Siang mulai menunjukkan singgasana, menggantikan sarayu pagi yang menjadi pertanda bahwa waktu sudah setengah hari berlalu. Panas kembali membakar Badau kala itu. Memberi efek gerah hingga membuat resah para insan di kota sederhana tersebut.
Tampak pemuda bertubuh kurus tinggi baru saja keluar dari rumah ibadah yang hanya satu-satunya terdapat di kota Badau. Ia tak terlihat mengenakan baju bernuansa agama ataupun semacamnya. Hanya seragam cokelat tua saja yang masih melekat pada tubuh selepas pulang dari rutinitas.
Panca berjalan menyusuri jalan raya yang sepi. Tetesan keringat terus bercucuran di sekujur tubuh akibat panas bagaskara yang tak kunjung redam. Tiap langkah terasa begitu berat bagi Panca karena pemuda itu terus saja teringat pada Ibunya. Bukan karena rasa rindu. Akan tetapi, ia memikirkan bagaimana cara agar Ibu bisa bahagia lagi. Maklum, Bu Juanti sudah lama menderita gangguan jiwa karena stres berat setelah ditinggalkan oleh sang suami. Kini Bu Juanti hanya hidup bersama anak semata wayangnya, Panca. Hal inilah yang membuat Panca sedari tadi terus memikirkan untuk membuat Ibu bahagia seperti dulu.
“Dasar anak tak tahu diajar!! Apa yang Ibu bilang!! Jangan pernah keluar dari rumah ini!! Di luar sangat berbahaya!! Apa kamu tidak mendengarkan Ibu!!” teriak wanita tua yang adalah Ibu Panca. Wanita itu selalu melarang anaknya untuk keluar rumah. Bahkan, untuk berinteraksi dengan orang sekitar.
“Bu, sudah ya. Anca tidak akan keluar lagi. Sudah ya, Ibu tenang.” Panca mencoba menenangkan Ibu kala itu. Ia tahu, Ibu stres berat akibat ditinggalkan oleh mendiang Ayah secara mendadak. Oleh sebab itu, Ibu melarang keras Panca untuk pergi.
Panca sudah terbiasa dengan keadaan begini. Walaupun, tak luput juga dirinya dicibir oleh teman-teman sekolah karena kondisi Ibu yang mengalami gangguan jiwa. Ia tak mau melawan mereka. Namun, pemuda itu pun tak malu dengan keadaan sekarang ini. Justru, Panca kasihan melihat kondisi Ibu. Ia sangat sayang dan cinta pada Ibu. Oleh karena itu, ia ingin membuat wanita yang merupakan keluarga satu-satunya itu merasakan cinta. Ia ingin menunjukkan cintanya kepada Ibu. Entah dengan cara apa saja.
“Apa yang bisa aku lakukan supaya Ibu bisa bahagia? Selama ini sebagai anak, aku sudah menuruti perkataan Ibu. Tapi, apa yang mau dimakan kalau aku terus-terusan di rumah. Uang tabungan saja sudah mulai menipis.” Batin pemuda itu yang kini sudah singgah di depan pendopo, tak jauh dari sekolahnya. Anak itu terus memikirkan cara bagaimana membuat harsa menyelimuti Ibu lagi. Wajar saja, selama ini Panca tak pernah menangkap Ibu tersenyum ataupun tertawa lepas.
Setelah lama berpikir. Kemudian, remaja 16 tahun itu berniat untuk beranjak dari pendopo. Namun, secara tak sengaja matanya tertuju pada poster yang melekat di dinding pendopo. Semula, tulisan di poster itu tak mampu dibaca oleh Panca. Ia penasaran. Lalu menarik poster itu dan membaca huruf demi huruf di poster tersebut.
Panca rasanya ingin berteriak kencang. Mengungkapkan kepada dunia betapa senang dirinya. Mungkin ini adalah jalan dari Tuhan untuk Panca. Ia akan memberikan yang terbaik demi kebahagiaan Ibu dengan segala kemampuan yang Panca miliki.
