mimbaruntan.com, Untan – Lewat Kolektif Emehdeyeh, pameran tunggal dan seni rupa kontemporer yang bertajuk ‘Talawang Kala Kini’ dari karyanya Zakaria Pangaribuan yang diselanggarakan di Port 99, Jalan Komodor Yos Sudarso, Sungai Jawi Luar, Pontianak, Selasa (26/10).
Dalam terminologi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Talawang diartikan sebagai tameng atau perisai yang memiliki makna tersendiri yaitu ‘pertahanan dan kesadaran diri.’ Sehingga manifesto sang seniman, Zakaria Pangaribuan dalam karya-karyanya mendeskripsikan terkait keadaan yang terjadi di Kalimantan Barat dalam masa sekarang.
Zakaria tertarik mengkonsepkan karya seninya terutama lukisan dengan menggunakan mitologi, motif dan sastra lisan Dayak karena sangat dekat untuk membicarakan di tanahnya sendiri, dalam perkembangannya memaknai karyanya tersebut dengan perkembangan isu politik, hukum, lingkungan, pendidikan dan budaya agar bisa tersampaikan kepada semua orang.
“Kalau itu sebenarnya sebagian besar karya berbicara tentang isu dan konflik yang terjadi di Kalimantan Barat, tetapi ada juga yang berbicara Batiniah seseorang manusia, jadi sebenarnya orang bilang ternyata sih apa karya seni tidak sekedar sesuatu yang indah, saya sendiri bicara dan menyampaikan sebuah unek-unek saya kepada seni,” ungkap Zakaria.
Baca Juga: Ruang Apresiasi dan Ekspresi Seni di Pontianak Terbatas?
Menurutnya isu-isu yang seperti itu tidak akan ada habisnya di Kalimantan Barat bahkan di Indonesia karena selalu ada bentuk keresahan yang seringkali terjadi seperti kasus penembakan, konflik masyarakat adat dengan aparat perusahaan dan kebakaran hutan. Hal ini juga membuat dirinya sangat resah sehingga menciptakan sebuah makna-makna metafora agar bisa menyampaikan keresahan dan agar semua orang bisa mengetahui kejadian yang telah terjadi pada waktu itu.
“Kalau saya cuma sekedar nongkrong dan ngobrol karena masih kurang gitu aja. Kalau di media seni juga lebih enak nyampaikannya kepada masyarakat umum,” ujarnya.
Selain sebagai media untuk menyampaikan isu dan keresahan. Dalam lukisannya inipun juga mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu hampir semua lukisan berbentuk gambaran kepala burung Enggang sebagai simbol etnikal, kultur dan modern dengan keadaan yang berbeda sesuai dengan perkembangan isu yang ada seperti sepotong ilustrasi tentang manusia tak acuh, perang tanah adat, lahir tanah adat, kebakaran hutan dan sebagainya.
“Memilih burung enggang karena seperti kita ketahui bahwa adat masih dekat dengan enggang jadi banyak orang menganggap mencoba enggang itu sebagai makhluk yang baik terus diletakkan pada dirinya sendiri. Jadi itu bisa sampaikan kesimpulan, manusia itu usaha untuk mencerminkan diri yang baik tetapi faktanya banyak yang terlalu dekat dengan hal yang buruk,” jelas Zakaria.
Baca juga: Seni Perisai Dayak Keterhubungan Manusia, Alam dan Roh Sekitar
Project Manager sekaligus penyelenggara kegiatan, Anisa Fitri menjelaskan dalam pameran karya seni tercipta karena sebagai adanya respon memahami akan metafora makna yang terkandung dari masyarakat terkhususnya di Kalimantan Barat
“Jadi kita tampung sini untuk mengenai keluhan apa sih di daerah kalian ataupun kegelisahan kalian untuk membuat karya, kita diskusi sama sama kita kerjakan sama sama. Kalau permasalahannya sudah ada, itu nanti bisa bikin karya karena kebanyakan membuat karya itu terdiri dari keresahan diri sendiri,” jelasnya.
Dari setiap lukisan, patung, tameng, dan ilustrasi karya seni yang dipamerkan menjadi sebuah jawaban besar betapa pentingnya untuk bisa memahami maksud karya tersebut, sehingga tidak hanya tentang kepopuleran, keindahan, dan kekaguman yang memicu sebuah pandangan yang begitu mentah dan sedikit akan peduli terhadap kondisi saat ini.
“Dengan pameran ini masyarakat umum terkhususnya masyarakat adat bisa melihat langsung atau menjadi metafora keadaan yang sekarang dan untuk menjaga tanah adat, karena kita berasal dari tanah yang sama harus menjaga tanah yang sama juga,” tutur Anisa.
Adapun Bayu sebagai pengunjung berpandangan tentang beberapa karya seni rupa kontemporer dari seniman Zakaria Pangaribuan, dengan konsep sesuai dengan apa yang terjadi pada masa sekarang ini dan dikombinasikan dengan motif yang tradisional (Dayak), yang menurutnya itu sangat unik dan membuatnya sangat menggemarinya. Dengan hal tersebut, Bayu berharap Pontianak bisa menjadi tempatnya banyaknya metafora karya seni dengan makna yang mengesankan dan semakin dikenali, karena hal itu juga tidak terlepas dari kebebasan berekspresi ruang seni yang harus disuarakan sebagaimana cerminan dari seniman Zakaria.
“Saya melihat minat seni dan terkhususnya di seni lukis, seni rupa itu masih kurang, padahal kalau dilihat teman saya juga ada yang berbakat dan memang cocok untuk Pontianak ini dijadikan tempat untuk memajukan bidang seninya. Sebenarnya bisa, kalau misalnya kita memang banyak itu pengunjung yang datang dan peminatnya banyak pasti kan tentunya bakal disokong sama pemerintah,” ungkapnya.
Penulis: Judirho
Editor: Putri