Desir angin laut menghantarkan Surai hitam legam menampar lembut pipinya. Ia terpaku menatap tanah kelahiran yang dua puluh tahun lalu nyaris tak dijamah keadilan. Mentari bersinar terang tepat pukul dua belas siang di mana manusia dapat menginjakkan kaki di bayangannya sendiri.
“Mari masuk,” ujar suaminya. Ia tetap mematung meski lamunannya buyar sudah.
“Damai…” lirihnya.
Kembali kenangan yang telah tersusun apik beterbangan memenuhi bilik kepala. Rekaman pilu dari permukiman hilang yang tidak masuk dalam sensus geografis kependudukan ini, beserta elegi penyandang disabilitas yang tak terpandang kala itu. Dianak tirikan oleh bangsa sendiri, di eksploitasi sumber daya alam oleh konglomerat-konglomerat di kiani.
Keduanya menyusuri pesisir pantai sejak dua jam berlalu hingga sekarang tiba di depan gapura desa. Anak-anak yang berlarian di jalanan mematar balik arahnya menuju rumah masing-masing para kepala keluarga menutup jendela dan pintu dengan keras perasaan waspada dan murka tergambar jelas dalam air muka mereka
Kejadian dua puluh tahun silam memang tak luput dari ingatan pengucilan dan penyiksaan secara psikis yang dialami oleh masyarakat setempat. Di mana transportasi umum bahkan pribadi tidak terdapat di tempat ini, pengobatan tidak dilayani, bahkan untuk sarana pendidikan tentu saja tidak ada. Minimnya pembelajaran bahasa isyarat membuat pribumi dan pengunjung sulit melakukan interaksi sehingga terjadilah kesalahpaham. Hal tersebut berhasil membuat pribumi merasa terus terancam saat pengunjung tiba menawarkan bantuan.
Baca Juga: Kaum Disabilitas Juga Berkualitas
“Selamat siang Tuan dan Nona Philip,” sapa pemerintah desa setempat. Dirinya pribumi di tempat ini dan satu-satunya orang yang tidak menyandang disabilitas dan mengerti bahasa isyarat, sehingga diberikan tanggung jawab penuh untuk memimpin permukiman yang kerap dipanggil Semenanjung Pilu.
“Masih seperti itu?” seru wanita itu penasaran dengan tingkah penduduk setempat yang masih menutup diri dari pengunjung yang tiba di tempat ini.
“Saat itu Nona Beltra Philip masih sangat muda begitu datang ke sini, umur dua puluh satu tahun bukan?” tanya Pak Harto. Wanita itu mengangguk, “mungkin itu sebabnya sudah sangat lama Nona tidak berkunjung dan kini membawa teman hidup” ia sedikit terkekeh.
“Benar sayang, kau sudah lebih tua dari saat itu tentu saja bentuk fisik juga turut berubah. Mungkin saja mereka masih agak trauma dengan kejadian kala itu,” tambah suaminya.
“Bagaimana kondisi Bu Margharet?” ujar Beltra penasarannya.
“Selamat siang Nona Beltra,” Ia menyapa dengan bahasa isyarat beserta beberapa anak muda mengekor di belakangnya.
Wanita paruh baya ini tersungging saat tiba di pusat desa terpencil Semenanjung Harapan. Meski disambut dengan ketakutan di dekat gapura Ia bangga pada anak-anak di sini yang memiliki niat untuk tetap melanjutkan pendidikan meski berkebutuhan khusus.
Ia memandangi bangunan sekolah satu atap dari pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah ke atas.
“Ibu, ayah. Seandainya kalian menyaksikan ini semua. Aku kembali dengan kesuksesan bersama mereka, anak yang dulu ayah dan ibu sembunyikan dari pekerjaan sebagai budak di laut”.
Pemberontakan berdarah yang ayah dan ibunya lakukan dianggap ancaman bagi konglomerat sehingga siapapun yang melawan kala itu akan dicambuk. Untungnya, Beltra beserta anak-anak lainnya berhasil dilarikan ke kota di mana Ia bertemu dengan suaminya sekarang yang orang tuanya juga merupakan aktivis disabilitas di tahun 90-an.
Waktu terus berputar, rekaman saat dirinya menempuh pendidikan di akhir bangku sekolah menengah atas. Ibunya dan ayahnya merupakan seorang yang memiliki ekonomi di atas rata-rata, namun saat itu ibunya jatuh sakit tak ada yang mengerti bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas. Sehingga ibunya harus minum obat herbal terus menerus tidak ada perubahan sedikitpun untuk memulihkan tenaganya.
Baca Juga: Peluh di Balik Senyuman
Namun Ibunya memilih untuk tetap membiarkan wanita itu melanjutkan kuliah dan mempertahankan agar sekolah di permukiman kecil ini tidak ditutup. Beberapa tenaga pengajar yang datang dibunuh oleh konglomerat-konglomerat yang hendak mengeksploitasi kekayaan laut di Semenanjung Harapan. Ibu dan ayahnya yang merupakan tenaga pendidik yang datang dari luar semenanjung itu dianggap ancaman bagi konglomerat setempat sehingga dimusnahkan melalui hukum cambuk.
Sorak Sorai tak bersuara, namun tampak amat bahagia dari seorang gadis muda yang juga penyandang disabilitas. Ia membawa surat putih entah apa pertanyaan di dalamnya?
“Ada apa Sania?” Tanya Margharet dengan tutur isyaratnya.
“Aku lulus untuk melanjutkan kuliah dengan jurusan dosen bahasa isyarat,” ia tampak riang namun menangis meski tak dapat di dengar. Hatinya memekik penuh kegembiraan. Ia sujud ke tanah kemudian menengadahkan tangan ke langit kurasa Ia tengah berdoa dengan banyak harapan.
“Terima kasih banyak Pencipta. Engkaulah maha pembolak balik hati manusia,” tutur batin Beltra.
Penulis: Mira Loviana
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXV. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanXXV