Jika Gendis tak perlu risau tentang Ayah yang ke selatan dan Ibu yang ke utara, maka sungguh beruntung si Gendis ini, bertikai dalam pikirannya dengan segala kemauan dan kekhawatirannya, kemudian sepinya ditulis oleh pujangga seperti Tuan, yang sederhana ceritanya, yang dalam maknanya, tegas menyentuh siapapun yang membaca.
Tuan Sapardi, sekiranya kisahku ini bisa anda tuliskan dalam kitab yang sama, tentulah anda bingung Tuan, kemana sebenarnya arah kedua Ayah Ibuku ini. Ke utara tak juga bergerak, apalagi ke selatan. Tetap ditempat tapi tak saling melihat. Tuan, mereka sedang tidak baik-baik saja.
Coba ceritakan dulu kenapa Tuan mengikat kata menjadi mantra semenyebalkan itu.Ingin mencintai dengan sederhana katanya. Bah! asal Tuan tahu, cinta kayu kepada api yang menjadikannya abu, itu Tuan! Itu yang membinasakan. Harusnya tak pernah Ayah bacakan itu pada Ibu. Saat melamarnya, terkidum pula Ibu mendengarnya.
Baca juga : Gugur
Dengar! Cinta yang Ayah bacakan itu cinta yang harusnya tak pernah sampai. Benar, Tuan? Sebabterlanjur menjadi abu sebelum cinta itu tersampai. Benar, Tuan? Tapi Ibu sudah salah kira, katanya itu puisi termanis, ia kira itu adalah pengharapan cinta yang dalam dari Ayah. Salah besar, Tuan! Itu adalah keputusasaan Ayah yang tak pernah bisa miliki Ibu seutuhnya. Tuan, mereka salah kira! Perbaiki Tuan! Perbaiki mereka seperti kau memperbaiki hati Gendis yang rumpang itu.
Hah!
Mari mendekat, Tuan. Kesamping sini, dekatkan telingamu ke bibirku ini yang ranum dan segar dipandang. Ya, ya, gincu Ibuku yang kupakai ini, tentu. Biar Tuan tahu, betapa menggodanya gincu ini dibibir Ibu. Barangkali itu alasan Ibu memberi namaku Ranum.
Jadi Tuan, kau ingin mendengar dari mana kisah ini? Kau pun bingung? Ya, ya, keluargaku memang tak seperti Gendis.Keluargaku ini terlihat baik-baik saja memang. Ibu masih masak setiap hari, Ayah masih mengaduk semen. Pulang berkerja, Tuan, mereka berdua berkumpul di ruang Tv, memutar lagu lawas, nyanyi bersama, menungguku pulang sekolah untuk makan beramai-ramai. Kemudian kita makan. Aku yang paling lahap, si bungsu ini selalu dapat otak ayam, otak ikan, otak apapun yang menjadi lauk kita siang itu.Biar pintar katanya, Tuan.Tak dibodohi.Suka Aku dengar itu. Asal kau tahu, otakku ini encer Tuan, selalu diperingkat paralel, tiga besar!
Berbanggalah orangtuaku itu.
Sampai di hari itu, Aku ingin menjadi bodoh saja rasanya. Yang tak bisa baca keadaan, tak mengerti situasi, persis seperti balita.Iya saja jika diomongi, manut jika diperintah, dan kemudian mudah saja percaya.Polos tanpa berpura-pura, Tuaaan.
Siang itu Ayahku pergi ke Bogor, ikut kawan-kawannya bekerja mengaduk semen, lagi.Waktunya sebulan. Ah, tak ada yang membuka isi kepala ayam, Ibu tak mau membuka kepala ayam, sebab butuh usaha untuk secuil otak yang hanya menjadi ugik di gigi.
Ah, kita tidak sejalan, Bu.
Habis hari-hariku di kamar. Cerita ke siapa ya hari ini, tentang si Sinta itu, yang menangis luntang-lantung karena diputusi Charlos.Bodoh dia memang.Makan itu cinta.
Ibu?
Ah, lagi-lagi Ibu tak sejalan denganku, Tuan. Tak suka ia dengar ceritaku.
Jadi kuhabisi waktu dikamar, memutar kipas kuat-kuat hingga derit baut tua berdesing.Ingar sekali kamarku itu. Hingga tak ku dengar suara apa diluar. Suara Eddi Vedder yang mendetum dari earphonemenambah padat rongga telingaku.
Baca juga : Ayam Bakar
Biasanya Ibu menggedor pintu kalau Aku tak keluar-keluar kamar. Tapi beberapa hari itu semenjak Ayah pergi, Ibu tak ada menggedor. Tak juga Aku tanya mengapa.
Malam hari Tuan, biasa Ayah mengacau ke kamar saat Aku belajar. Ia tak mau sepi malam-malam, kadang ia cerita sendirian di kamar tanpa kuperdulikan. Kisahnya luar biasa sebenarnya.Kadang berlika-liku tapi punya makna, dan kadang rumit dan terlalu singkat membuatku berpikir keras.
Malam-malam itu sepi, bosan Aku mengalirkan lagu lewat earphone. Coba dengar jangkrik atau suara kodok setelah hujan, Aku diam cukup lama.Tuan dengarlah, jangkrik, kodok, dan suara lain. Suara tawa Ibu.Kecil dan lembut.Tuan ketahuilah sejak saat itu hingga sekarang, Aku tetap benci suara itu dimalam hari. Pada siapa ia bercanda dan berkisah.Dan juga berkasih.
