mimbaruntan.com, Untan – Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional (HTN) ke-57, Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat melakukan aksi yang satu di antara tuntutannya adalah mendesak pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) masyarakat hukum adat menjadi Peraturan Daerah (Perda) agar hak-hak masyarakat adat lebih terjamin. Aksi ini berpusat di Tugu Digulis, Kantor DPRD, dan Polda Kalbar (25/9).
Wahyu Setiawan selaku koordinator FPR Kalimantan Barat berharap agar pemerintah terlibat dalam penyelesaian konflik agraria di Kalbar. “Pemerintah tidak menyasar untuk menyelesaikan persoalan konflik. Selama ini dari konflik yang terjadi kami memandang pemerintah hanya melakukan inventarisir permasalahan, tapi belum menyelesaikan. Jadi kami berharap agar pemerintah segera menyelesaikan seluruh konflik agraria yang terjadi, di semua daerah,” ungkapnya.
Berdasarkan data dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), terjadi 234 kasus konflik agraria di Kalimantan Barat, dengan intensitas konflik paling tinggi terjadi di tahun 2014-2016. “Salah satu contoh di Olak-Olak Kubu, kasus PT. Sintang Raya yang sampai saat ini tidak diselesaikan oleh pemerintah. Persoalan antara perusahaan dan masyarakat. Dan beberapa konflik lain, baik itu di area konservasi, di HPH, di pertambangan, dan perkebunan sawit yang paling tinggi,” ujarnya.
Menurutnya, Perda masyarakat adat ini adalah salah satu bentuk yuridis tentang pengakuan perlindungan masyarakat yang dijamin secara konstitusi, baik itu secara internasional dalam konfrensi ILO, Undang-Undang 1945 pasal 18 b amandemen kedua tahun 2000 dan beberapa peraturan lain seperti Kepmendagri nomor 52 tahun 2014. “Itu semestinya dilaksanakan oleh pemerintah, karena ini salah satu bentuk pengakuan secara yuridis bagi masyarakat adat,” tambahnya.
Dia juga beranggapan walaupun negara ini dijamin oleh peraturan perundang-undangan, namun fakta di lapangan menunjukan banyaknya praktek perampasan tanah itu terjadi di wilayah masyarakat adat dikarenakan tidak adanya pengakuan secara yuridis. “Karena selama ini hak wilayah itu tidak dijamin secara hak komunalnya. Oleh sebab itu negara dengan kata lain menganggap itu adalah hak milik negara, padahal itu adalah tanah milik masyarakat adat,” pungkasnya.
Penulis: Aris Munandar
Editor: Adi Rahmad