“Gunung Eiger Kembali Menelan Korban Jiwa. Seorang Pria Ditemukan Tewas Dalam Kondisi Beku.” – Begitulah judul berita yang dibawakan oleh presenter cantik di televisi.
Seorang wanita berpakaian rapi mendengar keseluruhan berita tersebut dengan ekspresi sedih yang terlihat dengan jelas di wajahnya.
“Aku sangat merindukanmu,” dia berkata dengan penuh kesedihan sambil menatap Gunung Eiger dari ruang kerjanya.
Tidak lama kemudian, seorang pria memasuki ruangannya. “Nyonya Sekretaris, rapat anda akan dimulai 15 menit lagi. Mohon segera bersiap-siap dan menuju ke ruang rapat. Tuan Chevelier telah menunggu anda”.
“Baiklah, silahkan pergi terlebih dahulu dan beri tahu klien bahwa saya segera menuju ke sana secepat mungkin,” kata wanita itu sambil menyusun beberapa laporan untuk kemudian didekapnya. Sebelum menutup pintu ruangannya, sekali lagi dia memandangi Gunung Eiger dan bergumam “Jangan khawatir, Chevelier menjagaku. Dia pemimpin yang hebat dan juga suami yang hebat.”
***
“Athena!!” sapaku untuk mengejutkan seorang wanita cantik yang sedang sibuk memandangi gunung indah yang menjulang tinggi. Salju putih yang menutupinya membuat Gunung Eiger terlihat menakjubkan.
“Suatu hari nanti, aku pasti akan menaklukkanmu, Eiger!” kata Athena dengan penuh semangat hingga secara tidak sadar melemparkan lembar-lembar ijazah kelulusannya ke udara. “Brunnen, mari kita taklukkan Gunung Eiger bersama-sama,” ajaknya sembari memungut ijazah kelulusan SMA-nya.
Aku tidak mungkin menolak permintaan dari wanita yang aku cintai. Dengan antusias, akupun menyetujui tawarannya.
Aku dan Athena sudah berteman sejak kami duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dan kembali bersama di Sekolah Menengah Atas Grindelwald. Namun, ketika orang tua dan saudariku terlibat dalam kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mereka, membuatku hidup sendiri. Pada awalnya, aku tidak lagi memiliki harapan untuk hidup, tetapi kehadiran Athena membuat hari-hariku sangatlah berarti. Setelah lulus SMA, akupun memutuskan untuk bekerja di perusahaan milik teman mendiang ayahku. Sedangkan Athena, dengan kecerdasannya, mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya di Swiss Federal Institute of Technology Zurich, Universitas terbaik di Swiss.
Tentu saja aku merasa sedih karena harus berpisah dengan Athena. Namun, Athena menjanjikan satu hal, dia akan terus mengabariku dan akan terus menghabiskan liburannya bersamaku. Janji tersebutlah yang membuatku terus bersemangat untuk menantinya.
Akhirnya hari yang kutunggupun tiba, Athena kembali ke Grindelwald untuk menghabiskan liburan musim dinginnya. Itu adalah hari yang tidak akan pernah ku lupakan. Hari dimana Athena menyatakan perasaannya padaku. Di atap rumahku, kami menghabiskan malam yang indah memandangi keindahan langit yang dihiasi taburan bintang.
“Pernahkah kau mendengar tentang mitos bintang jatuh?” Athena bertanya sambil mengagumi indahnya langit malam.
“Tidak. Kenapa dengan bintang jatuh? Tidakkah ketika bintang jatuh bumi akan hancur?” candaku dengan konteks yang lumayan berat.
“Konon katanya, bintang jatuh bisa mengabulkan satu permintaan. Apa kau percaya?”
“Bagaimana denganmu?”
Athena kemudian bercerita tentang seorang anak laki-laki yang kesepian, ketika dia melihat bintang jatuh, dia membuat harapan agar dia bisa memiliki teman yang selalu berada di sisinya. Keesokan paginya, anak itu menemukan seekor anak anjing yang kemudian menjadi temannya sampai mereka dewasa, bahkan sampai maut memisahkan mereka.
“Brunnen, apa yang kau ingin sampaikan kepada bintang jatuh?” Athena bertanya.
