Kerudung atau tudung kepala merupakan kain yang menutup sebagian besar atau seluruh rambut yang ada di kepala seorang wanita. Kerudung mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di dalam kehidupan bermasyarakat, umat beragama Muslim mempercayai bahwa mengenakan kerudung adalah kewajiban. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa kerudung juga digunakan oleh umat beragama Katolik dengan versi dan sejarah yang berbeda.
mimbaruntan.com, Untan- Sumanto Al Qurtuby, seorang profesor Antropologi dari Universitas King Fadh, Arab Saudi, dalam sejarah mencatat setidaknya sejak tahun 2500 SM sudah ditemukan tradisi menutup kepala. Misalnya dalam kebudayaan Mesopotamia kuno atau Assyria (Suria), tentang adanya aturan hukum tata cara wanita berbusana. Dalam penggunan penutup kepala saat itu hanya sebatas untuk para wanita dari kaum bangsawan, sebagai pembeda dari wanita biasa. Sehingga diterapkan adanya aturan yang melarang wanita biasa seperti para budak wanita, pekerja rendahan, dan tak berkasta mengenakan penutup kepala. Jika melanggar, maka akan mendapatkan sanksi tertentu. Penggunaan tudung atau kerudung ini, terus berkembang dalam setiap periode kehidupan masyarakat sehingga memiliki bermacam-macam fungsi, arti serta model yang disajikan, hingga kerudung diterapkan dalam aturan keagamaan dengan berbagai alasan.
Seringkali kerudung hanya diidentikkan dengan umat beragama Islam. Padahal agama Katolik juga memiliki kerudung kepala bernama Mantilla yang jarang diketahui oleh masyarakat luas. Mantilla adalah kerudung atau tudung wanita Katolik yang dikenakan dalam perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi merupakan perayaan Misa Umat Katolik yang biasanya dirayakan setiap hari Minggu atau hari-hari tertentu, serta saat Upacara Liturgi lainnya. Dasar dari pemakaian Mantilla merujuk surat pertama Rasul Paulus kepada umat di Korintus, 11: 4-10 sebagai dasar ajaran tentang Mantilla. Dalam perikop tersebut dijelaskan bahwa dalam hal berdoa maupun upacara liturgi, hendaknya berpakaian sesuai dengan budaya yang pada masa itu, dimana perempuan hendaknya menggunakan tudung kepala sebagai tanda ketaatan kepada sang Kepala, yakni Kristus.
Pastor Pius Barces, salah satu Dosen Liturgi sekaligus Sekretaris Keuskupan Agung Pontianak memberikan tanggapan mengenai penggunaan Mantilla yang minim dikenakan oleh wanita umat Katolik. Ia menyatakan bahwa penggunaan Mantilla bertujuan menghormati sang Pencipta, dimana putri-putri zaman kuno menggunakan Mantilla untuk menutup kepalanya sebagai pakaian ibadah. Hal tersebut pula yang menyebabkan para Biarawati masih menggunakan penutup kepala sebagai tanda kehormatan.
“Dalam Kitab Suci khususnya di Surat Rasul Paulus, Paulus mengatakan bahwa rambut adalah mahkota tetapi dalam beribadat sebaiknya putri-putri menutup kepala untuk menghormati sang Pencipta. Zaman kuno, putri-putri menutup kepala saat pergi ke Gereja. Penutup kepala itu yang disebut Mantilla. Dahulu Mantilla dipergunakan dimana-mana sebagai pakaian ibadah. Itulah kenapa para Suster menutup kepala sebagai tanda hormat kepada sang Pencipta,” jelasnya.
Namun seiring berjalannya waktu Mantilla bukan lagi suatu keharusan yang di pakai oleh wanita Katolik dalam perayaan Ekaristi maupun upacara Liturgi yang berlandaskan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1262. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, terutama dijiwai oleh semangat pembaruan yang digaungkan oleh Konsili Vatikan II, dalam KHK yang dipegang oleh umat Katolik sekarang. Ketika KHK 1983 dipromulgasikan, kanon ini tidak dinyatakan kembali. Kanon 6,1 (KHK 1983) menyatakan bahwa jika suatu kanon tidak dimasukkan dalam KHK yang baru ini, artinya sudah tidak diberlakukan lagi dan tidak dicantumkan lagi aturan tentang Mantilla. Dengan demikian, kewajiban kanonik bagi para wanita untuk memakai tutup kepala tidak lagi diharuskan. Ia menambahkan bahwa penggunaan Mantilla tak memiliki hukum tertentu saat mengenakannya.
“Tidak ada hukumnya, inti dasar Kitab Sucinya adalah membungkus kepala, tidak ada aturan bentuknya gimana tetapi biasanya menggunakan kain lebar menutup bagian rambut,” ujarnya.
Ia beranggapan terkait wanita Katolik yang masih menggunakan Mantilla dalam perayaan Ekaristi merupakan bentuk pemantasan diri secara penampilan saat berjumpa dengan Ilahi. Gereja adalah rumah tempat ibadah, tempat dimana berjumpa dengan sang Ilahi. Sudah sepantasnya memantaskan diri, bukan hanya hati tapi seluruh diri kita.
“Mantilla seharusnya memang terlihat sopan tapi lebih kepada keseluruhan diri kita. Yang terpenting adalah hati karena hati tercermin melalui sikap. Di Singkawang, semua putri-putri pakai Mantilla saat datang beribadah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Mantilla merupakan pakaian ibadah, juga sama halnya di Jepang dan Korea Selatan,” cerita Pastor yang kerap disapa Romo Pius.
Mantilla tidak memiliki simbol tertentu, melainkan hanya sebagai bentuk pemantasan dan kesopanan yang dinyatakan dalam Rasul Paulus bahwa kepantasan tersebut dapat dibawa ke dalam hati karena menyangkut dalam relasi sekitar dengan umat lainnya yang ikut perayaan Ekaristi. Kepantasan tersebut dipaparkan secara vertikal dan horizontal. Vertikal yang berarti kepantasan dalam berhubungan dengan siapa yang kita hadapi (Tuhan) dan horizontal yang berarti kesopanan dalam berhubungan dengan sesama (Manusia).
Adanya penggunaan Mantilla bukan diturunkan oleh Bunda Maria. Bunda Maria hanya menggunakannya tergantung iklim di sekitar bagian timur tempat dia berasal. “Bukan, Bunda Maria membungkus kepala karena Bunda Maria adalah orang Timur Tengah, kalau dingin ekstrim, panas ekstrim,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa penggunaan Mantilla bukan sebagai kebutuhan fashion namun memang diperuntukan sebagai pakaian ibadah. “Mantilla diaplikasikan oleh para religius. Artinya bukan fashion. Murni pakaian ibadah, jadi hanya dipakai saat ibadah tetapi berbeda lagi dengan Suster karena bagi Suster itu lambang persembahan diri,” ucapnya.
Jika kerudung di dalam umat beragama Muslim merupakan kewajiban, di agama Katolik Mantila merupakan bentuk kepantasan. “Mantilla adalah bagian dari pakaian religus tetapi lebih dari itu adalah kata kepantasan. Artinya tanpa Mantilla pun, diharapkan selalu memantaskan diri dan membawa diri kepada suatu kesadaran bahwa saya ingin berjumpa dengan yang Ilahi. Mantilla menjadi titik berangkat untuk sampai kepada kepantasan dan membawa kepekaan kepada kita,” tutupnya.
Penulis: Femia, Ade, Stephanie