Dikatakan sesat, kafir, memiliki dua puluh enam nabi , sembahyang di wc hingga ejekan naik haji ke India sudah tak asing di telinga Nurul (11) dan Siti (9) . Kecewa marah dan sedih sudah pasti namun keduanya tetap tegar dan lapang dada walaupun kerap dicibir dari bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah sebab menjadi seorang anak Ahmadi.
mimbaruntan.com, Untan – Kami menyambangi rumah seorang Ahmadi, sama halnya dengan kebanyakan rumah, ruang tamu selalu dihiasi dengan rangkaian foto. Begitu masuk ke dalam rumah terlihat beberapa foto yang menempel di dinding. Salah satu foto besar yang terlihat dan tidak asing bagi seluruh umat muslim adalah foto Ka’bah dalam bingkai kuning keemasan, menunjukkan kesan kemuliaan tempat suci tersebut.
Siang itu kami menemui Rustandi, seorang mubaligh Ahmadiyah yang menyayangkan sikap masyarakat yang kurang tabayyun (mencari tahu kebenaran) dan cenderung menerima informasi tidak utuh bahkan negatif turut memberi dampak buruk dan merugikan terutama terkait pembongkaran masjid yang ada di Sintang belum lama ini.
“Kami katanya memiliki nabi baru, tempat suci baru, tempat haji baru. Ini karena kurangnya tabayyun, atau cross check,” ucap Rustandi.
Peristiwa tersebut tentu membekas ke banyak hati jamaah Ahmadiyah, tidak hanya di Sintang namun di banyak daerah lainnya. Pasalnya peristiwa pembongkaran tersebut banyak diberitakan di media-media.
“Dari segi mental kami pun merasa menjadi korban karena ada yang trauma,” Lanjut Rustandi dengan nada bicara rendah menunjukkan kesedihan sekaligus ketegaran dengan melempar sedikit candaan.
Baca juga: Jemaat Ahmadiyah Sintang Rekatkan Kembali Silaturahmi Antar-Warga
Di tengah perbincangan, seorang anak laki-laki berbaju kuning tiba-tiba datang dan berlari ke pangkuan Rustandi dari dalam rumah. Anak laki-laki itu ternyata putra bungsu dari Rustandi. Sontak perbincangan pun beralih pada keadaan anak-anak jemaat Ahmadiyah di lingkungan sekolah.
Dengan tawa getir Rustandi teringat dan menceritakan tentang Nurul (11) dan Siti (8), anak-anak Ahmadi Sibo Sambas yang mendapatkan perilaku kurang menyenangkan di lingkungan sekolah mereka. Rustandi pun segera menelpon kedua anak tersebut menggunakan nomor handphone orang tuanya, untuk menanyakan kabar mereka.
“Tut, tut, tut,” suara terdengar dari handphone yang dipegang Rustandi yang akhirnya tersambung kepada Nurul.
Siang yang tak begitu terik itu kami disuguhkan es teh dan cerita ketegaran anak yang tegar dididik oleh keluarga Ahmadi dalam menerima diskriminasi sosial.
Melalui telepon genggam, Nurul dan Siti yang diketahui sedang bersama pada saat menerima telepon.
“Kayak dibilang sesat, kafir, nabi ada dua puluh enam,” ungkap Nurul saat menceritakan meniru ejekan teman-temannya di sekolah. Bahkan ia juga mengatakan Siti temanya yang masih duduk di bangku sekolah dasar pernah dikatai dengan ejekan “Sembahyang di wc” hingga ejekan “Naik haji ke India”.
Tak terbayangkan perasaan seorang anak kecil yang menerima perlakuan dan perkataan seperti itu. Tentu marah dan sedih yang dikatakan Nurul namun harus terbiasa menjadi bahan ejekan teman sekolahnya sebagai seorang Ahmadi.
“Seharusnya perlakuannya sama (sama seperti teman-teman lain), main sama-sama tapi kata mama Nurul gak boleh dendam sama orang,” ucap Nurul dengan nada polosnya.
“Kalau ada yang jahatin kita walau di hati marah sekali, kita hanya bisa senyumin aja,” timpal Siti.
Ketegaran terlihat seperti cahaya kristal tatkala ucapan penuh lapang dada tersebut keluar dari mulut seorang anak sekolah yang kerap kali mengalami perkataan diskriminatif dari teman sekolahnya.
Selang hampir satu jam bercerita, terdengar kumandang azan asar dari masjid yang masih satu gang dengan rumah Ahmadiyah, obrolan pun berhenti sembari pak Rustandi menunaikan salat asar. Kami mengikuti langkahnya dan salat bersama. Sepanjang prosesi salat asar, tidak ada satupun gerakan yang berbeda dari tata cara salat umat Islam pada umumnya. Gerakan diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Tempat ibadah mereka pun sama seperti masjid pada umumnya, terdapat Al-Quran serta mimbar yang menandakan tempat tersebut biasa dipakai untuk menunaikan salat Jumat. Terlihat pula lafaz Allah, Muhammad, dan la ilaha illallah di dinding masjid Al-Kautsar.
Sekolah Tak Boleh Gagal Ajarkan Anak Menjadi Manusia
Sri sebagai salah satu pengajar Cerlang Sekolahku mengutip dari Hellen Keller mengatakan bahwa hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi. Untuk mencapai kemampuan toleransi tersebut diperlukan kemampuan memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya.
“Sekolah memiliki peranan penting untuk mengajarkan toleransi dengan mengenali diri sendiri, esensi yang ada dalam dirinya, sesamanya yang tentu saja tidak sama karena pada dasarnya setiap makhluk diciptakan dengan keunikannya masing-masing, serta lingkungannya,” ucap Sri saat ditanya melalui pesan Whatsapp.
Baca juga: Ahmadiyah Ungkap Kebenaran Lewat Ruang Jurnalistik
Sri melanjutkan bahwa praktek SARA di lingkungan sekolah seharusnya tidak terjadi, guru-guru, pihak sekolah, orang tua, serta komite sekolah harus sungguh-sungguh memperhatikan isu ini.
“Praktek SARA tidak seharusnya terjadi baik disadari atau tidak. Guru-guru, pihak sekolah, bahkan orang tua, termasuk komite sekolah harus bersungguh-sungguh memberikan perhatian terhadap isu ini,” ketiknya.
Sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi seluruh warga sekolah termasuk murid, bukannya mengajarkan eksklusi dan mematikan hakikat anak sebagai manusia muda.
“Jadi ketika sekolah tidak bisa menjadi ruang aman, tempat anak belajar tentang perbedaan, tentang keunikan, tentang kemampuan mereka dengan sesamanya menurut saya sekolah seperti itu ditutup saja, karena alih-alih mengajarkan toleransi, mereka malah mengajarkan eksklusi dan mematikan hakikat anak sebagai seorang manusia,” pungkas Sri.
Penulis: Vania, Abil, & Sam
Editor: Mar’a