mimbaruntan.com,Untan– Nur Tuti, pedagang yang telah 21 tahun berjualan di tepian sungai Benua Laut mengeluhkan pembangunan waterfront. Sambil menggoreng bakwan, ia bercerita tentang pembangunan yang telah menyisakan kenangan pahit yakni penggusuran rumahnya. Ia juga harus beralih profesi dari pedagang ikan dan sayur menjadi pedagang gorengan. Saat ini ia mengontrak di Gang Kuantan Jalan Imam Bonjol dan tetap memilih berjualan di tepian sungai Benua Laut. Sebagai tulang punggung keluarga, ia berjualan sejak pagi sampai malam hari untuk menghidupi suaminya yang sedang sakit dan anak-anak yang masih sekolah. Uang ganti rumah penggusuran rumahnya pun tidak sebanding dengan mahalnya biaya hidup, ia turut menunggu janji penyediaan rumah susun yang sudah dua tahun lamanya ditunggu namun tak kunjung kenyataan.
“Ganti rugi 8 juta ngontrak setahun habis manelah untuk biaya anak sekolah, suami sakit. Tak mungkin gak kite nak ngontrak terus mane mampu. Gare-gare ni jalan buntu, kalau dulu jalan nda buntu penghasilan lumayanlah. Kite kan dulu tembus, orang nyaman nak lewat. Kalau dulu motor bise lewat kite jual sayur ikan biselah, kalau sekarang jual sayur ikan siape nak beli,” ceritanya.
Terkait penggusuran 15 meter dari badan sungai, isu tersebut sudah terdengar olehnya jauhjauh hari dan ia hanya berharap Pemerintah dapat menyediakan lokasi khusus untuk berjualan. “Yang penting buatkan lokasi khusus untuk jualan. Kan nyaman gak kite cari usaha,” harapnya.
Sementara itu, dari rumah tua yang jaraknya berdekatan dengan pagar waterfront, Kepala RW Benua Laut yang telah berusia senja bercerita mengenai keterlibatannya dalam beberapa kali pertemuan dengan pemerintah sebelum pemba ngunan waterfront dilaksanakan. Ia menyatakan bahwa pemerintah memang sudah melakukan sosialisasi sebelum melakukan pembangunan waterfront. Untuk rumah-rumah yang tergusur diberikan ganti rugi sebesar Rp 8.000.000,- dan disiapkan rumah susun sebagai tempat tinggal baru. Selain itu, terdapat perjanjian baru berupa pelebaran jalan 60 cm sebagai jalan untuk sepeda motor pada bagian jalan di luar pagar waterfront.
Menurutnya, sebagian besar rumah tepian sungai tidak memiliki sertifikat. Hal ini dikarenakan rumah tepian sungai merupakan rumah lama yang sudah ada secara turun-temurun sehingga hanya terdapat surat asal yang tidak memiliki legalitas yang sama dengan sertifikat saat ini. “Nda ade sertifikat. Rumah tue dulu dibagi-bagi. Surat asal ade. Orang dulu kan nda ade sertifikat, sekolah jak nda. Nda tau jual beli,” jelasnya.
Penulis : Laily Lutfiana Dhia Sekar Aprilia Maharani