(Baca bagian cerita yang sebelumnya, untuk memahami maksud dari kisah yang seutuhnya)
“Aku hanya bekerja dari barang terlarang ini. Maaf.”
Baiklah.
Apa selama ini yang ku makan itu dari uang kotormu, Sayang?
….
Mataku tak hentinya menatap seisi ruangan. Jawaban Ega tepat merusak penuh segala kepercayaan. Apa yang dimaksudnya dengan bekerja dari barang terlarang Bukankah serabutan saja aku sudah menerimanya dengan sederhana
Hatiku nyaris hancur lebur bersama rasa kecewa. Tubuhku pun goyah tak kuat menerima segala kenyataan. Suasana yang mencekam ditambah isakanku yang semakin menjadi, tak membuat Tuhan terpanggil membantuku untuk segera berpasrah diri. Ada gejolak di jiwa yang memintaku untuk terus bertahan bersama Ega di malam hari ini. Seperti ingin meminta lebih penjelasan, aku memberanikan diri bersuara memecah kesunyian.
“Kenapa, Ga? Kenapa harus barang terlarang ini?” Aku menatap dalam Ega yang kini telah berada di salah satu sudut ruangan. Suaraku rupanya hanya meninggalkan jeda diantara kami. Tak ada jawaban, Ega masih sibuk menatap kosong keadaan.
Aku melangkah semakin dekat. Bahu Ega bergetar begitu tanganku menyentuh lembut punggungnya. Seperti ada penyesalan namun bukan tangis Ega yang kudapati. Justru tawa kecil dari Ega yang kudengar selanjutnya. Perlahan tapi pasti, aku mundur teratur. Ada yang sedang tidak beres pada Ega saat ini.
Begitu aku sedikit lagi beranjak mencoba pamit undur diri, satu tangan Ega berhasil menghentikan. Ia kemudian menangkap salah satu tanganku dan memintaku duduk bersamanya. Dari tatapan Ega dapat kuketahui dirinya sedang sangat terluka. Namun, rasa khawatirku mengenai Ega yang sesungguhnya berhasil buatku menjadi sedikit awas ketika berada di sampingnya. Mataku tak hentinya mengawasi gerak-gerik Ega melalui lirikan. Tanganku pun dapat kurasa sedang bergetar ketakutan.
“Kamu takut?”
Aku menggeleng, lalu tertunduk ketakutan. Jelas saja aku takut, Ega. Saat ini yang sedang bersamaku bukanlah Ega kekasihku. Hatiku terus saja berbicara dalam diam. Tangan Ega tiba-tiba mengelus lembut puncak kepalaku. Ada senyum yang kini mengukir di bibir manisnya.
“Kamu ingat ketika kita bertengkar hebat saat itu?”
Aku terdiam. Pertengkaran mana yang dimaksud Ega. Bukankah terlalu sering pertengakaran hebat itu terjadi diantara kami
“Kamu selingkuh.” Oh iya, aku ingat. Saat itu aku memang pernah mendua bersama anak seorang pejabat daerah. Tapi, tak kusangka Ega masih terbayang oleh kesalahan terbesarku itu. Kukira Ega sudah ikhlas memaafkan.
….
“Kamu tahu apa yang terus ada dipikiranku selanjutnya?” Aku memilih tak berkutik dan setia menjadi seorang pendengar.
“Aku berpikir bahwa aku nyatanya orang yang payah, Tia. Dipikiranku mana mungkin gadis secantik kamu, sehebat kamu bersedia bersamaku yang hanya seorang serabutan hehehe.”
“Dan kadang aku merasa benar yang kamu lakukan. Mendua mungkin adalah salah satu cara yang tepat mencintai sosok yang payah sepertiku. Tapi……. entahlah, aku juga pernah ada di masa untuk mengikhlaskan kamu yang bisa saja mendapatkan yang mapan. Pasti juga alasanmu mendua waktu itu, karena pria itu lebih kaya bukan Pasti iya, karena tentu kamu ingin hidup berkecukupan. Tidak denganku yang serba kekurangan.” Ega terbata-bata menceritakan. Seperti ada yang tertahan, namun enggan Ega perlihatkan.
