‘Sungguh jauh jarak antara lidah manusia dan perbuatan terlebih kepadanya diberikan sebuah jabatan’ seingatku pemeran tokoh Tan Malaka pada monolog Saya Rusa Berbulu Merah pernah berkata seperti itu. Tan Malaka seorang aktivis kemerdekaan yang dianggap beraliran kiri kemudian mati ditembak oleh TNI di Gunung Wilis, Desa Selopanggung Kabupaten Kediri pada tanggal 21 february 1949. Setidaknya begitu yang kubaca dari buku karya Harry A. Pooze tentang kebenaran mengenai Tan Malaka.
Kini sudah beberapa tahun lamanya sejak kematian Tan Malaka mungkin tidak ada lagi yang mengenali nama dan sepak terjang lelaki itu di jaman kemerdekaan. Kurasa kematiannya tidaklah sia-sia. Aku menikmati salah satu perkataannya mengenai makna sebuah jabatan. Begitu pula pembahasan mengenai ucapan dan perbuatan manusia yang punya kekuasaan untuk mengurus kehidupan orang lain. Menarik pikirku.
Terbenam aku dalam halaman-halaman buku karya Harry A. Pooze yang kubaca di ruang perpustakaan fakultas hingga derap kaki Herman yang medekat pun lewat dari pendengaran. Tiba-tiba saja sebuah tangan mendarat di pundak sebelah kiri, ah tangan yang keras milik Herman ini menutup perjalanan seru dari halaman buku yang kubaca. Raut wajah Herman serius sekali seperti tidak ada semburat kebahagiaan di dalamnya ketika aku menoleh untuk menanyakan gerangan apa ia mencari-cariku.
“Duduklah dulu”. Herman tak menggubris perkataanku, ia malah mencengkeram pergelangan tanganku dengan erat. Aku tau dia ingin sekali aku mengikutinya untuk urusan yang aku tak tau apa. Nantilah saja kutanyakan setelah keluar dari ruang perpustakaan ini, aku tak mau membuat gaduh nanti bisa saja kami dilempari oleh mahasiswa lain karena mengganggu kenyamanan mereka dalam membaca.
“Jadi ada apa Her, kau gusar sekali”. Kami berhenti tidak jauh di depan pintu perpustakaan. Herman sudah melepaskan cengkeramannya kulihat dia berpikir menemukan kata yang tepat untuk mulai menjelaskan permasalahan yang ada di kepalanya. Butuh beberapa tarikan napas keluar dari mulut lelaki berambut gondrong ikal tersebut hingga ia mulai membuka pembicaraan.
“Anak-anak pada mau ribut, mereka kira Risto dan Ahmad main curang”. Kalimat yang keluar dari mulut Herman membuat aku paham situasinya. Risto dan Ahmad adalah salah satu dari calon presiden dan calon wakil presiden mahasiswa di Fakultas Sastra. Sebenarnya dalam minggu ini akan diadakan pemilihan untuk presiden dan wakil presiden mahasiswa, bisa dibayangkan bagaimana bau-bau pesing politik dan orang-orang mahabenar sudah mulai berkeluaran.
“Wan, ini kagak bisa dibiarkan. Kita harus ikut kasi pelajaran untuk Risto-Ahmad dan cecunguknya” ujar Herman yang mulai memprovokasi. Urat-urat sudh mulai kelihatan disekitar keningnya, matanya juga nanar menandakan seberapa marah ia dengan kubu lawan.
“Tenanglah dulu, aku tak tau apa yang terjadi”
“Kau terlalu banyak baca buku Wan, kau tau Yoga dikeroyok pihak lawan?” Aku kaget ketika mendengar Yoga di keroyok. Pemuda itu berkoalisi dengan Timus dalam pencalonan presidan dan wakil presiden mahasiswa menghadapi pasangan Risto-Ahmad. Tak kusangka akan ada permainan fisiik seperti ini. Benarkah kejadiannya seperti itu? Apa Herman tak salah dapat info? Banyak sekali pertanyaan dan kemungkinan yang coba kuluruskan, aku tak mau gegabah maju di medan perang tanpa modal.
“Kenapa panwasram dan panitia pemilihan tidak bergerak heh?” Kalau benar kejadiaanya seperti itu pastilah pasangan Risto-Ahmad akan ditindak lanjuti, tapi jika ini memang terjadi tanpa sepengetahuan mereka berdua dan aksi pengeroyokan ini adalah ulah pendukungnya apa bisa dikatakan curang? Bagiku kejadian ini tidak masuk akal, bagaimana bisa Yoga dikeroyok lalu menuduh Risto-Ahmad adalah pelakunya.
“Bisa jadi saja mereka bersekongkol untuk memenangkan Risto-Ahmad, banyak sekali cara untuk mendapatkan kekuasaan ini Wan. Kalau sampai mereka naik tahta, jadi apa kita nantinya.” Herman berkata seolah-olah ini adalah kekacauan yang ditimbulkan pihak lain. Aku jadi semakin sengsara dikelilingin orang-orang mahabenar seperti ini.
