Beberapa waktu lalu sempat terjadi kehebohan dimana demo dan kericuhan bermunculan di berbagai daerah. Kehebohan yang terjadi karena adanya penolakan terhadap RUU Cipta Kerja pada Omnibus Law yang dinilai tidak sejajar dengan konsekuensi yang akan terjadi pada masyarakat dan lingkungan. Pemerintah dinilai begitu sepihak memutuskan RUU dan tidak melibatkan sepenuhnya masyarakat, bahkan mengesahkan RUU yang kontradiktif dan tidak seharusnya disahkan.
Beberapa pasal yang kontroversial dalam Omnibus Law seperti pasal 59 tentang penghapusan aturan mengenai jangka waktu PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), pasal 79 tentang penghapusan kewajiban perusahaan untuk memberi istirahat panjang, dan pasal lainnya yang tidak selaras dengan hak dan kewajiban masyarakat Indonesia. Bersumber dari tirto.id, sebelumnya pemerintah menyerahkan Surat Presiden, RUU Cipta Kerja, dan Naskah Akademik kepada DPR RI pada tanggal 12 Februari 2020. RUU Cipta Kerja ini dirancang untuk menjawab kebutuhan pekerja, UKM, hingga industri, seperti yang disampaikan dalam website Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia.
Selain Omnibus Law, permasalahan yang terbilang cukup mengena bagi bangsa kita yaitu kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas. Meski terjadi dalam skala lokal, sebut saja hanya terjadi disuatu desa atau kota, tetap saja masalah yang ditimbulkan menjadi momok bagi sesama manusia yang bisa memahami rasanya didiskriminasi. Pernah suatu survey diturunkan ke masyarakat oleh Komnas HAM bersama dengan Litbang Kompas meluncurkan kuisioner mengenai penilaian masyarakat terhadap penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia. Cukup mengejutkan bahwa muncul trend yang tidak begitu signifikan terhadap data yang diperoleh Komnas HAM dan Litbang Kompas. Trend yang dimaksud adalah perolehan data penilaian masyarakat terhadap penghapusan diskriminasi ras dan etnis bergerak pada garis yang berdekatan, tidak benar-benar mengalami kenaikan.
Sebut saja terdapat 81,9% responden menanggapi jika hidup dalam keturunan keluarga yang sama akan terasa lebih nyaman. 83,1% responden mengatakan bahwa dengan hidup bersama etnis yang sama akan lebih nyaman. Abdurrahman Mas’ud, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama melaporkan bahwa banyak peristiwa keagamaan yang bersinggungan dengan politik. Periode 2016-2017 yaitu kasus mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, situasi menjelang Pilkada DKI 2017, dan residu politik pada 2018-2019 menuju Pemilu serentak.
Terdapat satu lagi yang juga merupakan permasalahan tersulit yang akan dihadapi oleh anak cucu kita nantinya yaitu lingkungan. Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa dihasilkan 64 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, dan 3,2 juta ton diantaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Sampah plastik yang akhirnya terbuang ke lautan dapat terpecah menjadi partikel-partikel mikroplastik yang akan sangat mudah dikonsumsi biota laut.
Hal ini akan berdampak pada hasil laut, terutama yang akan dijadikan sebagai sumber ekspor karena dinilai mutu yang dihasilkan sangat tidak baik. Selain itu, hasil hutan yang ada bisa saja sebenarnya lebih dikembangkan, namun justru perusahaan sawit kiat merebak kawasan hutan menjadi miliknya dan mendominasi daratan dengan Elaeis sp. Apalagi masih ada hewan dan tumbuhan endemik yang terancam keberadaannya akibat alih fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan.
Sekian dari berbagai masalah di Indonesia yang disebutkan sebagai pembuka sebelumnya, lantas bagaimana cara berpikir pemuda Indonesia sekarang bekerja? Bagaimana menilai yang “sebenarnya” berdampak baik bagi sesama dan lingkungan, serta diri sendiri? Bagaimana kita sebagai pemuda mengetahui kekritisan kita dalam menindaklanjuti apa yang seharusnya kita perbuat? Kita bisa saja menyebut bahwa kritis itu tentang bagaimana kita menilai suatu hal dan memberikan respon dari hasil pemikiran kita secara rasional, adanya gagasan bahwa kita juga bisa menyampaikan buah pikiran yang memang sudah kita tafsirkan selaras dengan keadaan yang terjadi, atau mungkin asumsi-asumsi yang sekiranya dapat mendorong sesama kita untuk berpikir bersama mencari solusi akan suatu permasalahan.
