“Waria adalah manusia juga yang punya hak untuk beribadah.”
mimbaruntan.com, Untan – Shinta Ratri, transpuan pemimpin Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, meninggal dunia di usia 60 tahun pada Rabu (1/2) lalu. Shinta sempat mengalami keluhan asam lambung. Pihak keluarga terakhir kali membawa Shinta ke RSUD Yogyakarta, hingga ia dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Jenazah Shinta dimakamkan di tempat Pemakaman Semoyan, Kelurahan Singosaren, Kabupaten Bantul.
Semasa hidupnya, Shinta dikenal sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan hak beribadah bagi waria atau transpuan. Dalam perjalanannya, Shinta mendapat berbagai pertentangan dari masyarakat dan kelompok yang menolak keras keberadaan pesantren bagi waria. Namun, Shinta mampu menerima perlakuan diskriminatif dan berdiri tangguh di tengah penghakiman, hingga Pesantren Al-Fatah mendapat banyak dukungan dan bisa bertahan sampai saat ini. Atas perjuangannya, pada tahun 2019 Shinta dianugerahi penghargaan dari Front Line Defenders atau organisasi internasional untuk perlindungan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Irlandia.
Perjalanan Menuju Penerimaan
Lahir dengan nama Tri Santoso Nugroho, sejak kecil Shinta menjalani hidup layaknya seorang perempuan. Memasuki tahun pertamanya di SMP, Shinta mulai suka mengenakan pakaian perempuan. Sang ibu pernah menegur Shinta saat ia kedapatan memakai lipstik. Saat SMA, Shinta merintis usaha kerajinan perak yang dinamainya Ratri Silver.
Dalam perjalanan mengenali jati diri, Shinta sempat mempertanyakan identitasnya. Shinta merasa dirinya seorang perempuan, meski ia terlahir sebagai laki-laki. Suatu hari setelah lulus SMA, Shinta dan saudara-saudaranya dikumpulkan oleh orang tua mereka dalam satu perbincangan. Saat itu, Shinta diberi sebuah pertanyaan oleh orang tuanya.
“Apakah kamu akan seperti ini sampai tua?”
Shinta menjawab, “Lho, saya tidak pernah berdoa atau meminta untuk jadi seorang waria. Saya hanya tinggal menjalani apa yang terjadi.”
Baca Juga: Bunda Mayora, Transpuan Gigih dari Fajar Sikka
Seiring berjalannya waktu, keluarga Shinta mulai menerima dirinya sebagai seorang waria. Ia sudah dianggap dan diperlakukan sebagai seorang perempuan. Setelah saudara-saudaranya menikah dan memiliki anak, Shinta dipanggil ‘bude’ oleh sanak kerabat dan keponakan. Identitas Shinta sebagai seorang transpuan telah diterima sepenuhnya oleh keluarga.
Di tahun 2000, Shinta mendirikan sanggar seni dan budaya waria Yogyakarta. Sebuah tempat untuk berlatih kesenian seperti ketoprak, seni tari, musik, dan lainnya. Tempat itu kemudian beralih menjadi tempat beribadah dan belajar agama bagi waria, yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah.
Menghamba Sebagai Seorang Waria
Adalah Kyai Hamrolie, nama dibalik terbentuknya Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Melihat sekelompok waria yang memiliki keinginan untuk beribadah, Kyai Hamrolie mengajak mereka untuk bergabung dalam majelisnya. Dari situ, Kyai Hamrolie mencetus ide untuk membuat pesantren khusus waria, agar para waria tidak hanya mendengar tausiah dari majelisnya, namun juga bisa belajar agama, membaca Al-Qur’an, dan beribadah.
Pada tahun 2008, pesantren Al-Fatah dipimpin oleh Maryani, dan Shinta sebagai wakilnya. Sepeninggal Kyai Hamrolie di tahun 2013, disusul oleh Maryani di tahun 2014, Shinta bertanya pada teman-teman waria terkait kelanjutan Al-Fatah. Kompak, mereka ingin aktivitas ibadah dan belajar agama di pesantren Al-Fatah tetap dilanjutkan. Maka di tahun itu, Shinta resmi menjadi pimpinan pesantren Al-Fatah. Ia memindahkan lokasi pesantren yang awalnya di Jl. Notoyudan ke rumahnya di Jagalan.
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah hadir untuk menghapus stigma waria yang melekat pada masyarakat dan merangkul waria yang kesulitan untuk mencari tempat beribadah. Di Al-Fatah, para waria tidak hanya diajari ilmu agama, namun juga dibekali dengan berbagai keterampilan. Ada waria yang sebelumnya seorang pengamen dan pekerja seks, kini beralih profesi menjadi penata rias. Al-Fatah juga membimbing waria untuk menjalankan kewajibannya dalam beragama. Ada waria yang tidak pernah salat atau berpuasa sama sekali, kini sudah mau menjalankan salat dan berpuasa di bulan Ramadan.
Di pesantren Al-Fatah, waria dapat beribadah dengan damai tanpa penghakiman. Saat menjalankan ibadah sallat, ada yang lebih nyaman mengenakan kopiah dan sarung layaknya jamaah laki-laki, namun ada juga yang memilih memakai mukena atau pakaian salat muslimah. Mereka dapat beribadah dengan khusyuk sebagai dirinya. Di tempat lain, waria sering mendapatkan penolakan. Mereka tidak diterima untuk beribadah jika belum bertobat dan kembali menjadi laki-laki. Hak beribadah itulah yang diperjuangkan oleh Shinta. Bahwasanya waria juga manusia yang punya keinginan untuk menghamba pada-Nya.
Penghakiman Berkedok Mediasi
Perjalanan Shinta bersama waria di pesantren Al-Fatah tidaklah mulus. Berbagai pertentangan dan penolakan datang dari golongan masyarakat dan kelompok yang menolak keras adanya pondok pesantren untuk waria. Keberadaan Pesantren Al-Fatah sempat terancam hingga pernah dibubarkan.
Bermula dari datangnya seorang wartawan dari sebuah portal berita untuk menanyakan soal profil pesantren Al-Fatah dan kegiatan didalamnya. Namun, berita yang diterbitkan justru banyak memelintirkan fakta dan menimbulkan tuduhan kepada Shinta Ratri. Dalam berita itu disebutkan bahwa pesantren Al-Fatah akan membuat fikih waria. Padahal, Shinta hanya dimintai bantuan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga untuk membuat sebuah fikih waria. Mereka tidak pernah berkeinginan membuat fikih sendiri.
Berita ini disalahartikan sekaligus dijadikan alat oleh sebuah organisasi kemasyarakatan yang dikenal sebagai Front Jihad Islam (FJI). Isu pembuatan fikih waria menjadi alasan bagi FJI untuk membubarkan pesantren Al-Fatah. Aksi pembubaran dimulai dengan seruan pesan di sosial media yang berisi rencana kedatangan pihak FJI ke Al-Fatah. Shinta Ratri mengadukan pesan tersebut pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Februari 2016, belasan orang dari FJI datang ke pesantren Al-Fatah. Abdurrahman, salah satu pendiri FJI, mengaku bahwa kedatangan mereka adalah untuk mengonfirmasi isu pembuatan fikih waria di Pesantren Al-Fatah. Pihak FJI sempat menemui warga yang ikut resah lantaran waria di Pesantren Al-Fatah sering berkegiatan hingga larut malam. Munarto, selaku ketua RT 09, menoleransi keberadaan pesantren itu karena pimpinannya adalah warga RT 09. Namun isu pembuatan fikih waria yang diketahuinya dari pihak FJI membuat Munarto tidak bisa lagi menoleransi keberadaan Pesantren Al-Fatah.
