Bahwa hari ini, pada malam-malam ku yang penuh damba, aku ingin berucap, akankah ini akhirnya?
Tahukah kau jika sejauh ini, mampu bertahan dari bayang-bayang hasratku adalah sebuah perangkuhan. ‘Ah, rasanya tidak juga’ ujar mereka yang tidak tahu betapa ingin aku melilitkan tanganku di sela-sela pundakmu.
Jujur, aku ingin menangis, meraung dan mencakar binar nakal pada matamu itu. Berani-beraninya ia masuk, merasuk dan mengambil yang tak seharusnya ia miliki. Tapi bukankah ini tak hanya salahmu, sepenuhnya. Jelas saja aku menyangkal, sebab tak menyangka kalau keberadaanmu dalam impresiku adalah hal paling tabu. Karena aku tak memelawa, pula tak memberikan izin pada siapapun, tapi kamu, dengan tidak tahu diri mendobrak batas yang sudah aku labeli. ‘dasar pembangkang!’ teriakku padamu.
Bagian paling menyenangkan adalah ketika mataku bertaut dengan netramu, seolah tiada siapapun yang bisa merusak ikatan itu. Sayangnya, lagi-lagi ini hanya tentang aku dan ilusiku. Rupanya aku tenggelam dalam bualan paling nyata yang kuciptakan sendiri, dan peranmu memperburuk situasi. Oh, sayang, tidakkah kau tahu bagaimana sulitnya aku merangkak dari serakan hatiku. Lagi-lagi ia tak utuh, sebab ia telah runtuh ketika tahu bahwa dirimu bukan hanya milikku, bukan milikku.
Baca Juga:Hiduplah dengan Tenang
Kau bagai paragraf, yang tak akan mampu kuselesaikan hingga baris terakhir. Atau aku yang terlalu mudah menyerah? Atau karena tak kupunya lagi tinta-tinta untuk merangkai kata per kata yang tersisa. Sayang, sayangku, aku izin menyerah ya?
Sebab yang kulihat adalah aku yang patah sendirian, dan kau tetap berusaha terbang menjauh. Bukankah, tiada lagi yang bisa kugenggam jika inginmu adalah menghilang? Aku ini bukan siapa-siapa, sayang. Hanya kebetulan pernah berada di sekitarmu, dan mungkin akan kau lupakan tanpa ragu.
Maka, sebelum dirimu, kenapa aku tak melakukannya lebih dulu?
Penulis: Himalaya