mimbaruntan.com, Untan – Merujuk pemeringkatan yang dilakukan oleh Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking 2017/2018 dengan empat aspek penilaian, yaitu penelitian, pengajaran, ketenagakerjaan, dan internasionalisasi., Indonesia mendudukan Perguruan Tinggi terbaiknya di posisi 277. Posisi itu diduduki Universitas Indonesia yang meningkat dari tahun lalu di posisi 325. Sedikit membanggakan dengan kemajuannya setahun terakhir, namun lebih banyak mirisnya melihat kampus terbaik di Indonesia hanya mampu duduk di peringkat 300 besar dunia.
Permintaan Jokowi agar Perguruan Tinggi di Indonesia bisa sekelas dengan Perguruan Tinggi, coba diwujudkan Mensristekdikti, M. Nasir dengan mewacanakan untuk “impor” rektor dari luar seperti yang sudah diterapkan oleh China, Singapura dan Arab Saudi. Wacana itu agar gagasan yang digunakan universitas di luar negeri dapat diimplementasikan di Indonesia. Namun hajat itu ditentang berbagai kalangan karena dianggap rektor hanyalah tugas manajerial dan kepemimpinan. Namun jika harus mengrekrut orang luar untuk membantu mewujudkan cita-cita Perguruan Tinggi Indonesia go International adalah dosennya yang akan mengajarkan pola dan sistem pembelajaran seperti yang diterapkan di universitas asing ternama.
Ada beberapa hal yang ditenggarai menjadi penyebab sulitnya Perguruan Tinggi Indonesia untuk mengungguli para tetangganya, apalagi bersaing di lingkup internasional. Pertama, Pendidikan Tinggi yang cenderung permisif dengan kebohongan akademik. Maksudnya adalah membiarkan atau menganggap biasa kecurangan untuk menguntungkan diri pribadi atau kelompok dalam dunia akademik, baik yang dilakukan diri sendiri, kelompok, maupun orang lain.
Hal-hal kecil seperti absensi salah satunya. Saat dosen hanya masuk 11 kali pertemuan, namun diisi penuh dalam jurnal kehadirian. Begitu juga dengan absensi mahasiswa. Melihat Standar Pelayanan Minimum di beberapa universitas di Indonesia, setiap dosen wajib hadir minimal 75% kehadiran. Begitu juga dengan mahasiswa yang jika hadir kurang dari 12 kali pertemuan, tidak akan bisa ikut Ujian Akhir Semester. Namun kadang mahasiswa masih dibingungkan dengan dosen yang masuk kurang dari 12 kali pertemuan, harus berpatokan pada peraturan atau kehadiran dosen.
Kekurangan kehadiran dosen juga bukan tanpa alasan. Kekurangan tenaga pengajar adalah penyebabnya dan ini diakui pula oleh M. Nasir. Hal ini menyebabkan satu dosen harus terbang ke sana kemari untuk mengajar. Dalam satu waktu saja dosen harus mengajar di dua tempat. Itu yang menyebabkan kurangnya kehadiran dosen. Bahkan untuk mengganti kekurangan kehadiran pun sulit karena kesibukan lain.
Masalah kedua, dosen lebih berorientasi sebagai orang yang memenuhi kewajiban mengajar daripada mengabdi atau menjadi peneliti. Sangat sedikit dosen yang berkerasi dengan ilmunya. Adapun dosen yang berkreasi dan menyempatkan melakukan penelitian, jangan hanya untuk mempertahankan jabatan atau mencapai posisi tertentu demi tunjangan.
Agaknya, ini juga bertalian dengan masalah pertama yang menyebabkan terkurasnya sebagian besar waktu dosen untuk mengajar di dalam kelas. Lagi-lagi, jika dibandingkan dengan Singapura, Thailand dan Malaysia, Indonesia hanya makan debu. Data tahun 2014 menunjukkan Indonesia hanya menghasilkan publikasi riset sebanyak 4.200. Sedangkan Thailand dengan 9.500 publikasi, Singapura 17.000 publikasi, dan Malaysia. Itu menjelaskan Indonesia kalah dari ketiga negara jirannya. Padahal dari segi jumlah penduduk, Indonesia jauh lebih unggul yang tentunya juga lebih berpotensi melahirkan lebih banyak kaum intelektual.
Ketiga adalah plagiarisme. Plagiarisme dalam KBBI berarti penjiplakan yang melanggar hak cipta. Ini menunjukkan ketidakmampuan seseorang dalam menunjukkan ide-ide orisinilnya dan lebih memilih menggunakan karya orang lain untuk kepentingannya sendiri. Kasus ini sudah sering terdengar sejak dulu. Namun kembali mengemuka September tahun lalu saat terindikasi banyak kejanggalan pada program S3 di UNJ. Usut punya usut oleh Tempo, ternyata banyak masalah terkait penyelenggaran program S3 yang bekerjasama dengan 13 Perguruan Tinggi dari seluruh Indonesia.
Plagiarisme seperti fenomena gunung es di dunia akademik di Pendidikan Tinggi. Mulai yang paling sederhana saat mengerjakan tugas kuliah seperti laporan, dan makalah sampai yang menentukan kelulusan dan gelar seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Tak hanya mahasiswa, akademisi lain seperti dosen dan guru besr sekalipun tercatat pernah melakukan tindakan plagiarisme. Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada guru besar hubungan internasional Universitas Katolik Parahyangan yang artikelnya dimuat di harian The Jakarta Post edisi 12 November 2009. Sebagai sanksi, jabatan guru besarnya dicabut dan dia mengundurkan diri.
Masalah keempat adalah APBN yang disediakan untuk pendidikan tinggi terbilang kecil. Dari 444,1 triliun rupiah dana yang digelontorkan untuk sektor pendidikan, Kemenristekdikti yang menaungi pendidikan tinggi di Indonesia hanya kebagian sekitar 9 persen atau 40,39 triliun. Angka itu terbilang minim untuk cita-cita yang tinggi. Sementara “beban” yang digantungkan di pundak kemenristekdikti cukup berat, di antaranya membuat pendidikan tinggi di Indonesia berkelas dunia dan meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi.
Angka Partisipasi Kasar pendidikan tinggi di Indonesia masih terbilang rendah dibanding Singapura dan Malaysia. Di tahun 2017, berada APK di angka 31,75 persen dan mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya. Itu juga menjadi masalah karena banyak manusia-manusia potensial yang tidak bisa masuk perguruan tinggi.
Banyak faktor menjadi penyebab rendahnya APK Perguruan Tinggi kita. Mulai dari mindset yang terbentuk di masyarakat bahwa pendidikan tinggi hanya untuk orang berada sampai kendala informasi. Terlebih lagi melihat banyak sarjana yang menganggur sehabis kuliah membuat pandangan tidak ada bedanya orang yang kuliah dan lulus SMA, hanya ijazah dan titel saja yang membedakan. Kemenristekdikti sedang berupaya meningkatkan APK melalui beasiswa hingga kuliah dalam jaringan (daring). Hal ini dilakukan demi meningkatkan APK yang tahun ini ditargetkan mencapai 32,05 persen dan 32,55 persen di tahun 2019.
Akhirnya seperti Perguruan Tinggi di luar, kita harus mengupayakan bagaimana mengembangkan Perguruan Tinggi agar memproduksi luaran yang berkualitas baik. Hal ini bisa dengan konsep yang lebih fleksibel, efektif, serta kontekstual. Output yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan, dapat mengaplikasikan ilmunya dan bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Penulis: Aris Munandar