Disetiap film memang selalu disisipi “cinta melulu”. entah atas nama pasar atau memang rasa melankolis yang mengakar. Tak terkecuali karya yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko ini. Bagaimanapun juga ada yang kurang rasanya jika suatu karya tidak menyentuh sisi tersebut.
Sepasang mahasiswa yang satu ahli dalam bela diri, yang lain ahli dalam melukis. Menjalin ikatan yang tak cukup mulus sebab kesibukan dan tertutupnya salah satu pihak. Bukan tanpa alasan ahli melukis tersebut sering sibuk sendiri. Ia mempunyai pekerjaan mulia: mengumpulkan uang untuk membebaskan Ayahnya si pembobol Bank.
Memang bukan percintaan yang ditonjolkan. Tapi saya yakin sindikat ini melakukan aksi atas nama cinta. Hangat tapi tidak terlalu menyengat, setia, sepenanggungan, juga sedikit haru saya rasakan. Tentu tidak menutupi debar-debar senyar di indra bilamana reka adegan tengah memaparkan sesuatu yang akan kalian ketahui ketika sudah menyantap lakon ini.
Tau kalian aksi apa yang mereka lakukan? Mereka sedang mencuri Raden Saleh! Judul film itu tidak berlebihan atau mengandung kiasan. Mereka benar-benar sedang mencuri Raden Saleh bahkan membuat kloningannya. Aksi-aksi yang seru itu membuahkan masalah besar.
Baca Juga: Drama Mangir : Sebuah Cerminan Politik Lampau
Dikatakan masalah besar karena lagi-lagi berkaitan dengan orang-orang mampu. Mampu membayar kelemahan sipil untuk diperalat. Meminjam lirik Dapur Keluarga: Karna ku cari nafkah dari kejahatan, kucari makan dari kelaparan. Apabila kita memaknai lirik tersebut maka sangat relevan, orang – orang mampu itu mencari makan (mangsa) dari kelaparan (situasi dimana manusia terdesak). Mantan presiden mempunyai akal bulus dengan menjebak Piko, si ahli melukis agar meneruskan pekerjaan “mulia” dengan Ayah taruhannya.
Orang besar memang kebanyakan tak boleh dipercaya. Piko bersama kelompoknya lagi-lagi terkena tipu daya. Orang-orang seperti mereka tersebut memang lihai menjebak mangsa. Tetapi tak sedikit mangsa yang mencoba melawan hingga akhirnya lepas dari terkaman, bahkan menang dalam rantai makanan. Begitu juga dengan sindikat ini.
Adalah Raden Saleh sendiri yang menjadi kiblat perlawanan mereka dalam mengupayakan balas dendam. Seperti pada makna lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, yang merupakan simbol penentangan terhadap apa yang orang Belanda lukiskan sebelumnya, Penyerahan Pangeran Diponegoro. Pikir saya antara cerita dalam film dan cerita dalam lukisan hasil tangan raden Salreh tersebut memang terdapat relevansi dan kecocokan, lambang ketidakpatuhan.
Pencurian jelmaan Raden Saleh lewat tiga wajah pada Penangkapan Pangeran Diponegoro dalam satu kanvas, menyingkap bagaimana siklus kehidupan dirancang dengan sikap-sikap manusia yang tidak semuanya benar, dan kejahatan lebih banyak menampilkan wajah kebenaran. Begitu paradoks dan timpa menimpa. Siapa yang bisa menjamin dunia yang dianggap nyata ini, salah guna kuasa tersebut tak bakal terjadi. Kemungkinan hal yang lebih buruk sedang berlangsung di samping kita. Namun kita tak mengerti dan tak berniat untuk memahami.
Solusi terakhir dari permasalahan dapat mudah dibaca, seperti kebanyakan film. Meminjam (lagi) istilah Ahmad Tohari: menggunakan naluri ketelanjangan kelelakian (sifat paling dasar dan umum), berahi. begitu mudahnya seseorang terperdaya apabila sudah menyentil sensasi itu, sekalipun ia berkuasa.
Baca Juga: Dunia Perfilman Indonesia: Cerminan Gaya Hidup Masyarakat dari Masa ke Masa
Terlepas dari itu semua, ada sesuatu hal yang saya pikir agak lucu setelah menonton film ini. Ternyata mudah sekali mengelabui polisi. Memang ini sebatas lakonan saja, tapi tidak banyak perbedaan rasanya dengan apa yang saya lihat sekarang . Begitu latahnya, gagapnya, kasihannya mereka. Tokoh – tokoh polisi memang patut dikasihani diantara banyak tokoh tersebut. Tengok ke atas mereka diperalat oleh orang yang punya kuasa. Tengok ke bawah mereka dipermainkan bahkan oleh tahanan.
Ulasan ini tidak dapat merangkum segala sensasi yang saya dapatkan sebelum, selagi, dan sesudah menonton. Yang pasti selalu ada perbedaan pemahaman nilai dalam jenjang waktu tersebut. Sederhananya, nilai yang saya dapat bahwa kesetiaan dan kepercayaan begitu bergandengan pada hidup manusia, yang tidak bisa dipilih salah satunya. Pengendalian emosi amat berpengaruh pada setiap tindak tanduk interaksi antar sesama dan pilihan langkah yang diteruskan selanjutnya. Kepada nilai itu semua, selalu akan ada kawan yang menemani sebagai wajah baik, dan kejadian baik selalu berpasangan dengan kebalikannya.
selamat menonton!
Penulis: Putri