Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap orang, bahkan telah menjadi hak yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi seseorang. Pendidikan dewasa ini mulai kehilangan esensinya, pendidikan tidak lagi menjadi salah satu wadah pengembangan diri dan cenderung menjadi suatu sirkulasi bisnis melalui skema penerimaan di perguruan tinggi yang tidak lagi menerapkan proses seleksi yang kompetitif.
Pada beberapa kasus, terjadi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang semakin memperburuk wajah pendidikan yang ada di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Keadaan tersebut tidak terlepas dari lemahnya sistem pengawasan yang ada di suatu negara dan tidak terlepas dari mudahnya tindakan “pengelakkan” hukum yang dapat dilakukan oleh para pelaku terhadap ancaman hukuman yang sedang mereka hadapi.
Akibatnya sangat jelas, para pelaku tindakan kriminal, termasuk koruptor, dapat dengan mudah melakukan aksi-aksinya tanpa khawatir terjerat kasus hukum. Dengan berbagai tantangan yang sangat kompleks tersebut, maka pendidikan di suatu negara akan sulit berkembang dan menjadi masalah baru bagi pemerintah atau masyarakat.
Akan tetapi, kita tidak menutup kemungkinan dan fakta yang ada di depan mata bahwa banyak masyarakat yang telah merasakan dunia pendidikan dengan cukup baik. Tidak jarang beberapa orang telah memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi, dimulai dari jenjang sarjana hingga doktoral.
Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa terjadi peningkatan kesadaran dan peluang bagi setiap orang untuk menempuh pendidikan yang layak, namun yang harus dipikirkan kembali secara filosofis atau ekonomis apakah suatu masyarakat yang terus menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari rata-rata orang dapat memberikan kontribusi ke dalam masyarakat atau cenderung menciptakan masalah baru?
Apakah kita pernah berpikir, bagaimana suatu kegiatan perekonomian dapat berjalan dengan baik? Berbagai tawaran teori yang berasal dari para ekonom banyak menghiasi cakrawala pendidikan dan penelitian yang ada di dunia. Dari ekonomi klasik hingga neo-klasik, dari teori nilai kerja hingga utilitas, dari marchant capitalism hingga late capitalism.
Baca Juga: Merapah Derai Abai Pemulung
Semua teori tersebut dapat diidentifikasi hanya melalui hubungannya dengan pekerja yang tidak memiliki kualifikasi kerja yang tidak terlalu ahli atau berpendidikan rendah, di mana mereka melaksanakan kegiatannya di pabrik-pabrik atau bekerja pada sektor yang tidak memiliki prestise tinggi, misalnya kasir, tukang kebun, pengangkut sampah, atau tukang sayur.
Analisa yang disajikan secara kualitatif atau kuantitatif hanya dapat dibuat melalui anomali yang ditemukan dalam aktivitas perekonomian pada umumnya yang terjadi di dalam masyarakat. Para pekerja dengan kualifikasi rendah atau berpendidikan rendah memiliki peran penting di dalam masyarakat, kemampuan dasar terkait membaca, menulis, dan menghitung, sangat penting bagi kelangsungan dari sirkulasi ekonomi.
Pada aktivitas perkonomian yang terjadi sehari-hari di dalam masyarakat, pada dasarnya tidak membutuhkan analisa ilmiah atau metodologi yang bersifat rigit untuk melakukannya. Misalnya, seorang pedagang sayur tidak membutuhkan pendekatan neuroeconomy atau econometrics untuk menetapkan harga barang dagangannya, yang mereka butuhkan hanyalah memperhatikan tren yang sedang terjadi di pasar dan memperhitungkan biaya-biaya yang dibutuhkannya untuk memasarkan barang dagangannya tersebut, tindakan ini sesederhana berhitung, menulis, dan membaca situasi.
Dengan demikian, aktivitas ekonomi yang berlaku secara umum dapat berjalan dengan tenaga para pekerja dan kapitalis kecil (pinggiran) yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi.
Selain yang disebut belakangan, para pekerja dengan pendidikan atau kualifikasi yang tinggi juga membanjiri pasar tenaga kerja dan ikut serta mempengaruhi paradigma masyarakat tentang dunia pendidikan serta ekonomi. Apabila dikaji secara sosiologis, seseorang dengan pendidikan yang tinggi atau sangat tinggi biasanya akan ditempatkan pada posisi di atas rata-rata oleh masyarakat dan dianggap sebagai seseorang yang “sukses” dibandingkan dengan para pekerja yang berkualifikasi rendah. Paradigma tersebut mendorong keinginan dan keseriusan seseorang untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi agar mendapatkan perhatian, pengakuan, atau memperbaiki kualitas pendidikan di dalam suatu keluarga.
Banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan beasiswa agar dapat mengeyam pendidikan di perguruan tinggi, bahkan tidak jarang bagi seseorang yang berasal dari keluarga kaya (kapitalis) akan memilih perguruan tinggi swasta yang berstandar internasional untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Beberapa perguruan tinggi swasta menjadi opsi yang sangat prestise bagi beberapa kalangan dikarenakan biaya studi yang sangat tinggi, namun tidak jarang hal ini sebanding dengan kualitas pembelajaran yang diberikan oleh pihak perguruan tinggi bagi setiap mahasiswanya, termasuk jaringan internasional dan kolega perguruan tinggi swasta tersebut yang nantinya bersedia untuk menerima para lulusan dari perguruan tinggi swasta untuk bekerja di perusahaannya.
