Pahitnya kopi tak lagi kurasakan. Satu detik berlalu bagai seabad, hampir tak ada bedanya kalau jam itu berhenti berdetak. Seperti jantungku, yang nyaris tak berbunyi setiap dia menatapku lirih. “Ada apa?”
Malam ini secara khusus kunikmati bersamanya. Mungkin malam-malam yang berlalu tanpa salam rindunya membangunkanku dari kenyataan. Bukan. Tapi memukulku telak, dan aku terlempar jatuh ke dalam dinginnya hubungan kami yang arahnya tak jelas. Dia di mana, aku kemana. Jadi dengan alasan itulah, aku ingin membuat pengakuan, walaupun aku tahu dia juga telah mempersiapkan dirinya matang-matang. Tatapan matanya bisa membunuhku kalau pupil hitam itu diganti peluru.
“Sebenarnya aku…”
Setahun berlalu dengan hampa. Tak ada kenangan berarti selain jalan-jalan di pinggir kolam ikan yang berlumut dan tak terawat. Cuma duduk di depan kanvas, tidak ada komunikasi selain gesekan antar kertas yang halamannya sedang diganti. Begitu dingin. Sepi. Pikiranku melayang andaikata tak ada yang namanya hubungan khusus ini. Apakah kami tetap bisa bersama? Lalu jika iya, apa bedanya status itu? Aku tak merasa bahwa dia adalah milikku, karena pada dasarnya, dia selalu menjadi milik dirinya sendiri. Apapun yang dilakukannya, selalu atas dasar keinginannya, tidak pernah dariku. Dan juga tak pernah dia mendengarkanku.
Rintik-rintik hujan menyambut mendung di hatiku. Jendela menjadi buram dan kini perhatiannya teralihkan padaku sepenuhnya. Sekarang malah aku yang memandang ke luar, kepada cahaya keemasan yang menjalar cepat di dalam kelabunya langit-langit kota. Lihatlah… dia benci hujan, aku suka hujan. Apabila kutukar semua uangku untuk membawanya bermain di bawah hujan, dia pasti lebih memilih menukarku dengan orang lain. Tidak ada yang tersisa bahkan untuk secuil rasa pahit kopi yang kini hambar di lidah.
Aku mendongak, hendak melanjutkan kalimat yang berhenti di udara karena hujan, tapi dia telah lebih dulu berbicara.
“Pergilah, tinggalkan saja aku di sini,” ujarnya.
Aku terperangah. “Apa?”
“Dalam hidup, kau harus memilih salah satu, hidupmu atau hidupku. Kau tidak bisa berada di keduanya.”
Angin kencang menyibakkan jendela yang tak terkunci sehingga hujan pun menderu masuk. Aku terlambat menyelamatkannya. Wajahnya luntur oleh air hujan. Dia, lukisan pertamaku, yang menemani gelandangan sepertiku dari pinggir jalan berdebu hingga ke galeri. Terkutuklah rasa ragu ini. Baru kurasakan, kehilangannya lebih berat dari menjual seluruh koleksi terbaikku.
*LUFFY