mimbaruntan.com, Untan – Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang penggunaan alat tangkap dan sejumlah aturan lainnya menuai berbagai reaksi dari kalangan nelayan. Aliansi Nelayan Kalbar turut menggelar aksi di Kota Pontianak dengan menyampaikan beberapa tuntutan, Rabu (12/7).
Selain itu, dilansir dari CNN Indonesia bahwa ribuan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Indonesia pun menggelar aksi demonstrasi damai di depan Istana Negara Jakarta, Selasa (11/7). Mereka menuntut legalisasi cantrang serta mendesak Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Susi Pudjiastuti dari jabatannya.
Terkai hal tersebut, Erdi selaku pengamat kebijakan publik sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Untan angkat bicara. Menurutnya, peraturan atau kebijakan Susi Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut merupakan konsekuensi dari konvensi internasional tentang kelautan kelestarian lingkungan.
“Ini bukan peraturan Bu Susi sebenarnya, ini merupakan konsekuensi dari konvensi internasional tentang kelautan kelestarian lingkungan, sehingga sikap pemerintah dengan melarang trawl nah itu pada saat kita merativikasi kesepakatan internasional tentang kelestarian UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut-red), kita buatlah undang-undang. Pada saat itu lahirnya undang-undang di tahun 2009,” katanya.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, lanjut Erdi, adalah dalam konteks untuk menjaga agar nelayan kecil yang radius atau operasionalnya di bawah 12 mil dengan peralatan sederhana antara 0-10 GT bisa beroperasi dan mendapat hasil. “Inikan semangat dari larangan Permen KKP Nomor 2 tahun 2015 itu yang diberlakukan pada 31 Desember 2016 itu adalah untuk melaksanakan undang-undang nomor 45 tahun 2009,” jelasnya.
Baca Juga : Kebijakan Menteri Ini Dianggap Meresahkan, Aliansi Nelayan Kalbar Gelar Aksi
“Pada saat itu, terjadi larangan untuk memanfaatkan trawl atau pukat harimau. Pukat yang ditarik menggunakan mesin, kalau sudah itu yang terjadi, habislah nasib riwayat nelayan-nelayan kecil yang beroperasi dibawah 12 mil dari perairan Indonesia,” ungkapnya.
Ia menyatakan, sikapnya terkait hal ini yang pertama bahwa semua kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini merupakan kelanjutan dari undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Pemerintah ini, kata Erdi, tidak berdiri sendiri namun merupakan proses dari periode sebelumnya. “Kesalahan sebelumnya tentu diperbaiki di masa saat ini. Seakan-akan yang dipersalahkan adalah pemerintah saat ini, itu keliru,” ujarnya.
Sepuluh tahun yang lalu, lanjut Erdi, pemerintah melarang untuk menggunakan trawl dan yang dibolehkan adalah cantrang. Namun sekarang cantrang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menyerupai trawl. “Tetapi melihat karakteristik operasionalnya maka cantrang yang saat ini yang sudah dimodifikasi itu adalah serupa atau mirip dengan trawl sehingga perlu dilarang untuk beroperasi dalam konteks untuk menjaga kelestarian lingkungan,” jelasnya.
“Ini sebagai konsekuensi, kita ini satu Negara, sama dengan provinsi, Indonesia 34 provinsi, kalau kita ingin membuat undang-undang sendiri bisa? Tidak bisa, begitulah Indonesia dalam konteks pergaulan internasional,” tambahnya.
Untuk yang kedua, Erdi menjelaskan bahwa karakteristik pemerintah adalah untuk memproteksi, tidak hanya untuk kepentingan saat ini tapi juga untuk melihat yang akan datang. “Bagaimana kita bisa melestarikan ikan, kalau ikan hamil dan kecil dibantai, inikan konsekuensi logis yang menjadi dasar pertimbangan keluarnya kebijakan itu,” ungkapnya.
Menurutnya hal tersebut sudah disosialisasikan sejak dua tahun yang lalu. “Diberi intervensi oleh pemerintah untuk nah boleh pakai cantrang tapi masanya sampai bulan juni kan begitu 2017, nah mengapa kemudian begitu sampai masanya nelayan memprotes, saya melihat ada kepentingan-kepentingan lain dari kelompok nelayan itu,” jelasnya.
“Ketiga, kita lihat undang-undang nomor 45 tahun 2009 itu sudah, membuat klasifikasi nelayan, kemudian 2007 diadakan survey oleh BPS hasilnya sangat mengejutkan, populasi nelayan, berdasarkan undang-undangg itu, nah nelayan mikro. Jadi nelayan kita lihat dari alat tangkapnya, paling tidak dari motor yang mereka gunakan untuk melaut, nelayan itu, dibagi 4, kata undang-undang,” tambahnya.
Ketika pemberlakuan kebijakan ini dihubungkan dengan sikap nelayan saat ini, ia menduga nelayan kecil tidak ada yang memprotes, hal tersebut karena memang tidak mampu mereka mengoperasikan cantrang yang harganya 375 juta dan motornya hanya 30-32 juta.
“Saya pikir ada orang-orang yang menghantui nelayan kecil itu, namun pemerintah belum maksimal terlibat dalam konteks pemberdayaan, walaupun sebenarnya ada program-program,” pungkasnya.
Penulis: Mh. Arif Rahman
Editor : Adi R.