Para pekerja ini dapat menduduki posisi yang sangat strategis di dalam suatu korporasi, posisi terendah yang bisa diduduki oleh seorang pekerja dengan gelar sarjana hingga doktoral adalah tingkat manajerial dan yang paling tinggi adalah direksi atau komisaris.
Baca Juga: Ibu Bagaimana Jika Tidak?
Potensi-potensi ini yang kemudian mendorong adanya industrialisasi dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Di mana tidak ada standar penerimaan yang berlaku secara ketat dan hanya mementingkan agar kuantitas penerimaan di suatu perguruan tinggi dapat terpenuhi, sehingga mendatangkan keuntungan bagi pihak tertentu.
Memang, potensi bagi terciptanya industrialisasi pendidikan tidak hanya didorong oleh tuntutan korporasi, tetapi juga dari penilain subjektif di mana hal ini sangat berbahaya seseorang yang menganggap bahwa pendidikan yang tinggi adalah syarat “utama” untuk menduduki posisi atau jabatan yang lebih tinggi.
Hal ini terkesan menyalahi esensi pendidikan yang seharusnya diposisikan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, pengembangan diri, dan meningkatkan kualitas pola pikir seseorang. Pendidikan tidak hanya dibutuhkan sebagai syarat dalam pekerjaan, namun lebih daripada itu.
Esensi pendidikan ditujukan untuk memastikan bahwa seseorang mampu menciptakan inovasi yang tidak hanya berdampak pada dunia kerja, tetapi juga di dalam masyarakat. Apabila pendidikan selalu diposisikan sebagai syarat dan bukan sarana pengembangan, maka seseorang yang menempuh pendidikan tinggi tersebut berpotensi besar hanya menjalani pendidikannya secara acuh tak acuh karena tidak jarang yang mereka butuhkan hanya gelar atau ijazah, dan bukan ilmu yang seharusnya mereka pelajari.
Banjir lulusan dari perguruan tinggi dari sarjana hingga doktoral menjadi bencana baru yang mulai terlihat saat ini. Dalam hal ini berlaku hukum permintaan dan penawaran, di mana apabila suatu penawaran terlalu banyak (para lulusan perguruan tinggi) dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi yang sedikit, maka akan terjadi penurunan kuantitas upah yang ditawarkan karena pasar menyediakan begitu banyak lulusan yang tidak terdistribusi dengan baik di suatu wilayah.
Sehingga korporasi dapat dengan mudah melakukan monopoli tingkat upah yang ditawarkan kepada tenaga kerja. Akibat timbulnya keberlimpahan tenaga kerja dengan kualitas pendidikan yang tinggi di mana tidak semuanya memperoleh kesempatan kerja dan berpotensi menganggur akan mengancam keberadaan dan peluang kerja bagi tenaga kerja yang berkualitas rendah.
Dengan adanya orang-orang yang overeducated masuk ke dalam pasar tenaga kerja yang berkualitas rendah, maka para tenaga kerja berkualitas rendah tersebut akan tersingkir dan tidak mendapatkan peluang kerja.
Dampak tingkat lanjut dapat dirasakan pada peningkatan pengangguran yang mengancam perlambatan pertumbuhan ekonomi, di mana beban rumah tangga akan semakin menigkat yang tidak diiringi dengan penyerapan tenaga kerja intensif. Banjir lulusan perguruan tinggi tersebut tidak memicu krisis secara langsung, namun menciptakan peluang bagi korupsi, kolusi, dan nepotisme, di mana mulai bertebaran istilah “orang dalam” yang tentu menyingkirkan tenaga kerja berkualifikasi rendah atau tinggi, yang memiliki potensi tinggi untuk menduduki suatu posisi tersebut, dengan terpaksa harus tersingkir oleh calon tenaga kerja yang memiliki “kedekatan” terhadap internal perusahaan.
Akibatnya, kualitas SDM yang ada di suatu korporasi tidak mampu memberikan sumbangan berarti pada perkembangan sirkulasi ekonomi karena diterima hanya berdasarkan kedekatan dan bukan kemampuan.
Penulis: Angga Pratama/ Kontributor
Burris, V. (1983). The Social and Political Consequences of Overeducation. American Sociological Review, 454-467.
Cohen, J. (2010, January 15). What is neuroeconomics? . Retrieved from Yale Insights: https://insights.som.yale.edu/insights/what-is-neuroeconomics
Dua Rektor Kampus Negeri Jadi Tersangka Korupsi Seleksi Mandiri. (2023, March 14). Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230314071815-12-924672/dua-rektor-kampus-negeri-jadi-tersangka-korupsi-seleksi-mandiri
Farooq, S., & Usman, A. (2008). Underemployment, Education, and Job Satisfaction. The Pakistan Development Review , 895-907.
Moody, H. R. (1986). Education in an Aging Society. Daedalus, 191-210.