***
Hari kembali pagi, nabastala menampakkan luasnya hamparan biru tanpa ada tanda-tanda akan hujan. Sementara itu, siswa-siswi SMA KARYA sudah berbaris rapi di lapangan. Menunggu upacara bendera yang akan segera dimulai. Tak terkecuali dengan Panca, sedari tadi pemuda itu merapikan seragam putih abu yang ia pakai. Meskipun, upacara bendera kali ini tidak ada yang spesial. Tetapi, Panca ingin terlihat sempurna. Bukan untuk menarik lawan jenis. Melainkan, Panca hanya mau totalitas dalam menghargai jasa para pahlawan bangsa melalui upacara bendera. Sekaligus bukti cintanya terhadap negara Indonesia.
“Jadi bagaimana, Pan?” tanya Bu Enni pada Panca seusai upacara bendera.
“Untuk lomba cipta lagu. Saya pasti ikut, Bu.” Panca menjawab dengan antusias.
“Baguslah kalau begitu. Ibu bangga dengan murid yang mau ikutan lomba. Terus berusaha ya.”
Panca menghela napas, ia berharap Ibu akan senang ketika nanti dirinya memenangkan perlombaan tersebut. Pemuda itu ingin menunjukkan pada Ibu bahwa ia bisa membanggakan Ibu. Panca ingin membuat Ibu tersenyum serta bahagia seperti dulu. Sekaligus, uang dari hadiah perlombaan tersebut bisa membiayai kehidupan mereka berdua.
Panca akhirnya sadar total dengan sekelilingnya, ia melangkah ke kelas, mengikuti pembelajaran normal yang diberikan guru sehingga tak terasa jam sekolah sudah berakhir, dan para murid harus pulang.
“Bu … Bu … Ibu,” panggil Panca saat memasuki rumah sederhana miliknya.
Tidak ada sahutan dari Ibu. Tangan kurusnya pun langsung membuka bingkisan yang ia beli sewaktu pulang sekolah dan menyantapnya. Terlihat Panca sangat lapar dan lelah karena tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah.
“Kamu tidak keluar rumah, kan?” Seorang wanita paruh baya menyibakkan tirai dan masuk ke bilik tamu. Warna putih di kepala hampir mendominasi hitam di rambut wanita itu, bak candramawa.
“Tidak, Bu. Bingkisan ini tadi dikasi oleh Siti,” jawab Panca dengan nada yang meyakinkan padahal dirinya berdusta.
Ibu mengangguk, tanda percaya. Kemudian, berbalik dan melangkah ke kamar. Sementara Panca merasa lega melihat Ibu tak mengamuk lagi. Ia bangkit dari sofa, dan menuju ke kamar. Panca tak berniat untuk beristirahat. Ia hanya mengambil poster yang dirinya bawa kemarin beserta alat musik gitar. Lalu mulai menulis lirik demi lirik untuk diikutkan pada lomba.
Saatku sendiri, kulihat foto dan video. Bersamamu yang telah lama kusimpan
Hancur hati ini melihat semua gambar diri. Yang tak bisa, kuulang kembali
Kuingin saat ini, engkau ada di sini. Tertawa bersamaku seperti dulu lagi
Walau hanya sebentar Tuhan tolong kabulkanlah. Bukannya diri ini tak terima kenyataan
Hati ini hanya rindu. Kurindui senyummu Ibu
Akhirnya Panca selesai menulis lagu. Dirinya yakin dapat memenangkan perlombaan tersebut. Ia telah membuat lagu dari perasaan terdalam. Perasaan dan hasrat untuk bisa merasakan harsa bersama Ibu lagi. Jelas sekali, inspirasi dalam membuat lagu tersebut, tidak lain adalah keinginannya untuk membuat Ibu bahagia. Sehingga, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Panca akhirnya berniat untuk tidur. Tapi sebelum tidur, ia mengecek keadaan Ibu di kamar yang sudah tertidur pulas.
***
“Panggilan kepada Anarwa Panca, harap ke kantor guru sekarang.” Suara mikrofon menggema di seluruh sekolah, siang itu. Sehingga terdengar oleh telingaku. Aku bergegas menuruti sesuai apa yang diperintahkan.
