mimbaruntan.com, Untan – Fenomena pemadatan ruang beriringan dengan pengorbanan berkurangnya lahan pertanian. Lantas, apakah profesi petani pinggiran kota masih mampu mengakomodir perhatian atau malah kian terabaikan?
Seiring pertambahan waktu, gedung-gedung besar terus bermunculan menghiasi sisi Jalan Ahmad Yani 2 Pontianak. Kemegahan yang dipamerkan bersentuhan langsung dengan aktivitas masyarakat yang lalu lalang melewati ruas jalan. Nyatanya, pertumbuhan jumlah penduduk selalu berimplikasi terhadap kian padatnya ruang, bahkan hingga wilayah tepian kota (peri urban) yakni Kabupaten Kubu Raya yang seringkali terkena imbas dari Kota Pontianak. Menggugurkan lahan hijau menjadi pengorbanan yang digadaikan demi lahirnya bangunan-bangunan baru.
“Kekhawatiran pasti ada, kalau lahan pertanian jadi lahan perumahan ya udah selesai. Kubu Raya tidak ada lahan pertanian lagi, itulah rakyat miskin ya tetap miskin, tidak ada peningkatan. Kalau kita bertani kan minimal untuk anak kita bisa sekolah,” ujar Yono selaku Ketua Kelompok Tani yang sudah tiga puluh tahun mencari nafkah dengan bertani.
Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pabrik adalah kenyataan menyayat hati baginya. Pengurangan lahan menyebabkan ketakutan bagi anggota kelompok Yono, dengan melihat kehilangan lahan pertanian kelompok lain, dan meninggalkan profesi mereka sebagai petani.
“Sekarang kan lahan petani mengurang. Dulu lahan nya 1.000 lebih (Hektar) di Kubu Raya. Sekarang tinggal beberapa ratus jak lagi. Ya untuk sekarang di kelompok saya belum ada, pengurangan lahan tapi untuk kelompok lain itu pun ada pengurangan lahan,” keluhnya.
Pemandangan kontras sawah yang masih tersisa di Jalan Ahmad Yani 2 membawa Reporter Mimbar Untan (20/06) mendatangi lahan milik Bumi Raya Khatulistiwa itu. Angin sejuk, bentangan sawah, dan para petani paruh baya yang tengah sibuk mengusir burung pipit menjadi hadiah sore hari yang menyenangkan. Kami disambut hangat dengan senyuman keakraban. Perjumpaan kami membawa percakapan di salah satu pondok berteduh tak jauh dari situ. Di bawah hujan yang mulai membasahi, Maymunah, seorang petani mengeluarkan dua botol marjan yang diisi air kopi lokal dan menyuguhkannya kepada kami.
“Dulu saya tidak tetap lokasi sawahnya. Kalau sekarang sudah tetaplah dulu sana sini saya dilempar yang penting dapat lah lokasi,” ceritanya seraya tertawa.
Dari raut wajah penuh syukurnya itu ia tak henti ucapkan kata “Alhamdulillah” pada selipan ceritanya. Meski ia menumpang di tanah Bumi Raya Khatulistiwa, pekerjaan tersebut tetap tabah ia jalani sejak tahun 2011.
“Sikit jak lahan padi saya tu ndak sampai satu Hektar, lebih lah dari setengah. Sudah dibagi,” lanjutnya.
Maymunah menceritakan alur kesehariannya, dimulai dari pagi buta bangun mempersiapkan bekal makanan untuk ia dan suaminya. Lalu bergegas menuju sawah dengan membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai. Ibu yang memiliki dua orang anak ini, sudah tidak memiliki tanggung jawab lebih terhadap anak-anaknya dikarenakan mereka telah menikah dan bekerja. Meski begitu ia tidak semerta-merta berharap kepada suaminya dalam mencari nafkah. Ia tetap bersemangat membantu suami bertani, bahkan menjual panganan pak lau yang terbuat dari ketan menjelang lebaran.
“Saya tanam ketan juga di lahan yang sama cuman beda dia umur lima bulan, kalau padi kan empat bulan. Kalau Ketan empat kilo bibitnya, dapatnya sekitar 7 karung. Kalau mau lebaran biasanya jualan pak lau,” jelasnya.
Dalam satu kali panen, padi yang mampu ia hasilkan bersama suami nya, dari sawah yang berkisar lebih dari setengah hektar tersebut biasanya mencapai dua ton. Dengan harga bersih sebesar dua jutaan per satu ton dalam kurung waktu empat sampai lima bulan.
“Satu ton 4 jutaan harga kotornya. Biasanya dapat dua ton tapi paling tidak kita jual satu setengah, setengahnya untuk kita makan,” pungkasnya.
Bantuan pemerintah yang digulirkan faktanya belum mengakomodasi kebutuhan petani secara keseluruhan. “Dari pemerintah ndak gak banyak. Paling satu hektar dua puluh kilo atau tiga puluh kilo mana cukup, masih juga kita mengeluarkan bibit. Tak bisa kita tergantung dengan pemerintah baik pupuk baik obat-obatan. Kalau ada pemerintah yang nolong kita ambil. Kalau ndak ada, ya udah,” keluhnya.
Raut wajah Maymunah terlihat pasrah memandang hujan ketika dilontarkan pertanyaan jika lahannya diambil untuk pembangunan, bagaimana pendapatnya?
“Kalau emang nanti dibangun, kita ndak beladang. Ya pasrah,” tutupnya.
Penulis : Eufemia Santi