“Aku ingin keluargaku tetap hidup sehingga aku tidak akan merasa kesepian lagi. Tapi sepertinya membawa kembali orang-orang yang telah tiada itu mustahil. Aku tidak perlu menunggu bintang jatuh untuk menghilangkan kesepianku. Karena saat ini telah kutemukan alasanku untuk tetap menjalani kehidupan.”
“Apa itu?”
“Itu kau, Athena,” aku menertawakan wajah Athena yang memerah tersipu malu.
***
Hari kelulusan Athena pun telah tiba. Akhirnya kami bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Athena memintaku menghadiri acara kelulusannya. Melihatnya menyampaikan pidato sebagai lulusan terbaik membuatku sangat bangga. Dalam perjalan pulang, Athena menunjuk Gunung Eiger, dan kembali mengulang perkataan yang dia ucapkan tiga tahun yang lalu.
“Brunnen, mari kita taklukkan Gunung Eiger bersama-sama.” Mendengarnya membuatku tertawa.
“Bisa-bisanya seorang lulusan terbaik dari universitas terbaik bukannya sibuk merancang karir masa depannya, tetapi sibuk menaklukkan Gunung Eiger,” ejekku ke Athena yang melihatku dengan pipi yang menggembung pertanda kesal.
“Baiklah, kita taklukan gunung imut itu, tapi tunggu hingga aku mendapat jatah libur,” bujukku kepada Athena. Athena menyanggupinya dengan penuh semangat yang tergambar jelas melalui sorotan matanya.
Hari itu akhirnya tiba. Hari dimana kami akan menaklukkan gunung Eiger. Sejujurnya aku sangat takut melakukannya. Namun, semangat Athena membuatku mengumpulkan keberanian. Kami berangkat dari Grindelwald ke Kleine Scheidegg dengan kereta api. Pemandangan sisi utara Gunung Eiger terlihat di jalur pendakian Gunung Eiger. The North Face, hal yang paling aku takuti. Sesampainya di Kleine Scheidegg, kami langsung menuju lokasi camp utama di Eigergletscer melalui Jungfrau Eiger Walk.
Melihat sepinya pendaki yang berniat untuk menaklukkan Gunung Eiger, membuatku semakin khawatir. Di tengah kehawatiranku, dua pria asing menghampiriku lalu menepuk pundakku sembari berkata “Allez-y doucement, ne vous inquiétez pas. Plus tu as peur, plus tu es proche de l’échec“.
Tentu saja, aku tidak mengerti apa yang baru saja mereka katakan. Tapi, mungkin saja mereka mencoba untuk menenangkanku. Kemudian mereka memperkenalkan diri. Hanya beberapa hal yang aku tahu, yaitu mereka berasal dari Prancis. Pria berjenggot adalah Chevelier dan pria yang memakai anting adalah Patricio. Untungnya, Athena bisa berbahasa Prancis, dan berkatnya, aku tahu bahwa mereka ingin membuat party dengan kami untuk menaklukkan Gunung Eiger. Kami pun mengatur rencana penaklukkan, namun aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sebenarnya aku sangat malu karena aku tidak bisa berbahasa Prancis yang notabenenya bahasa sehari-hari di Swiss adalah Jerman, Prancis, Italia, dan Romansh. Tetapi sialnya, aku hanya bisa berbahasa Romansh.
Aku merasa kasihan ketika Athena menjadi penerjemah untuk pembicaraan kami. Walaupun demikian, rencana kamipun telah disusun dengan matang.
***
Hari penaklukanpun dimulai, Chevelier menyarankan untuk memulai sebelum matahari terbit yaitu sekitar pukul 04.00 PM sehingga ketika badai datang, kami sudah berada di Travers of the Gods. Pendakian dari First Pilar menuju Stasiun Eigerwand tidak memberikan tantangan yang berarti. Namun, pendakian yang sebenarnya dimulai di Gallery Window. Tidak, ini bukan mendaki, lebih tepatnya memanjat dinding utara Gunung Eiger. Suara hembusan angin terdengar nyaring namun sangat menakutkan. Suhu udara disekitar dinding utara sangatlah mencekam hingga menembus beberapa lapis baju yang kupakai. Akupun menelan ludah ku pertanda adrenalinku mulai terpicu. Suara yang dihasilkan oleh phyton yang ditancapkan mulai terdengar. Dan kernmantle rope mulai diikat. Kami mulai memanjati The North Face dengan terus mengulang proses yang sama. Tancap, ikat, panjat. Begitu seterusnya. Ku lihat Chevelier dan Patricio memanjat layaknya laba-laba. Dengan cepat mereka sudah mendekati area Ramp.