“Akhirnya, sudah 2 minggu aku menunggu pengumuman lomba dan hari ini akan diumumkan.” Batinku saat beranjak dari kelas. Kemudian, melangkah dengan percaya diri. Sambil merapalkan doa-doa, berharap yang aku inginkan dapat tercapai. Aku memasuki ruang kantor, terlihat suasana begitu ramai, banyak orang-orang yang tak dikenal oleh warga sekolah termasuk aku. Kuputuskan untuk pergi ke ruangan Bu Enni.
“Ibu memanggil saya? Apa sudah diumumkan hasilnya?” Aku memasuki ruangan Bu Enni. Namun, kali ini ia terlihat sangat berbeda, tampak dari raut wajahnya yang begitu sayu. Bu Enni diam, tak menjawab pertanyaanku. Aku kemudian duduk di atas kursi di ruangan itu.
“Apa kamu sudah tahu kenapa Ibu memanggilmu ke sini?” Akhirnya Bu Enni berbicara. Aku menggelengkan kepala tanda tak tahu. Bu Enni masih menatap lurus diriku, ia kemudian mengeluarkan amplop putih dari dalam laci dan memberikannya kepadaku.
“Kamu dengarkan Ibu ya, Ibumu tak pernah ada, Panca.” Bu Enni terlihat tersedu-sedu, aku binggung maksud Bu Enni dan langsung membuka amplop itu dan membacanya.
“Apa!! Ini tidak mungkin, Bu!! Ibu saya masih ada!! Saya tidak memakai narboka!! Saya tid-”
“Panca, sadar!! Selama 2 minggu ini Ibu mengawasimu Ibu tahu semuanya!! Bingkisan yang sering kamu bawa adalah narkoba!!” Bu Enni menangis lebih keras, “Ibumu sudah lama meninggal, Nak!! Apa kamu sadar selama ini ada yang janggal? Kamu tahu, kan. Ibumu melarang kamu untuk pergi keluar, tapi mengapa kamu bisa sekolah!! Dan juga, lagu yang kamu buat itu adalah ungkapan rindu kepada Ibumu yang sudah meninggal!! Selama ini, cibiran teman-temanmu, bukan tentang Ibumu, tapi tentang kamu!! Selama ini Ibumu adalah imajinasi kau sendiri, Ibumu sudah lama meninggal.”
Deg. Jantungku memompa lebih cepat, tak terasa air mata mengalir membasahi kedua pipi. Napasku terasa sesak, tak kuasa untuk menerima semua ini, begitu sulit dipercaya. Aku tak ingat apa-apa. Tapi, yang dikatakan Bu Enni benar. Ya, selama ini Ibu tak pernah ada. Ya, Ibu yang berbicara denganku adalah imajinasiku akibat mengkonsumsi narkoba?
“Sekarang, di kantor ada polisi,” Bu Enni sudah berhenti menangis. Namun matanya masih sembab. “Ibu tahu selama ini kamu menderita menderita skizofernia, jadi kamu tidak sadar mengkonsumsi narkoba. Lagi pula, kamu mendapatkan narkoba dari temanmu, mungkin kamu tidak akan ditahan dan hanya direhabilitasi.”
“Jadi selama ini cinta yang saya ingin berikan pada Ibu tidak pernah dirasakannya?” Aku menangis tersedu-sedu dengan keras. “Ya, Semu adalah kata yang cocok untuk dipakai pada cinta yang tak pernah sampai. Ibu, maafkan aku jadi begini. Cintaku semu. Mungkin semua ini bukan kemauan Ibu. Aku hanya tersenyum getir melihat kenyataan ini.
Penulis : Agustiyanus Tiya
DATA DIRI
NAMA : AGUSTIYANUS TIYA
NO HP : 085751773014
AKUN MEDIA SOSIAL : @agustiyanus_tiya (Instagram)
Agustinus Tiya (Facebook)
STATUS : MAHASISWA UNTAN