Seperti biasa.
Pagi-pagi buta mama menanak nasi di atas tunggu, senandungnya ayu, matanya tak kenal sayu. Omelannya hangat di telinga, tangan kasarnya membelai halus kepala dinda.
“Dinda jangan malas bangun, entar jodohnya suka melamun”.
Seperti biasa.
Siang itu mama pulang dari ladang.
Keranjang bambu penuh pucuk ubi dan sayur bayam.
Wajah cantiknya lusuh tak berpoles.
Hatinya tulus tak bergores.
Dinda disuap dengan lauk seadanya, jiwa dan hati ini pula yang kenyang akan cinta mama.
Seperti biasa.
Malam itu kami larut dalam cengkrama.
Ku pijat kaki mama penuh bekas luka, surgaku yang penuh juang, penuh cerita.
Namun, tak lagi biasa.
Ketika yang kunikmati hanya sisa senja, yang melingkupiku pun hanya memori kasih mama.
Lentera putih di sudut ruangan menyuratkan dirinya dalam bayang, perapian itu pun masih mendekap diri yang samar-samar merindukan peluknya nan hangat.
Mama selalu terukir jelas pada cinta yang kupahat di setiap malam, menjadi semua alasan untukku menyudahi tangis lara, menjadi satu satunya alasan untukku tetap tertatih hingga semua impian erat dalam genggaman, menjadi secerca cahaya fatamorgana.
Dalam memori ini masih membekas, senyum tawa mama yang meluluhkan hati, doa mama yang masih mengiringi meski raganya tak di sisi.
Maafkan dinda yang lupa cara mensyukuri setiap hadir mama.
Dinda lupa bahwa sang waktu tak mengenal jeda ataupun mengulang cerita.
Nada tinggi yang pernah terlontar dari mulut dinda kiranya tak melukai hati mama.
Dinda tak tahu caranya mengutarakan cinta.
Manis. Seperti biasa, mama akan selalu manis.
Memenuhi ruang hampa dan isi kepala dinda.
Tunggu dinda ya ma. Dinda sayang mama, meski sayangnya tak pernah tertuang dalam kata.
Penulis: Friskila