Postingan tubuh dengan lipatan lemak oleh Tara Basro jadi obrolan panas beberapa hari ini di dunia maya, baik yang memuji keberaniannya maupun yang menghujat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) yang menyebut foto Tara Basro melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Awal kali saya melihat postingan tersebut memang mengagetkan, ini Tara Basro yang benar-benar Tara Basro? Dan memang itu Tara Basro dengan lemak yang sama sekali tidak mengganggu kecantikannya sedikitpun. Saya merasa dimengerti, dan hampir semua orang di Indonesia pasti merasakan hal yang sama. Dugaan saya begitu. Hingga orang-orang ikut meramaikan tagar #bodypositivity dimana-mana.
Hampir setiap hari saya mengunjungi profil instagram Tara, sekadar untuk membaca caption yang Tara tuliskan di postingan tersebut. Kemudian merasa ada energi lagi untuk tidak menghujat tubuh sendiri dan kembali makan nasi teratur. Hingga detik ini saya menulis, ada 21.713 komentar di postingan tersebut, dan entah siapa yang telah beraksi membatasi pengunjung profil Tara hingga hanya boleh diatas 16 tahun.
Tara hadir seperti penolong buat kita yang terbiasa mendengar hujatan atau menjelek-jelekkan tubuh kita sendiri, untuk bergerak tanpa peduli dengan apa yang tidak kita miliki. Sekuat itu body positivity yang ditularkan Tara.
Baca juga:Covid-19: Indonesia Tidak Kebal
Lama-kelamaan, keseringan mengunjungi profil Tara dan membaca komentar-komentar dibawahnya, dari puluhan ribu orang yang bangga dan memberi semangat pada Tara, maupun yang merasa dibantu untuk melihat yang baik dan positif dari tubuhnya, membuat saya sedih. Haruskah kita menunggu seorang aktris beraksi agar kita bisa mencintai tubuh kita sendiri? Bukankah itu kewajiban kita sebagai manusia yang waras?
Saya tidak menyalahkan postingan Tara, justru semangat Tara sebagai tokoh publik ataupun influencer menularkan citra body positivity memanglah harus didukung, tapi bagaimana jika yang melakukan ini bukan seorang aktris atau orang biasa? Akankah kesadaran ini akan muncul pada diri kita sendiri? Apakah kita hanya sedang ikut-ikutan meramaikan apa yang Tara suarakan?
Ini yang menjadi pertanyaan besar untuk saya dan kita semua. Bukankah kita sudah terbiasa ikut-ikutan. Ikut-ikutan menghujat tubuh sendiri, ikut-ikutan ingin kurus, ikut-ikutan ingin pipi tirus, ikut-ikutan ingin putih, dan ikut-ikutan lainnya saat lingkungan sekitar kita membiasakan untuk mendengarkan apa kata orang dan terbiasa dikritiki ataupun mengkritiki tubuh ini.
Lalu saat tokoh publik hadir memperkenalkan versi body goals yang baru dan media sosial diramaikan dengan ini, seketika semua orang berubah pula caranya menilai tubuh. Bagaimana jika suatu hari Tara berubah pendiriannya, kembali ke semula untuk terbiasa mengkritiki tubuh. Apakah pendirian kita juga berubah?
Sekali lagi saya tidak menyalahkan Tara, saya hanya ingin kita sadar, tidak perlu menunggu Tara untuk mencintai tubuh sendiri, lalu ikut-ikutan meramaikan media sosial dengan body positivity karena ada Tara yang menjadi sorotan hari ini. Mari kita menyadarkan diri dengan cara yang tepat dengan lebih mengedukasi diri daripada sekadar ikut-ikutan, sebab jika besok tagar #bodypositivity hilang, tak akan ada yang bisa mengambil pendirian itu dari diri kita sendiri yang telah tertanam kuat di dalam hati.
Penulis: Maratushsholihah
*) Opini kolumnis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi mimbaruntan.com.