“Bodoh. Kalau kau ingin maju ya majulah sana habisi mereka yang kau dan kawan-kawan lain anggap salah. Jangan tanggung-tanggung kalau bisa sampai mampus sekalian tapi jangan bawa aku kedalam hal bodoh macam ini. Sebegitu tololnya kalian bergerak, apa kalian sudah punya bukti siapa pelakunya? Atau ini hanya tebakan kalian saja? Atau sebenarnya yang mengeroyok Yoga adalah kalian lalu mengkambing hitamkan pasangan lawan”. Tanganku sudah menggengam keras menahan betapa marahnya aku. Marah karena perebutan jabatan seperti ini. Benar-benar politik bau pesing, aku tidak mau berenang lebih dalam lagi.
BUUUK. Sebuah pukulan menghantam pipi kiriku, ah rasanya sakit sekali sampai aku tak sadar aku sudah terduduk di lantai. Herman memukulku, kurasa ia kesal karena perkataanku barusan. Apa aku sudah kelewatan bicara? BUUUUK. Satu tendangan menghantam tulang kering di kaki kiriku. Aku menjerit kesakitan, kurasa Herman makin ganas saja aku sudah pasrah kalau ia bakal menginjak badanku lagi. Tak kusadari anak-anak pada berdatangan untuk melerai kami, yang kutahu aku sudah dilarikan menjauh dari Herman yang mungkin saat ini sedang ditahan beberapa mahasiswa agar tidak lebih jauh memukulku.
Aku didudukkan di selasar dengan punggung bersandar di tembok, seingatku ada yang memberiku air mineral untuk diminum tapi aku tak lihat wajahnya. Setelah kupinum dan kuatur napas baru kusadari itu adalah Rere dan beberapa junior yang mukanya tak asing bagiku. Setelah berapa waktu aku terduduk mahasswa yang membantu melarikanku itu undur diri menyisakan aku dan Rere saja. Aku masih saja terdiam menahan sakit yang perlahan mulai hilang.
Rere mulai membuka pembicaraan dari hal menanyakan siapa namaku, sampai menayakan berapa jumlah jari yang ia keluarkan. Rere panik, ia kira aku geger otak mungkin. Akhirnya ia yakin aku baik-baik saja. Kulihat dia mulai mengikat rambutnya sambil menanyakan apa alasan Herman memukulku jadi kujelaskan saja permasalahanya dari awal biar Rere paham.
“Untuglah kau datang cepat Re, telat sedikit saja tulang-tulangku bisa patah”
“Ya, kau harus sangat berterima kasih lebih banyak padaku Wan. Omong-omong semuanya ini makin rumit ya, bahkan karena perebutan kekuasaan kita bisa bermusuhan dengan teman sendiri. Tapi ketika didepan khalayak mereka bersikap seperti orang yang paling peduli dengan nasib-nasib rakyatnya, benar-benar kotor ya politik itu ”
“Tan Malaka pernah bilang Re, sungguh jauh jarak antara lidah dan perbuatan apalagi kepadanya diberikan sebuah jabatan, ya begitulah kiranya ketika seseorang dengan jabatan terkadang antara lidah dan perbuatannya belum sesuai, lidahnya lebih manis dari madu tapi perbuatannya lebih hina daripada binatang. Tapi tidak semuanya seperti itu kok, tidak semuanya”
“Soe Hok Gie juga pernah bilang kalau politik itu adalah hal yang paling kotor, lampu-lampu kotor, tapi ketika kita sudah tidak bisa mengelak lagi maka terjunlah. Jadi apa sekarang kita sudah terjun Wan?”
Aku kagum dengan wanita cerdas yang duduk disebelahku ini, setidaknya dia belum jauh terjun ke kolam bau pesing yang kami berdua sama-sama tidak suka tapi terpaksa harus dijalani. Kulihat Rere masih menunggu jawaban atas pertanyaan, raut wajahnya mirip bocah perempuan yang menunggu jawaban dari gurunya. Lucu sekali pikirku.
“Ya kita sudah terjun, tapi…”
“Tapi apa Wan?”
“Jangan berenang terlalu jauh, jangan menyelam terlalu dalam.”
Rere tertawa setelahnya seolah perkataanku barusan itu lucu. Mungkin aku tidak sadar dengan apa yang sudah kukatakan apakah lucu atau malah menyakiti perasaan orang lain seperti Herman contohnya, tapi mengenai hari ini aku punya pandanganku sendiri bahwa memang politik adalah salah satu jalan menuju kekuasan, tangga untuk menciptakan kemakmuran tapi janganlah kau pergi didalamnya tanpa bekal nanti bisa saja kau yang disesatkan oleh jabatanmu sendiri. Imam Ghazali pernah bilang, Yang ringan adalah meninggalkan sholat sedangkan yang berat adalah amanah. Kurasa ia benar.
Karya : SR
Fakultas MIPA Untan, Program studi Fisika