Gadis cantik itu bernama Ramadhania Bintang. Ia adalah putri sematawayang dari pengusaha konglomerat. Kedua orangtuanya menaruh harapan besar agar kelak Bintang dapat menjadi kebanggaan bagi keluarganya. Bintang dikenal sebagai gadis yang periang dan giat karena ia sepertinya tidak mengerti arti kata lelah sebelum berhasil melakukan segala sesuatu.
Berjalan adalah hal terbaik yang ingin dirasakan oleh setiap anak yang telah lahir ke dunia ini. Semua orang dapat meninggalkan jejak di setiap langkah kakinya. Namun, hal itu tidak terjadi pada Bintang, karena jejak-jejaknya bukanlah berasal dari langkah kaki melainkan dari sebuah kursi roda yang selalu ia tempati.
“Lari Bintang, lari. Gunakan kakimu. Tidak selamanya kursi roda dapat membantumu. Kamu harus bisa berdiri di atas kakimu sendiri!” itulah kata yang setiap hari ia dengar dari Bunda.
“Ya Allah, andai saja Bunda bisa mengerti. Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan menjadi anak yang hanya membebani kedua orangtuaku. Ya Allah, sungguh aku tidak pernah menyesal dengan semua keadaan ini. Aku hanya mohon pada-Mu, kuatkanlah aku dan jika boleh, ijinkanlah aku agar mampu berdiri di atas kakiku sendiri, seperti apa yang diharapkan oleh orangtuaku,” ucap Bintang dalam hati di setiap sujudnya.
Tidak jarang Bintang terus mengulang memori masa kecil yang masih bergelayut dilangit-langit batok kepalanya. Dulu, saat ia berusia tujuh tahun ketika tahun pertama Sekolah Dasar (SD). Bintang mengayuh sepeda sekuat tenaganya sambil melontarkan senyuman kepada ibunya. Bagaimana tidak? Baru saja ia menerima raport yang saat itu berada di genggaman tangan kirinya, ia berhasil meraih juara 1 pada kenaikan kelas 2. Namun, tiba-tiba ia terjatuh ketika ada sebuah sepeda motor yang tanpa sengaja menabraknya dari arah yang berlawanan. Bintang menangis lalu pingsan. Secepat kilat, Bunda segera menghampiri dan membawanya ke rumah sakit.
Hari bahagia itu seakan menjadi awal kesedihan dalam hidupnya. Bintang tidak mengerti ketika ia sadar bahwa Bunda membawakan kursi roda untuknya.
“Bunda, untuk apa engkau membawa kursi roda ke sini?” tanya bintang karena bingung.
“Ini untukmu, Nak,” jawab Bunda.
“Apa maksud, Bunda?” tanya Bintang sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi sayangnya, ia tak mampu menggerakkan kakinya sedikit pun.
Bunda hanya diam sambil menangis melihat Bintang yang sedang kesakitan.
Berulang kali Bintang mencoba untuk menapakkan kakinya lalu berusaha melangkah tapi tetap saja tidak bisa. Akhirnya Bintang sadar bahwa Allah SWT. telah menakdirkan jalan hidupnya seperti ini dan tidak seorang pun mampu menghindar dari kuasa-Nya. Bintang tidak bisa lagi bersepeda bersama teman-temannya. Bahkan untuk sekedar berdiri menatap sinar mentari di taman juga tak bisa ia lakukan. Setiap kali berangkat ke sekolah, Bintang harus diantarkan oleh Bunda menggunakan mobil. Setiap ingin menuju ke tempat yang diinginkannya, Bintang harus mengayuh kursi rodanya itu. Sungguh ini hal yang sangat berat baginya.
Dua tahun pertama, Ayah dan Bunda selalu mendoakannya dalam setiap sujud mereka. Mereka berusaha membesarkan hati dan menguatkan Bintang. Namun, setelah keluarga ini pindah rumah dan Bintang juga harus pindah sekolah karena lokasi kantor ayahnya yang cukup jauh. Sikap mereka menjadi sangat dingin terhadap Bintang terutama Bunda yang sepertinya tidak mau lagi memperdulikan keadaannya. Hal ini dikarenakan Bunda merasa bahwa tak ada lagi percikan harapan untuk kesembuhan Bintang.
Kekecewaan Bunda semakin bertambah ketika sering mendengar kalau dirinya diperbincangkan oleh tetangganya karena memiliki anak yang cacat. Sehingga, marah dan kata-kata keputusasaanlah yang Bintang dengar dari ucapan bundanya. Setiap pagi, Ayah pergi bekerja, maka setiap hari juga Bunda tidak pernah berhenti memaksanya untuk selalu berdiri, berjalan, bahkan berlari.
