mimbaruntan.com, Untan – Mataku terbuka di sepertiga malam yang dingin bukan main. Gawaiku bergetar sejak satu jam yang lalu. Panggilan keluar serta puluhan pesan dari seorang gadis manis di kota yang berjarak puluhan kilo meter dari tempat tinggalku. Sosok yang kucintai padahal belum pernah berjumpa secara raga. Gadis yang selalu berhasil meyakinkanku bahwa jarak bukanlah tolak ukur dalam perasaan. Aku mengusap mataku, rasa kantuk lenyap dalam sekejap. Kalimat-kalimat singkat, marahnya, manjanya, serta tuntutan-tuntutan kecil dari gadis yang sebenarnya bukan tipikal penuntut, berhasil membuaiku. Tersesat aku dalam semestanya yang begitu luas tanpa kuperkirakan.
“Maaf lupa mengabarimu.” Pesanku terkirim lewat aplikasi whatsapp. Tanganku kembali menggenggam erat-erat ponsel yang sudah senyap. Pikiranku melayang, pasti cantikku sudah tidur dengan lelap, mimpi apa cantik? Semoga yang senang-senang saja biar kau tidak kelelahan. Bila perlu tidak usah bermimpi. Semoga AC di kamarmu tidak dingin, kau tidak lupa menggunakan selimut tebal, bukan? Aku harap malam ini kisik angin tidak mengusik tidurmu agar kamu nyenyak. Lalu bangun besok pagi melahirkan antusias yang menggebu.
Aku menaruh harap penuh padamu, jika semuanya tidak berjalan seperti anganku aku tidak akan membencinya. Mungkin nanti akan sedikit kecewa, mungkin sedikit kesal lalu perlahan tidak apa-apa. Semua akan kembali menjadi titik terhebat aku mencintai seseorang. Nama yang selalu kuselipkan untuk masa depan.
“Aku tertidur karena terlalu lelah bekerja. Bukan mengeluh ataupun berniat memberimu beban, aku hanya ingin berbagi hal yang kurasakan. Tidur yang nyenyak cantik, kupastikan besok pagi gadis manjaku ini tersenyum amat manis. Aku ingin menyaksikannya secara langsung bagaimana rupa seorang berhasil menghipnotisku dengan mencintainya seperti seorang kecanduan narkotika. Malam ini topik perbincangan dengan Tuhan masih kamu dan tetap kamu, aku harap kedepannya hatiku tetap untukmu. Jangan mendoakanku. Tapi, jika kau mau aku sangat merestuinya. Aku penasaran kau berbincang apa dengan Tuhan malam ini?” Pesan yang begitu panjang tak pernah cukup mengobati rasa rindu yang sudah mengungkung jiwa.
Aku merasa bersemangat kembali, seperti robot yang sudah terisi daya penuh. Langkah kakiku bergerak leluasa menuju meja belajar, membuka laptop dan menulis surat elektronik untuk kesekian kalinya aku selalu memacu otakku untuk berpikir kritis menyiapkan kejutan-kejutan menarik untuk gadis yang selalu menjadi topik perbincangan dengan Sang Pencipta.
“Cantikku? Kali ini di sini, kemarin aku sengaja mencari alamat emailmu, aku menemukannya dengan tidak sengaja sama seperti aku menemukanmu. Aku tau kau akan marah karena aku berhasil membuatmu tersipu dengan pesan elektronik dariku. Hehe, maaf. Selalu sukses membiarkanmu susah terlelap dengan pesan-pesan singkat kita, yang selalu membuatmu candu untuk membaca ulang. Ayah dan Ibu sehat? Aku harap semua sehat dan selalu bahagia. Tidak ingin bertanya bagaimana mertuamu? Hehe mereka sehat. Tadi pagi Ibu bertanya tentang seorang gadis yang berhasil mengarahkan putera bungsunya yang keras kepala ini menuju jalan yang benar haha. “Kapan menantuku diajak ke rumah?” Aku hanya terkekeh kecil begitu beliau bertanya banyak hal seputar aku, kamu dan kita. Orang tuaku dan orang tuamu tidak pernah mengerti perkenalan konyol kita hingga kini rasa berlanjut begitu serius. Boleh aku mempersuntingmu lewat naskah? Kemarin aku membaca buku tua tentang ‘Reinkernasi Benang Merah’ Kau menyukai fantasikan, sayang? Aku membaca banyak hal agar dapat menjadi pendongeng yang baik saat kau memintaku untuk bercerita. Sudah sampai di sini saja untuk hari ini. Besok pagi akanku kirimkan kebahagiaan baru. Dan yang terakhir, sepertinya aku mencintaimu lebih dari perasaan yang ku kendalikan, bahkan isi kepalaku saja tidak dapat ku selami, bagaimana dengan semestamu. Sudah dulu ya cantik, tentang pertengkaran kecil yang kerap membuatmu menangis semoga Tuhan menghukumku setelah ini, apapun aku menerimanya asal jangan dengan perpisahan.”