Jika menanyakan definisi kritis tiap orang memang akan berbeda. Lantas, kritis yang baik itu yang bagaimana? Penulis menjelaskan bahwa kritis yang baik adalah tentang bagaimana kamu menyadari kesalahan yang kamu perbuat dan tetap mau belajar untuk memperbaiki yang salah. Sebagai pemuda, tentunya mengetahui kekritisan diri sendiri bisa dengan melihat seberapa responsif kita terhadap kejadian dan problematika yang ada disekitar kita, seperti adanya aksi demo dan sebagainya.
Perlu ditanggapi bahwasanya kritis tidak hanya sebatas ikut-ikutan apa yang dilakukan orang lain, namun bisa dengan kita memberikan penilaian atas apa yang orang-orang tersebut lakukan, mengumpulkan tanggapan-tanggapan orang-orang yang memang berpengalaman, mencari referensi, perenungan akan diri sendiri. Dari situ kita saja sudah bisa menjawab tentang bagaimana memberi penilaian yang sebenarnya berdampak baik bagi sesama dan lingkungan, serta diri sendiri.
Masih berkutat pada “bagaimana cara berpikir pemuda Indonesia sekarang bekerja?”. Coba kita tilik dari apa saja tindakan yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda zaman sekarang. Tidak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat di kampus atau lingkungan sekitar kita. Ambil contoh lingkungan disekitar penulis yang kebanyakan berisi pemuda yang pasif atau kurang dapat memahami konteks demo dan pembelajaran yang ada di kampusnya atau organisasi yang diikuti.
Beberapa pemuda cenderung menilai bahwa dengan ikutan demo, mereka akan menyampaikan aspirasi, berani bertanggung jawab atas apa yang dipilih (ikutan demo dan bertindak anarkis sampai merusak fasilitas umum), mengatakan bahwa sistem belajar yang diterapkan oleh dosen tidak sesuai dan menyakiti kesehariannya yang bebas sementara mulut berkata ingin cepat lulus dan berusaha ambil 24 SKS, atau bahkan kuliah sebagai kewajiban yang diberikan orang tua sekaligus mendapat uang jajan. Kalau menilai dari pandangan tersebut, bisa saja kita bilang itu terserah mereka, itu hak mereka, itu pendapat mereka.
Tapi secara sosial, beberapa akan menanggapi bahwa cara berpikir yang demikian tidaklah dewasa dan perlu bimbingan lebih. Bisa “Iya” jika yang memberi saran juga sudah bersifat atau dinilai dewasa. Kalau tidak? Ini memang momok yang terjadi di masyarakat. Fluktuasi pendapat bukanlah suatu kuantitas yang bisa secara pasti dihitung, namun kita dapat beranggapan bahwa siapapun bisa salah, terutama memang masalah kepekaan terhadap permasalahan yang terjadi di bangsa dan diri sendiri.
Otak kita bekerja berdasarkan informasi yang kita peroleh dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang sedari awal sudah mendukung kepribadian kita. Baik orang dewasa atau pemuda yang sebenarnya bisa sama-sama tidak dewasa atau dewasa. Meskipun begitu, kekritisan dapat dipandang jika suatu problematika muncul dimasyarakat dan kita memperhatikan bagaimana tanggapan-tanggapan orang-orang muda disekitar kita yang juga mengetahui arahan-arahan dari yang tua.
Keduanya (tua-muda) bisa sama-sama berpikir untuk menyelesaikan suatu solusi, entah dengan membuka forum group discussion, mengajari anak-anak dilingkungan tempat tinggal untuk berbahasa yang baik dan benar, memberikan pemahaman kepada sesama kaum muda untuk menyampaikan pendapat berdasarkan referensi dan buah pikiran yang rasional, tidak serta merta mengandung unsur subjektifitas, bahkan menyadarkan sesama untuk tidak terbawa arus organisasi-organisasi yang terbilang mengganggu moral dan kemanusiaan.
Pemuda Indonesia itu haruslah kritis otaknya, bukan krisis otaknya. Dengan berbagai pemahaman yang berbeda dimasyarakat, seharusnya pemuda dituntut untuk bisa memfilter informasi yang sah dan eligible sebagaimana peran yang seharusnya, yaitu akan meneruskan perjuangan bangsa dan mengganti peran tua-tua kita. Bukan sebatas pada mengetahui dan bujur arus berdemo tanpa memahami isu kemanusiaan dan keadaan lingkungan yang semakin memburuk.
Penulis : Marsianus Marthin Rivaldy