Kami semua akhirnya melewati area Ramp. Terlihat jelas bahwa kedua pria Prancis itu adalah pendaki yang ahli. Di sisi lain, aku melihat Brunnen tidak jauh di bawahku.
“Heyy Brunnen, ayolah, jangan membuatmu terlihat lebih buruk dariku,” teriakku sambil mengejek Brunnen.
“Aku sengaja berada di bawahmu agar aku bisa menangkapmu jika kamu jatuh,” goda Brunnen yang berhasil membuatku salah tingkah.
Tancap, ikat, panjat. Proses itulah yang terus berulang. Aku mencari keberadaan kedua pria Prancis tersebut dan hasilnya nihil, kabut menghalangi pandanganku. Akupun mempercepat proses panjatanku agar segera tiba di area Death Bivouac untuk beristirahat sejenak sesuai dengan rencana yang sudah disusun semalaman. Hembusan angin mulai terdengar ribut. Suhupun perlahan menurun. Tetapi itu tidak membuatku menyerah, yang ada semakin membuatku bersemangat. Adrenalinku terus terpacu hingga sampai di Death Bivouac. Chevelier dan Patrico yang telah dulu beristirahat di Death Bivouac mengejek Brunnen yang terakhir kali sampai.
Berdasarkan rencana, kami akan melanjutkan penaklukan ketika pukul 05.00 PM, kurang lebih sepuluh menit lagi. Perkiraan kami, pukul 06.00 PM, kami sudah menginjakkan kaki di Travers of the Gods. Kami pun segera melanjutkan penaklukkan. Tancap, ikat, panjat, proses itu terus terulang. Seperti biasa, Chevelier dan Patricio memanjat terlalu cepat sehingga keberadaannya mulai tertutupi kabut. Keheninganpun tercipta, suara hembusan angin menjadi satu-satunya musik yang bisa kudengar. Sesekali aku melihat ke bawah, memastikan kalau Brunnen masih berada tidak jauh dariku.
Tiba-tiba, aku mendengar teriakan Chevelier.
“Turun! Turun!, longsoran salju akan menimpa kita,”
“Cepat, Cepat, Cepatlah!!” lanjut Patricio.
“Kembalilah ke Death Bivouac!!” Chevelier memerintahkan saat longsoran salju mulai menghantam kami.
Tapi apa boleh buat, posisi kami sudah terlalu jauh dari Death Bivouac, sehingga mau tidak mau kami hanya bisa berlindung dibalik pilar-pilar kecil. Walaupun kami tidak sepenuhnya terhindar dari longosoran salju, namun setidaknya kami masih bisa selamat. Kami membuat perhitungan yang salah, badai datang lebih awal dari yang kami perkiraan. Memperhitungkan cuaca yang sudah memburuk, kami memutuskan untuk kembali ke Death Bivouac hingga cuaca mulai membaik. Posisiku dan Brunnen jauh lebih dekat dari Bivouac dibandingkan Chevelier dan Patricio, namun karena keahliannya, mereka dengan cepat mecapai posisi kami, bahkan melewati kami. Aku bisa melihat Brunnen perlahan bergerak turun sama sepertiku. Keheningan tercipta karena situasi yang begitu mencekam. Angin bertiup menambah ketegangan.
Tak lama kemudian, teriakan Chevelier memecah kesunyian “Ayo cepatlah! Aku sudah menyiapkan tempat istirahat di Death Bivoauc”. Tidak mengherankan apabila Chevelier sudah lebih dulu mencapai Bivouac, begitupun dengan Patricio yang dalam waktu dekat juga akan mencapainya. Keheningan kembali dengan menyisakan suara memalu untuk menancapkan phyton.