Bintang pernah beberapa kali didorong oleh Bundanya hingga terjatuh dari kursi roda. “Lari Bintang, lari. Berdiri dan gunakan kakimu. Tidak selamanya kursi roda dapat membantumu. Kamu harus bisa berdiri diatas kakimu sendiri!”. Bahkan kata-kata itulah yang tanpa sengaja terekam dalam memori hingga menjadi sebuah mimpi buruk baginya.
Saat itu, Bintang merasakan kekhawatiran yang luar biasa, ia takut kalau Bunda dapat melakukan hal buruk padanya. Sebenarnya Bintang ingin sekali melawan Bunda agar tidak memperlakukannya seperti itu. Tapi sayangnya lagi dan lagi, Bintang seperti kehabisan energi untuk melakukan hal tersebut. Bintang hanya bisa menangis lalu kembali masuk ke dalam kamar. Ruangan petak berwarna hijau itulah yang menjadi saksi kesedihan Bintang. Isak tangis Bintang seakan-akan teredam di dalam ruangan tersebut. Bintang hanya duduk bersandar di sudut kamarnya sambil meratapi nasib yang menimpanya, ia pun berdoa berharap Bunda bisa bersikap lebih baik dan bisa menerima keadaannya yang cacat itu.
“Ya Allah, ampunilah Hamba-Mu ini dan Bunda.. Ya Allah, bukakanlah pintu hatinya. Berikanlah kelapangan dada pada Bunda. Semoga Bunda bisa menerima takdir-Mu ini.”
Meskipun Bintang diperlakukan seperti itu oleh Bundanya. Bintang tidak pernah menyimpan rasa dendam ataupun sakit hati pada Bundanya. Bintang selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik pada Bunda. Hingga suatu hari, Bintang berhasil mendapatkan juara 1 Lomba Melukis tingkat SD. Ya, memang selain berprestasi di kelas, Bintang juga memiliki bakat yaitu melukis. Pulang sekolah, Bintang langsung mengayuh kursi rodanya dan menghampiri Bunda untuk memberitahukan kabar baik itu.
Tapi bundanya hanya berkata.
“Ah, tidak ada gunanya juara jika kau tak bisa berjalan.”
Perkataan itu seperti menghantam-hantam bagian kepala Bintang. Air matanya mengalir tanpa sengaja membasahi pipi. Bintang merasakan bahwa dirinya seperti tidak berguna bagi siapa pun termasuk Bunda yang paling ia sayangi. Padahal, Bintang sudah berusaha untuk membahagiakan orang tuanya dengan menjadi yang terbaik di sekolahnya. Tapi, itulah kenyataannya kini Bunda dan yang lainnya seakan tidak pernah menaruh rasa kasih sayang untuknya.
Begitulah hari-hari yang dilewatinya. Setiap hari Bintang harus menahan rasa sakit itu hingga sampai pada waktu Ramadhan di tahun ketiga setelah kecelakaan itu terjadi. Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah. Bintang juga sangat riang menyambut bulan Ramadhan, terlebih lagi karena itu adalah bulan kelahiran ia dan bundanya. Bintang lahir pada tanggal 5 Ramadhan dan Bundanya pada tanggal 1 Ramadhan. Bintang menyambut bahagia bulan ini dengan mempersiapkan diri untuk melaksanakan kewajiban beribadah puasa sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,” (Q.S Al Baqarah, 2:183).
Bintang sadar, meskipun ia dalam keadaan yang seperti itu, ia tetap berusaha tawakal dan menjalankan perintah Allah SWT. Bintang sangat senang sekali. Di sepertiga malam, saat sahur pertamanya, ia bangun untuk sholat Tahajud. Setelah itu, ia kembali ke kamarnya untuk menyiapkan kado ulang tahun pada Bundanya. Kemudian, perlahan-lahan ia mengayuh kursi rodanya menuju dapur. Disana ia melihat Bunda sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sahur. Kemudian ia berhenti sejenak dan bergumam dalam hatinya.
“Apakah Bunda mau menerima kadoku ini?”
Pertanyaan yang tak berujung ada jawaban membuatnya merasa keringat dingin. Semua jemari tangannya seperti menancap saat ia pegang erat-erat mencengkram pegangan kursi roda. Kemudian, ia memberanikan diri untuk menghampiri dan memberikan kado tersebut pada Bunda.
“Bunda, maafkan aku yang belum bisa membahagiakanmu, aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun dan aku harap Bunda mau menerima kadoku ini,” ucap Bintang dengan nada penuh harap.
Akhirnya, Bunda menerima kado pertama pemberian dari Bintang meskipun terlihat bahwa Bunda masih terlihat tak begitu menghiraukannya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Bunda. Tidak ada ucapan terima kasih yang terlontar dari bibirnya. Melihat sikap Bundanya itu, akhirnya Bintang memilih masuk ke kamar lagi. Di sudut kamar, Bintang tidak dapat membendung air matanya. Bintang merasa terpukul dengan sikap yang telah dilakukan Bunda terhadapnya. Tidak lama kemudian, terdengar suara Ayah yang memanggilnya dari luar pintu kamar.