Menurut Abdurrahman, kegiatan yang dilakukan di Pesantren Al-Fatah menyimpang dari sariat agama. Pihak FJI sebenarnya mendukung adanya Pesantren Al-Fatah, asalkan para waria bertobat dulu, dalam artian harus kembali menjadi laki-laki. Abdurrahman mempertanyakan tujuan dari Pesantren Al-Fatah, bahkan menganggap bahwa adanya pesantren adalah kedok belaka. Shinta dengan tegas menepis anggapan tersebut. Menurutnya, tanpa ada pesantren pun mereka masih bisa berkumpul bersama.
Baca Juga: Kriminalisasi LGBT di Indonesia: Perlukah Adanya Pidana Bagi Kaum LGBT?
Shinta diminta datang dalam sebuah pertemuan untuk mediasi. Ditemani oleh dua teman waria, ustaz yang mengajar di Al-Fatah, dan pihak LBH yang menyamar menjadi seorang ustaz, Shinta mendatangi kelurahan. Tokoh masyarakat, RT, RW, dan para pemuda turut hadir dalam pertemuan itu.
Saat itulah terjadi pengintimidasian. Pihak FJI berseru bahwa menjadi seorang waria adalah suatu penyimpangan. Keberadaan waria dianggap dapat mendatangkan azab bagi tempat itu. Tidak ada pembelaan sama sekali bagi Shinta Ratri dan Pesantren Al-Fatah. Bahkan camat dan kepala KUA turut mengamini seruan pihak FJI. Shinta bertahan di tengah penghakiman berkedok mediasi itu hingga akhirnya menerima pembubaran Pesantren Al-Fatah.
Shinta hanya bisa berdoa. Ia menyerahkan semuanya pada Tuhan. Bahwa Tuhan punya rencana yang lebih baik dan lebih indah untuknya dan para waria di pesantren Al-Fatah.
Dukungan Untuk Pesantren Al-Fatah
Tidak disangka, penerimaan Shinta akan pembubaran Pesantren Al-Fatah justru mendatangkan dukungan dari banyak orang. Simpati datang dari berbagai kelompok, komunitas, dan aktivis peduli HAM. Ada juga beberapa tokoh masyarakat yang masih memberi dukungan. Salah satunya istri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Pada awal tahun 2019, Pesantren waria Al-Fatah kembali aktif mengadakan kegiatan. Setiap Minggu, diadakan kajian agama Islam. Para waria bisa kembali belajar membaca Al-Qur’an dan melaksanakan ibadah salat di Pesantren Al-Fatah. Diadakan juga berbagai kelas keterampilan seperti praktik pijat refleksi, tata rias, hingga kreasi hijab.
Pesantren Al-Fatah bergabung dengan Sobat KBB, yaitu wadah solidaritas bagi para korban kekerasan, pengabaian, pelanggaran, dan kejahatan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Shinta juga sempat menemui beberapa pihak, seperti Komnas Perempuan, dalam rangka penguatan hak beribadah bagi waria.
Shinta memperjuangkan hak ibadah bagi waria hingga akhir hidupnya. Dalam sebuah video di kanal Youtube detikcom, Shinta menyebutkan bahwa waria, sebagaimana seorang manusia, juga punya hak untuk beribadah.
Penulis : Ibnu
Editor : Putri
Referensi:
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/02/01/shinta-ratri-pemimpin-ponpes-waria-di-yogyakarta-berpulang
http://wargajogja.net/sosial/pembubaran-ponpes-waria-di-yogyakarta-sebuah-cermin-intolerans
https://www.liputan6.com/news/read/5195541/mengenal-pondok-pesantren-waria-al-fatah-yogyakarta-yang-diasuh-shinta-ratri
https://tirto.id/shinta-ratri-pimpinan-ponpes-waria-di-jogja-meninggal-dunia-gBLT
https://youtu.be/1f9NqWgJnW0
https://youtu.be/fcmB9jvRAYM
https://youtu.be/dg10kJszqWM