“Dan iya aku juga buangan. Keluargaku telah mengabaikan. Bagaimana mungkin aku juga bisa diterima di keluargamu? Sementara di keluargaku saja aku terbuang. Mendengar kamu yang kadang membicarakan menikah, punya anak, dan lain-lain membuatku juga berpikir keras, Tia. Apa iya, kamu yakin memilihku sebagai pelabuhan terakhir?” Ega kini terisak dan dapatku rasakan tubuhnya sedang bergetar tak karuan.
….
Benar. Aku tahu mimpi ini akan terjadi. Aku juga mengerti, akan ku temui Ega yang kemudian memintaku untuk pergi hanya karena ia tak percaya diri mendampingi. Ah, Ega. Tentu saja aku takkan meninggalkanmu hanya karena kau seorang yang payah. Lalu apa gunanya aku, kekasihmu, jika tidak untuk menguatkan?
….
Kurebahkan kepalaku pada Ega. Lalu, kugenggam jemari tangan kasar itu secara perlahan. Mencoba menguatkan bahwa ia tidaklah sendirian. Mungkin Ega melupakanku yang sejak awal sudah bersedia berjuang. Ega mungkin juga sudah lupa bahwa aku tak akan berpaling hanya karena Ega bukanlah orang yang berduit. Ega hanya sedang tak percaya diri, itu saja.
“Tapi, untuk mengikhlaskanmu itu sulit. Sudah pernah kucoba, tapi tetap enggan aku melepaskan. Sehingga tak ada cara lain dariku untuk membahagiakan. Termasuk dengan menjual barang terlarang ini.” Lanjut Ega setelah dirasanya isakan itu telah mereda.
Aku yang sedari tadi hanya mendengarkan, kuputuskan untuk akhirnya bersuara, “Kenapa harus barang terlarang itu, Ga?” Tanyaku memastikan bahwa Ega bukanlah sosok yang bersalah pada malam hari ini.
“Kamu tahu, Sayang. Tidak mudah menerima pekerja seseorang yang tatoan sepertiku. Sulit sekali. Aku justru lebih sering menerima cacian dan pikirku bagaimana caranya aku menghasilkan uang untuk biaya hidup dan tabungan untuk aku menikah denganmu. Serabutan saja tentu tidak cukup, kan?”
“E..eh Apa? Menikah?” Aku tak berkedip begitu Ega mengatakan menikah. Wajahku pun sudah kupastikan sedang dilanda kebingungan.
“Iya, menikah. Rencana awal memang aku ingin meminang. Tapi, yaaa benar. Untuk mencari uang, justru aku memilih jalan yang salah. Aku jadi semakin merasa tak pantas bersanding denganmu, Tia hehehe.”
“Berhenti bicara tak pantas. Kamu hanya sedang bingung, itu saja.” Pelukanku mengerat seiring Ega berniat untuk melepas.
“Lalu, setelah ini kamu yakin menerimaku meski sekarang kamu tahu keburukanku?”
Aku mulai mengingat kejadian awal pada malam ini. Tentu tidak mudah menerima maaf dari kesalahan Ega. Tapi, hatiku justru memaksa untuk memberinya kesempatan. Sepertinya ini juga kesalahanku yang tak memikirkan perasaan Ega yang tidak percaya diri ketika berdampingan denganku. Aku harus membuatnya yakin, bahwa aku sungguh mencintai.
“Apa ada alasanku untuk tidak menerimamu, Sayang? Saat ini kita hanya butuh cara halal untuk mewujudkan pernikahan, kan? Hehehe ”
….
Walau mesti aku tertatih, walau mesti aku merangkak, walau mesti menukar nyawa, akan kulakukan agar kau selamat. Jangan lagi tangismu tumpah. Sendiri, kau tiada pernah. Bergenggam tangan, berangan-angan, lewati hari merangkai masa depan. Lalui senang dan susah, tak akan pernah aku menyerah. Ceriamu juga ceriaku. Laramu juga laraku. Sehatmu juga sehatku. Sakitmu juga sakitku.
Hingga nanti ragaku tiba di ujung usia, perasaan untukmu tak akan pernah berubah. Tak perlu kau pikir berapa lama usia kita. Jika Tuhan memanggilku dan bertanya hal yang paling indah, akan kujawab : dirimu.
- Fiersa Besari dalam sebuah judul “Garis Waktu”
Karya : Tyas