“Bintang.. Ayo bangun sahur” Teriak Ayah dari luar kamar.
“Iya, Ayah” Jawab Bintang dari dalam kamar.
Bintang bergegas mengayuh kursi rodanya menuju ruang makan. Bintang merasa sangat sedih sekali dengan perlakuan Bunda terhadapnya. Suasana sahurpun terasa begitu hampa. Bunda dan Bintang terus saja membungkam. Mata yang sembab juga masih menghiasi wajah Bunda dan Bintang hingga Ayah bertanya pada Bunda.
“Bunda, kenapa kok matanya sembab?” tanya Ayah.
“Tidak ada apa-apa kok, Yah,” jawab Bunda secara singkat.
“Hmm..ya sudahlah kalau Bunda tidak mau cerita,” ujar Ayah.
Ayahnya memang cukup cuek dan kurang memperhatikan masalah yang terjadi di keluarganya. Sehingga, Ayah juga tidak pernah memaksa Bunda untuk menceritakan hal-hal yang telah terjadi di rumah.
Keesokan harinya, Ayah berangkat ke kantor dan Bunda tetap mengantar jemput Bintang untuk bersekolah. Tiada terasa hari itu terlewati begitu cepat. Senja mulai pergi menjemput malam. Langit di ujung cakrawala kini tidak lagi biru, yang ada hanya polesan warna jingga senja dalam balutan gradasi warna indah. Kumandang adzan mulai terdengar bertalu-talu dari beberapa masjid, pertanda bahwa waktunya untuk berbuka puasa. Panggilan Allah Sang Maha Pencipta membuatnya kembali bangkit mensyukuri segala nikmat yang telah tercurah.
Pada malam ramadhan ke tiga, setelah selesai sholat tarawih, ada seorang Ustadz yang menyampaikan taujih tentang anak-anak pengukir masa depan. Kisah tersebut menceritakan tentang ketawakalan seorang Ibu dan anaknya dalam menggapai impiannya. Kaum muslimin yang berada di masjid tersebut cukup terharu mendengarkannya.
Sepulang dari tarawih malam itu, Bunda langsung menyambangi dan memeluk erat tubuh Bintang. Ia hanya bisa tertegun melihat sikap Bunda yang tiba-tiba berubah. Ia pun mencubit tangannya sendiri untuk memastikan kebenaran hal tersebut.
“Bintang.. maafkan Bunda ya. Bunda sayang Bintang,” ujar Bunda sambil memeluknya.
“Iya, bunda. Bintang juga sayang Bunda,” jawab Bintang sambil kembali termenung dipelukan Bundanya.
“Maafkan Bunda yang tak pernah menghargai ketulusanmu untuk membahagian Bunda. Maafkan Bunda yang terlalu egois, memaksakan kehendak Bunda tanpa memikirkan perasaanmu dan tidak bisa menerima keadaanmu,” ucap Bunda dengan penuh isak tangis.
Saat itu, Bintang benar-benar hanya bisa menangis. Bintang sangat terharu dengan perubahan sikap Bunda terhadapnya. Sepertinya Bunda telah sadar setelah mendengar taujih oleh Ustadz bahwa seorang anak dengan keadaan yang seperti apapun tetap merupakan warisan yang paling berharga bagi orang tuanya.
“Apabila anak adam telah meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermafaat, dan doa anak yang sholeh yang mendoakannya”. Itulah sepenggal taujih yang menyadarkan Bunda agar tetap menerima keadaan Bintang yang apa adanya. Setelah kejadian itupun, Bunda kembali menyayangi Bintang setulus hatinya hingga tercapai segala impiannya menjadi seorang Da’i.
Saat cerita itu usai diceritakan oleh Bintang dalam sebuah agenda di masjid, tidak ada tepuk tangan yang terdengar. Satupun tidak. Pada kelopak mata kaum muslimin hanya terlihat air mata yang menetes dari ketulusan mereka. Mungkin ada yang meratap, dan mengingat kesalahan masa lau, mungkin juga banyak rasa syukur ketika mereka tidak merasakan hal yang ia alami, setidaknya mereka berfikir, mereka lebih sempurna daripada Bintang, atau anak-anak mereka tidak merasakan hal yang sepertinya.
Kisah inilah yang sebenarnya membuat kita sadar bahwa janji Allah SWT itu pasti. Setiap orang yang telah diciptakan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Selain itu, setiap kesulitan tentu akan ada kemudahan yang diberikan oleh-Nya.
karya : A.M. Pitriyana
Fakultas/Prodi : MIPA/Kimia Universitas Tanjungpura
Tempat, tanggal lahir : Pontianak, 26 Maret 1996
Motto Hidup : Ikutilah jejak impianmu karena tiada yang tidak mungkin dengan pertolongan Allah Swt.