Bukan berlebihan, Tuan.Setelahnya curigaku ini, terjawab oleh kepalaku yang terlanjur dijejal otak ayam.Kuletakkan recorder disamping Ibu sebelum tidur, diam-diam, hanya mengusir kecurigaanku atasnya yang rajin membeli gincu, merekah warnanya, dan kuningan yang berganti menempel ditelinganya.Kenapa harus bergincu sebelum tidur?
Setelahnya Aku menyesali perlakuan itu. Kenapa tak usah ambil pusing saja, oh Ranum! Kenapa tak kau dengarkan saja lagi suara Eddi Vedderbercerita dalam playlist mu. Tak kau tutup saja telingamu itu agar kau tak usah mendengar apa yang harusnya tak pernah kau dengar. Oh Ranum, kenapa dengan isi kepala mu malam itu.
Oh Ranum, oh Ranum, oh Ranum!
Bolehkah Aku marah pada otak yang terlalu encer ini. Bolehkah Aku datangi Ibu malam esoknya, kupergoki ia, kubanting pintunya dan teriak sekuat tenagaku untuk berkata seperti ini:
“Ibu! Kenapa Ibu—“ dan suaraku tercekat, Tuan. Ibu senyum setelah kagetnya, dan mata yang pura-pura mengantuk itu. Aku marah tapi tak bisa.
“Belum tidur, Num?”Ibu bertanya, Setelah bersusah payah menutupi layar handphone nya.
Aku berbalik badan, buru-buru ku kembali ke kamar, memendamkan suara tangisku pada bantal.Hingga sembab. Hingga lupa sementara.
Ayah, harusnya bukan otak ayam yang Ayah beri. Harusnya cingur sapi, cingur kambing, cingur kelinci, cingur, Yah! Supaya lancar mulut ini bicara.Teriak.Bukan Cuma berhenti di kepala.
Itu terjadi setiap hari, Tuan. Harus apa Aku ini ?
Akhirnya Ayah pulangdi akhir September itu. Sepanjang hari Aku hanya bicara seadanya. Ayah bawa otak yang lebih besar. Otak sapi, supaya jenius anaknya ini.Ibu goreng dengan dibalut telur.Tuan, nafsuku sungguh hilang pada makanan. Harus apa Aku ini, Tuan?
Begitu, awalnya Ayah dan Ibu tampak masih sama, mendengar lagu lawas sambil menungguku pulang sekolah. Adakah Ayah tak tahu tentang ini?Bagaimana bisa? Aku anaknya saja tahu. Itu telah berlangsung setahun, Tuan. Bohong rasanya Ayah tak tahu. Tak tahu tentang panggilan telpon tiap malam, tentang gincu yang semakin banyak di koleksi, tentang kuningan yang berganti bentuk menghias telinganya.
Hingga satu jam sebelum ini, Aku membututi Ibu dari belakang mobil putih ber-plat merah yang membawanya pergi nyaris setiap minggu.
Ketahuilah Tuan, setelah berbulan-bulan sebelumnya, lagu lawas semakin jarang diputar, ruang Tv semakin sepi, Ayah yang lebih sering berpergi, dan Ibu yang sering menghilang dengan sejuta alasan saat kembali.
Baca juga : Semu
Ketahui lagi, Tuan. Tiga menit yang lalu Aku telah menangis diantara kedua orangtuaku ini. Ibu yang berdandan dengan gincu warna barunya dan turun dari mobil mewah yang entah milik siapa, dan ia gelabakan menjelaskan sesuatu pada Ayah tanpa perlu diminta. Yang dijelaskan tak benar-benar peduli. Ayah hanya memandang dan menarik sudut bibirnya sebentar.
Ketahuilah lagi Tuan, semenit yang lalu, Aku bertanya pada diriku. Tentang jenuhnya pernikahan, tentang lemahnya komitmen, dan tentang kedewasaan. Jika tiga hal itu berhubungan, tolong buatkan Aku satu mantra agar tidak menjadi dewasa. Agar tetap seperti ini saja, atau kembali menjadi kecil lagi. Beri Aku mantra, Tuan.
Dan ketahuilah Tuan, sedetik yang lalu, mobil itu berputar dan melaju meninggalkan halamanku, dan keduanya berpura-pura bahwa tak terjadi apa-apa dengan Ibu.
Mataku berderai tak tertahan. Tuan, Aku bukan Gendis yang memilih untuk berjalan sendiri membelakangi Bukit Timur. Aku tak mau sendiri karena orangtuaku tak pernah memilih ke selatan atau utara. Mereka ditempat yang sama, memilih berpura-pura dalam kejenuhan, mungkin, sebab nyatanya arti jenuh itu tak pernah benar-benar kupahami.
Aku bukan Gendis, Tuan. Aku Ranum, korban dari mantramu yang salah itu. Mantra mencintai dengan sederhana yang menjadikan semua ini luka bakar, perih tak tertahan. Membuat suara tercekat dan tak tau cara mengikat kata.
Aku marah, lagi mulutku tak mampu teriak walau hanya mengumpat. Beri Aku satu mantra untuk memperbaiki keadaan ini, Tuan.
Pontianak, Juli 2019
Penulis : Maratushsholihah