Angin berhembus sangat kuat, membawa salju bersamanya dan membuat suhu udara semakin dingin. Badai salju menyapu kami. Aku melihat Brunnen berhenti sejenak karena tidak kuasa menahan dinginnya badai salju. Begitupun denganku. Namun berbeda dengan Patricio, dia terus menancapkan phyton dan mengikat kernmantle rope-nya dan terus bergerak turun seolah badai tidak mengganggunya. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Aku melihat Patricio melepaskan cengkeramannya dari kernmantle rope-nya. Tubuh Patricio terjatuh bebas dan berkali-kali menabrak dinding The North Face.
Aku mendengar jeritan kesakitan yang ia raungkan ketika pinggangnya membentur dinding. Tubuhnya berulang kali membentur dinding hingga akhirnya tubuhnya terkulai lemas dengan posisi tergantung berkat kernmantle rope yang masih terikat di phyton yang tertancap. Tanpa pikir panjang, Chevelier menghampiri Patricio untuk menolongnya. Chevelier mendekatinya lalu meraih kernmantle rope milik Patricio. Kulihat Chevelier melepas ikatan kernmantle rope Patricio lalu menyambungkannya dengan miliknya. Patricio memeluk erat Chevelier, sementara Chevelier dengan penuh perjuangan kembali menuju Bivouac. Aku lega melihat mereka berdua telah berlindung dengan selamat di Death Bivouac.
Aku terlalu sibuk menonton adegan menegangkan Chevelier dan Patricio tanpa menyadari bahaya yang menghampiriku.
“Athena, awas!!” Teriakan Brunnen membuatku sadar, walaupun sudah sangat terlambat.
Sebuah batu sebesar kepalan tangan menghantam bagian belakang kepalaku. Akupun kehilangan pegangan dan pijakan. Aku hanya bisa pasrah, dengan berharap setidaknya kernmantle rope-ku dapat menopang tubuhku agar tidak terjun bebas terlalu jauh. Sayangnya, batu yang lebih besar dari batu yang menghantam kepalaku menghancurkan dinding tempat dimana phyton-ku tertancap. Phyton-ku terlepas, dan aku jatuh bebas seperti benda yang jatuh dari ketinggian, punggungku membentur beberapa pilar dinding yang kulewati. Kesadaranku mulai memudar seiring dengan teriakan Brunnen, Chevelier, dan Patricio perlahan memudar.
Entah berapa lama waktu yang telah ku lewatkan hingga akhirnya mengembalikan kesadaranku, dan yang pertama kali kulihat adalah tubuhku yang dipeluk erat oleh Brunnen dalam posisi tali menahan tubuh kami agar tidak jatuh.
“Bodoh, apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan suara yang lirih.
“Sudah kubilang, aku akan menangkapmu jika kamu terjatuh,” jawab Brunnen terbata- bata karena suhu dingin yang luar biasa.
“Jangan mempertaruhkan dirimu untukku, tetaplah hidup. Brunnen lepaskan aku, kau harus bertahan. Jangan pedulikan aku, sudah tidak ada harapan untukku tetap hidup. Darahku sudah dangat banyak terbuang akibat pendarahan, hanya menunggu waktu hingga kau kehabisan darah,” pintaku.
“Athena, percuma jika aku tetap hidup tanpamu. Mari kita bertahan hidup bersama. Aku tidak ingin kehilanganmu,” ku lihat air mata mengalir perlahan dari mata Brunnen.
Aku menggelengkan kepalaku, “Tetaplah hidup, Brunnen, aku mencintaimu selamanya dan seterusnya,” kataku saat napasku terhenti. Maaf, aku meninggalkanmu kesepian lagi.
***
Mataku perlahan terbuka, aku melihat cahaya putih besar tepat di atasku. Cahayanya menyilaukan. “Mungkinkah aku sudah berada di Surga?”
Samar-samar aku mendengar suara “Sungguh ajaib, dia berhasil selamat. Seharusnya, dengan luka parah seperti itu, dia tidak lagi memiliki harapan untuk tetap hidup,” aku tidak mengerti apa maksud dari perkataaan mereka, yang bisa kupikirkan hanyalah tentang Brunnen. “Apakah dia masih hidup? Maaf aku tidak bisa berada di sisimu”.
