sambas, Saro’an ini diambil dari bahasa Sambas, yaitu nyaro’ yang artinya menyeru atau memanggil. Karena cara mengundang orang-orang untuk datang ke saro’an hanya dengan mengajak satu dengan yang lain atau dari mulut ke mulut. Jadi tak perlu buang-buang kertas hanya untuk menuliskan tanggal dan waktu acara yang akan diadakan. Walau sekarang sudah sedikit canggih, karena cukup mengundang lewat grup keluarga besar di Whatsapp. Istilah saro’an ternyata tidak hanya merujuk pada acara pernikahan, namun semua acara yang mengundang banyak orang seperti khitanan, potong rambut dan sebagainya. Berikut adalah kegiatan yang membuat Saro’an memiliki perbedaan yang khas dari kondangan.
1. Antar Pakatan Sebagai Pengganti Amplop
Setelah diundang ke Saro’an, satu hari sebelum acara diadakan orang-orang akan berdatangan ke rumah yang bersangkutan untuk antar pakatan. Di antar pakatan, nantinya orang-orang yang di saro’ atau diundang akan mengantarkan bahan-bahan makanan untuk dimasak pada saro’an, seperti ayam atau itik dan beras. Bahkan ada yang memberikan daging sapi atau ikan. Mirip dengan memberikan amplop saat kondangan, namun rasanya antar pakatan ini jauh lebih worth it dibanding dengan sekedar memberikan uang.
Baca juga: Bunga-Bunga Di Sekitar Kita Yang Bikin Nostalgia, Masih Ingat?
2. Tidak Perlu Jasa Katering
Selain sebagai jasa penyedia makanan, katering biasanya sekaligus menyediakan peralatannya mulai dari piring, gelas, sendok dan sebagainya. Berbeda dengan Saro’an, justru yang memasak adalah orang-orang yang juga turut diundang (biasanya tinggal di sekitar rumah yang mengadakan Saro’an) dan juga turut meminjamkan peralatan makan mulai dari sendok, gelas, piring dan nampan. Tak heran jika di setiap rumah, semua peralatan makan diberi cat minyak berinisial sang pemilik. Ketika Saro’an telah selesai, mulai dari bersih-bersih piring dan merobohkan tarup juga dilakukan bersama oleh warga sekitar.
Baca juga: Raih Juara 1 Sociopreneur, Reno Pati Bagi Trik dan Tips
3. Makan dengan Saprahan
Mungkin istilah Saprahan ini terasa lebih akrab dibanding dengan Saro’an terkhusus masyarakat suku Melayu. Saprahan merupakan tradisi makan dengan duduk bersama. Biasanya setiap satu sajian lengkap untuk dimakan oleh 5-6 orang. Dalam satu sajian ini hanya diberi dua sendok untuk lauk berkuah, dan para tamu akan makan dengan tangan. Mungkin sebagian masyarakat perkotaan akan menilai cara makan saprahan ini sedikit ‘jorok’ karena untuk mengambil lauknya terutama ayam dengan menggunakan tangan dan air basuh yang disediakan hanya satu tiap satu sajian. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda tradisi saprahan ini memberikan arti yang mendalam seperti kesetaraan karena duduk melantai, berbagi dan kekeluargaan. Ketika makanan masih bersisa, maka akan dikumpulkan dan dibawa pulang oleh orang-orang sekitar sehingga tidak ada makanan yang terbuang.
Saro’an kini semakin jarang ditemukan. Bahkan di sambasnya sendiri, hanya di daerah-daerah tertentu saja yang masih menggunakan tradisi ini. Selebihnya adalah kondangan yang biasa kita jumpai. Banyak nilai-nilai yang bisa diambil dari Saro’an seperti nilai kebersamaan, kekeluargaan dan juga sebagai cara untuk menyambung tali silahtuhramhi. Selain itu juga budget yang dikeluarkan terlampau sedikit ketimbang kondangan-kondangan yang biasanya menyewa gedung-gedung dan juga jasa katering.
Nah, bagaimana? Apakah kalian tertarik untuk ikut jika diundang ke Saro’an?
Penulis: Dewi Ratna Juwita
Editor: Anggela Juniati