Baca Juga: Pengantar Tidur Panjang, Kepergian Ayah
Aku mengunci layar ponselku, kemudian melemparnya asal ke pojok kiri kasur. Setelah itu merebahkan raga, menatap langit-langit kamar, beberapa detik sebelum kembali terpejam, kantuk menyerbu lagi, kini kepalaku terasa berat, apa sudah selesai dialog-dialog yang tak bersuara tertumpah? Aku masih ragu dan meninjau ulang. Kau mengadu apa pada Tuhan? Aku penasaran, sungguh. Sejauh ini aku belum bisa memahami dirimu secara utuh, apa yang tidak kau sukai selain aroma durian? Apa yang membuatmu candu lebih dari manisnya semangka, pantai mana lagi yang ingin kau kunjungi? Warna favorit apalagi selain kuning? Berapa persen kau membenci hitungan? Berapa orang yang berpapasan denganmu hari ini? Aku yakin ada beberapa dari mereka yang diam-diam menyimpan rasa padamu. Kenapa kamu ingin denganku, boleh aku takut jika suatu saat kau meninggalkanku? Sederet kalimat yang sama setiap hari kurapalkan untukmu, aku harap tak membebani. Aku hanya kegirangan dengan jawabanmu yang selalu mengatakan “Buktinya sampai sekarang aku masih denganmu, bukan?” Justru itu yang aku suka. Tiada embel-embel ingin dimengerti, kau tidak mengirimiku bahasa dan kode pemograman untuk ditebak. Kecuali saat kau mulai ragu dengan perasaanmu. Bolehkah aku jujur tentang hal ini? Aku telah melihat dunia memperlakukanku dengan tidak adil, seolah aku selalu membual. Kau sengaja membuatku kecewa juga? Sedikit kesal namun banyak cinta, aku yang seharusnya memberikan pengertian malah tertawa gemas dengan tingkahmu. Aku ragu, dapatkah aku menjadi ayah yang tegas untuk anak kita suatu hari nanti? Jika tidak, aku ingin menjadi suami yang penyayang saja.
Baca Juga: Kiat Sukses Menjadi Penulis
Maaf untuk diri ini yang kerap kali terselubung amarah, aku tau ini sangat egois. Saat semua masalah yang menimpaku, layaknya bom waktu yang kapan saja bisa mengenaimu. Aku takut, kamu yang akan hancur dibuatku tak bersisa. Lain kali aku akan mencoba diam, seperti saranmu meskipun benar katamu diam tidak akan menyelesaikan semuanya.
Seharusnya aku yang menyebalkan ini tidak menyeretmu dalam pusaran problematik yang menggerogoti jiwaku, entah kenapa setelah berkeluh kesah denganmu semua terasa lebih enteng. Meski tiada yang berubah setelah itu. Maaf, masalahku terlalu memuakkan, sampai-sampai aku ingin segera mengakhiri hidupku sendiri. Aku akan bergumul pada Sang Pencipta agar dapat mengendalikan diri sendiri telebih dahulu. Harapan terbesarku kamu dapat menunggu waktunya, ini bukan pekerjaan yang mudah. Kuserahkan padamu bagaimana menyelesaikan kita. Tetapi kau selalu menolak untuk pergi dari sosok yang layak dicampakkan sepertiku, terima kasih sudah sangat bersabar denganku yang keras kepala. Sering tak ingin kalah saat berargumen, kau jenuh bukan? Aku tau itu. Bisa bertahan sedikit lagi? Kau sudah cukup baik hanya si konyol ini yang kurang bersyukur.
Pukul dua pagi kepalaku masih menjadi stasiun paling sibuk, lalu lintas paling ramai. Tak pernah selesai dengan monolog batin setiap malam menjelang terang pikiran mencambuk batinku menolak untuk beristirahat jika topik itu tentangmu, logika pancangkara bersama afeksi. Jangan berakhir sebelum temu.
Maaf, karena hanya mampu mengatakan ‘maaf’ di akhir naskah. Mulai sekarang pemuda ini berjanji untuk lebih baik, menjadi sosok yang dapat kau banggakan dan menjadi alasanmu tertawa membuka ponsel kala pagi hari bukan alasanmu mempercepat jam tidur malam atau memulai kesibukan-kesibukan menghabiskan hari untuk menghindari percakapan.
Penulis: Mira Loviana