***
“Athena!!” Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingin hidup tanpa Athena.
Aku tidak lagi merasakan napas Athena. Hangatnya tubuh Athena tidak lagi kurasakan. Aku berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan. Samar-samar aku bisa mendengar suara Chevelier, tapi aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Attendre!! Je vais chercher de l’aide immédiatement.”
Kesadaranku perlahan melemah karena tubuhku sudah tidak mampu lagi menahan suhu yang ekstrim. Namun, aku terus berjuang untuk mempertahankan kesadaranku. Aku harus tetap hidup bersama Athena. Sesekali aku putus harapan karena menyadari bahwa Athena sudah tiada. Apa artinya hidupku tanpa Athena. Aku bahkan membulatkan tekadku untuk mati bersama Athena. Tetapi, jauh dalam lubuk hatiku, yang aku sangat inginkan adalah keselamatan Athena. Andaikan aku bisa menukar hak hidupku, aku akan memberikannya untuk Athena. Hidupnya jauh lebih berharga daripada hidupku.
Ketika semangatku hampir padam, secercah harapan muncul. Seharusnya, matahari akan segera terbit. Namun, langit masih memerhatikanku dengan keindahannya yang bertaburan bintang. Aku terus memandangi langit, sembari menunggu pertolongan. Namun, ada hal menakjubkan yang aku lihat. Aku melihat ribuan bintang berjatuhan dan menghiasi langit Gunung Eiger. Ekor yang dibentuk dari lintasan bintang membuatku terpesona.
“Ribuan bintang jatuh? Athena, kau harus melihat bintang jatuh ini. Bukalah matamu, lihatlah bersamaku bintang-bintang ini,” pintaku yang tidak ada artinya sama sekali terhadap orang yang sudah pergi. Tapi aku tetap tidak ingin melepaskan Athena. Setidaknya kau harus menjaga tubuhnya.
Hatiku semakin kacau, aku tidak ingin hidup tanpa Athena.
“Apa yang harus kuperbuat untuk mengembalikan Athena?” ucapku dengan suara lirih sembari terus memandangi langit yang dihiasi dengan ribuan bintang jatuh. Aku mengingat semua kenanganku dengan Athena. termasuk malam ketika kami memandangi langit di atap rumahku.
“Bukankah keinginanmu akan menjadi kenyataan ketika kau melihat bintang jatuh?” terlambat ku sadari, bintang jatuh bisa membuat keinginan menjadi kenyataan.
“Bintang jatuh, aku mohon, selamatkan Athena. Tolong!! Bukankah kau mengabulkan satu permintaan? Tolong selamatkan dia!! Bawalah aku untuk menggantikan Athena. Tolong!!” Pintaku dengan air mata yang tak bisa tertahan lagi. Aku hanya bisa berharap dengan bintang jatuh. Aku pasrah, dengan yang akan terjadi. Tapi aku hanya ingin satu hal, jangan ambil Athena. Jangan biarkan aku sendiri tanpa Athena.
***
Aku menuruni dinding The North Face dengan cepat. Aku tidak ingin kehilangan mereka berdua. Aku meninggalkan Patricio di Death Bivouac, membiarkannya beristirahat untuk memulihkan tubuhnya.
“Patricio, aku akan mencari bantuan, tunggulah aku, aku pasti akan menyelamatkan kita semua,” ucapku ke Patricio.
“Chevelier, jangan pikirkan aku, aku masih bisa selamat. Pikirkanlah mereka berdua. Walau pertama kali bertemu, kita sudah sedekat itu dengan mereka,” pinta Patricio yang sepenuhnya ku setujui. Memang singkat, tapi kami seperti sudah saling mengenal dalam waktu yang cukup lama. Aku menuruni dinding dengan cepat. Ketika berada tidak jauh dari Brunnen, aku bisa melihat ekspresi kosongnya, air mata mengalir dari matanya kemudian berjatuhan melewati pelipisnya.
