mimbaruntan.com, Untan – Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Begitulah keanekaan suku, bahasa, budaya, etnis dan agama di Indonesia. Ruang perjumpaan untuk saling menyapa lintas iman memberi penyegaran perspektif baru tentang keberagaman terkait agama dan kepercayaan.
Berkesempatan mengunjungi pura Giripati Mulawarman, Jl. Adisucipto No.12, Kabupaten Kubu Raya. Dengan tampilan bangunan yang tampak seperti berada di Bali. Sungguh memanjakan mata peserta yang berkunjung ke tempat itu.
Perjalanan menjelajahi pura semakin menyenangkan. Tiap menapakkan kaki seperti mengulik banyak hal baru tentang kebudayaan Hindu. Baik dari bentuk bangunan hingga patung-patung yang ada di sana. Gelak tawa jua terdengar ramah kala rasa penasaran peserta disambut baik oleh tutur lembut dari jawaban I Putu Eka Satya Pratama dan Widhi Puja Kurniawan selaku peserta Temu Pemuda Lintas Iman (TEPELIMA) ke-4 yang berkeyakinan Hindu.
Meskipun penduduk Bali mayoritas memeluk agama Hindu, Hindu ternyata tak hanya berasal dari Bali, Pontianak pun memiliki beberapa pemeluk hindu dengan bermacam-macam sukunya,
“gak semua Hindu itu dari Bali. Hindu itu beraneka ragam suku, seperti Sambas ada Hindu yang bersuku Jawa, Bengkayang Hindu dominan suku Dayak dan untuk Pontianak sendiri terdapat Hindu Dayak, Hindu Jawa dan Hindu Cina,” jelasnya.
Walaupun satu kepercayaan, umat Hindu di Pontianak dan Bali memiliki sedikit perbedaan dalam ciri khas culture daerahnya, sebab sebagian besar pemeluk Hindu di Pontianak merupakan Hindu yang beragam suku.
“Hindu di Bali memiliki adat tradisi yang masih kental sedangkan di Pontianak memiliki tradisi yang tidak sekental budaya Bali. Karena di Pontianak, Hindu yang diajarkan merupakan Hindu Nusantara,” tambahnya.
Baca juga: Kikis Stigma, Beri Wajah Baru Untuk Beting
Tempo mengunjungi pura, kedapatan anak-anak yang bersekolah di Pura kala teman-teman berbeda keyakinan menikmati liburan akhir pekan. Beri alasan di balik hal itu Widhi Puja Kurniawan juga turut berbicara.
“Karena kami di Pontianak tidak ramai dan tempat sekolah mereka pun belum tentu ada guru agamanya, makanya kami adakan sekolah minggu,” pungkas Widhi.
Selain keterbatasan pengangkatan guru agama Hindu di Pontianak, sekolah minggu untuk anak-anak tersebut juga digunakan sebagai solusi untuk mereka belajar agama dan memiliki keunikan yang tidak mereka gunakan di sekolah lainnya, yakni menggunakan kain bawahan dari pakaian adat Bali (kamen atau kamben).
“Di sekolah minggu itu seperti sekolah lainnya, belajar agama. Namun, uniknya di Pontianak menggunakan kamen atau kamben tujuannya untuk melestarikan hindu di Pontianak,” kata Putu melengkapi.
Putu turut menceritakan bagaimana masa ia mengenyam pendidikan di bangku sekolah dulu,
“ketika sekolah dulu kami diberikan pilihan mau belajar agama lain atau tidak. Seperti SD sampai SMP pernah merasakan belajar agama Islam, sedangkan SMA itu belajar agama Kristen akan tetapi SMA itu hanya kelas 1 SMA aja soalnya kelas seterusnya belajar hindu,” ujarnya terdengar pilu.
Baca juga: Baha’i, Representasi Persatuan dalam Keberagaman
Tak sekedar anak-anak yang bersekolah pada hari minggu, Putu juga mengungkapkan beberapa stigma yang kerap ia dapatkan sebagai pemeluk agama Hindu. Acap kali terlontar kalimat Hindu itu menyembah patung, segera Putu menepis ujaran tersebut,
“itu hanya pandangan orang lain aja sebenarnya, kami tidak menyembah patung tapi menyembah Tuhan kami dengan perantara seperti patung tersebut. Kami menyebut Tuhan itu Sang Hyang Widhi serta ada juga dikenal dengan Trimurti atau 3 dewa utama dalam Hindu, yang paling dikenal secara umum, yaitu Brahma sang Pencipta. Wisnu sang pemelihara dan Siwa sang perusak. Yang sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi,” jelasnya dengan tegas..
Tidak hanya itu, pemeluk Hindu pun dianggap mahir memperagakan tari bali. Itu bukanlah kebenaran. Meskipun prasangka dari masyarakat luas bahwa Hindu tentu cakap menarikan tari Bali. Pernyataan tersebut hanyalah stereotipe,
”tidak semua orang bisa menari Bali karena kebanyakan penari bali itu dilakukan sanggar dari yang ada di setiap Pasramanaran (Lembaga Pendidikan Hindu) di Pura,” sambung Putu.
Ruang jumpa keberagamaan merupakan sebuah jendela dari rasa toleransi akan keanekaan yang terdapat dalam suatu wilayah atau negara tertentu terkhusus Pontianak, Indonesia. Bak gorden, untaian harapan turut menggantung membersamai hal ini. Secercah binar dari asa keterbukaan akan sebuah perbedaan di kemajemukan masyarakat.
“Semoga kedepannya lebih banyak agama Hindu dapat berpartisipasi untuk mengenal agama lain dan mempererat tali persaudaraan antar keberagaman di Pontianak,” tutup Putu penuh harap.
Penulis: Mira
Editor: Hilda