mimbaruntan.com, Untan – Seiring dengan berkembangannya perdebatan tentang peran manusia dalam perubahan lingkungan, fenomena yang di kenal dengan feminisasi alam pun berkembang. Fenomena ini melibatkan serangkaian perubahan lingkungan alam yang mempengaruhi ekosistem, budaya, masyarakat secara keseluruhan. Hal itu yang membuat fenomena ini perlu mendapat perhatian lebih.
Istilah “feminisasi alam” pertama kali muncul pada akhir abad ke-20 untuk menggambarkan peningkatan proporsi Perempuan dalam populasi berbagai spesies di seluruh dunia. Fenomena ini memberikan konsep yang menggambarkan hubungan antara alam dan perempuan, yang sering di sebut sebagai “Ibu Bumi”. Dimana dalam pembahasannya bahwa alam sebagai entitas yang sama-sama lemah seperti perempuan, yang merupakan bagian dari budaya patriarki.
Walaupun dalam banyak pendapat mengatakan bahwa fenomena ini bertujuan bukan untuk merendahkan perempuan, justru untuk menghadirkan kesadaran bahwa alam dan perempuan harus di perlindung dan di sayangkan.
Baca Juga: Hari Peduli Autisme Sedunia: Dekap Anak Bersama Terapi Musik
Sejumlah pandangan skeptis atau tidak setuju muncul dari berbagai sudut pandang. Di kalangan ekofeminis sendiri hal ini menimbulkan kecurigaan mendasar bahwa hubungan luhur antara alam dan perempuan sebenarnya dapat mengungkap posisi alam sama lemahnya dengan perempuan. Ini bisa menjadi bentuk dari diskriminasi gender atau seksisme, karena melekatkan sifat atau peran tertentu kepada sekelompok orang berdasarkan jenis kelamin mereka.
Alam lemah atau serupa dengan perempuan adalah tidak tepat dan bisa di anggap merendahkan atau menyederhanakan kedua entitas tersebut. Alam merupakan suatu sistem yang kompleks dengan keterhubungan yang kuat dengan seluruh elemennya. Sementara perempuan adalah bagian dari manusia yang mempunyai kekuatan, kemampuan, dan nilai-nilai yang tidak bisa direduksi menjadi “kelemahan” atau “kesamaan kodrat” belaka.
Penting untuk menghindari pemahaman yang menyederhanakan atau merendahkan baik alam maupun perempuan. Keduanya memegang peran penting dalam kehidupan manusia dan ekosistem, dan mereka layak dihargai dan diperlakukan dengan penghormatan yang sesuai dengan kompleksitas dan keunikan mereka masing-masing.
Baca Juga: Kenapa Pontianak: Romantisasi Kota Khatulistiwa
Sudah seharusnya untuk melakukan pengkajian ulang terhadap konsep feminisasi alam agar tidak merendahkan perempuan atau memperkuat stereotip gender yang merugikan. Dengan menganalisis kritis terhadap penggunaan istilah,bagaimana istilah feminisasi alam digunakan dalam berbagai konteks. Kemudian konsultasi dengan pakar dan aktivis, melibatkan pakar ilmu lingkungan, feminis, dan aktivis hak perempuan dalam diskusi mengenai hal ini. Meningkatkan kesadaran tentang bagaimana konsep feminisasi alam dapat memengaruhi persepsi tentang perempuan dan lingkungan adalah langkah penting. Ini dapat dilakukan melalui pendidikan, diskusi publik, dan kampanye kesadaran.
Dengan melakukan pengkajian ulang yang cermat terhadap konsep feminisasi alam dan memperhatikan implikasi sosial dan budayanya, kita dapat memastikan bahwa penggunaan konsep tersebut tidak merendahkan atau menyederhanakan perempuan, tetapi justru mendorong penghormatan terhadap kompleksitas dan keberagaman manusia dan alam.
Penulis: Laila Wulandari