“Bertahanlah, aku akan segera mencari bantuan,” teriakku ke Brunnen. Kupercepat gerakanku menuju Gallery Window untuk meminta bantuan. Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga tim penyelamat tiba. Proses penyelamatan dimulai, sebagian tim penyelamat memanjat menuju Ramp kemudian sesampainya di Ramp, sebagian dari mereka lagi menghampiri Brunnen dan Athena dan sebagian lagi naik ke Death Bivouac untuk menyelamatkan Patricio. Tim penyelamat mengikat mereka berdua dan kemudian menyambungnya dengan kernmantle rope yang sangat panjang untuk menurunkan mereka secara perlahan. Tim yang menunggu di Ramp melakukan hal yang serupa. Begitu seterusnya hingga sampai di Gallery Window. Brunnen dan Athena berhasil diturunkan begitupun dengan Patricio. Mereka kemudian dinaikkan diatas tandu lalu dibawa menuju Stasiun Grinderwand.
“Chevelier, ku mohon damping mereka berdua, aku akan dirawat sementara di klinik darurat stasiun, sementara mereka langsung menuju rumah sakit terdekat,” pinta Patricio. Akupun ikut menemani mereka di dalam ambulans. Selama perjalanan, tidak henti-hentinya aku mendoakan keselamatan Brunnen. Aku menyadari bahwa Athena sudah pergi. Tubuh Athena mulai kaku dan suhu tubuhnya terus menurun, bahkan aku tidak lagi merasakan nafas ataupun detak jantung Athena.
Tiba-tiba Brunnen menyentuh tanganku dan berkata “Chevalier, a sosit timpul meu. Vă rog să aveți grijă de Athena pentru mine”. Aku tidak mengerti apa yang Brunnen katakan. Tapi tim penyelamat yang bersamaku menerjemahkan perkataan Brunnen ke dalam bahasa Prancis. “Apa maksudmu Brunnen? Athena sudah tiada, kau yang harus melanjutkan hidupmu. Teruslah hidup. Jangan menyerah!! Mari kita berteman lebih dekat, Aku, Kau dan Patricio, kita bisa menjalani hari yang luar biasa! Ayolah Brunnen, bertahanlah!” ucapku sembari menumpahkan air mata yang tak bisa terbendung lagi.
“Athena, rămâi în viață. Te iubesc,” kata terakhir yang terucap oleh Brunnen sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Aku memeluk tubuh Brunnen, menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya mulai terasa dingin, nafas dan denyut jantungnya sudah makin melemah. Kupeluk mereka berdua, aku akan kehilangan dua orang penting sekaligus.
“Brunnen, Athena!! Maafkan aku, aku terlambat menyelamatkan kalian!” ucapku lirih. Namun, ada kejadian luar biasa yang aku sadari. Selagi memeluk mereka, aku merasakan tubuh Athena terasa hangat. Nafas dan denyut jantungnya pun mulai terasa, walaupun sangat lemah. Disisi lain, nafas dan denyut jantung Brunnen semakin melemah. Ketika nafas dan denyut jantung Brunnen sudah tidak terasa lagi, hal yang berlawanan terjadi kepada Athena. Nafas dan denyut jantungnya mulai kembali normal. Aku menyaksikan sebuah keajaiban.
***
Perlahan bintang-bintang itu mulai menghilang dan matahari perlahan menampakkan wajahnya. Aku bisa melihat tim penyelamat tiba bersama Chevelier. Evakuasi korban mulai dilakukan. Mereka perlahan menurunkan kami berdua dengan kernmantle rope ekstra. Membaringkan kami di tandu. Walaupun kami baru berkenalan, tetapi aku melihat Chevelier menitihkan air mata. Aku merasakan ikatan yang begitu dalam dengannya. Chevelier menemani kami di dalam ambulans sembari terus mengucapkan kalimat berulang yang tidak bisa ku pahami. Pikirku mungkin itu adalah doa Chevelier untuk keselamatan kami.
Aku meraih tangannya, “Chevelier, waktuku sudah tiba. Tolong jaga Athena untukku,” pintaku pada Chevelier. Aku merasakan cahaya mulai meredup dan hangatnya sinar mentari tidak lagi aku rasakan diikuti dengan napasku yang kian melemah.
“Athena, tetaplah hidup. Aku mencintaimu”.
Penulis: Zulfikar