mimbaruntan.com,Untan– Sejak selesai dibangun pada tahun 2017, pemandangan bagi masyarakat tepian sungai Kelurahan Benua Melayu Laut, Jalan Tanjungpura saat membuka pintu rumahnya adalah bangunan jalan dengan lebar 10 meter berhiaskan pagar berbalut warna hijau kuning pada bagian sisi kanan dan kirinya. Masyarakat tampak tak lagi berhadapan langsung dengan sungai seperti sebelum adanya pembangunan.
“Selamat Datang di Waterfront Kota Pontianak” begitulah sebuah kalimat pembuka yang tertera di gerbang tepian sungai Kelurahan Benua Melayu Laut, Jalan Tanjungpura, Pontianak Selatan. Gerbang ikon wisata baru Kota Pontianak kini mulai dipadati oleh parkiran motor dan mobil pengunjung dari berbagai penjuru. Memasuki area waterfront city, pengunjung akan disuguhi oleh pemandangan tepian Sungai Kapuas, hilir mudik transportasi air, perumahan masyarakat setempat, dan aneka jajanan yang ramai dijajakan di tepian pagar waterfront city. Wrenn (1983) mendefinisikan waterfront development sebagai “interface between land and water”. Sementara waterfront dalam Bahasa Indonesia secara harfiah adalah daerah tepian, bagian kota Belanda yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003).
Konsep waterfront bermula dari pemikiran James Rouse yang dikenal sebagai “Urban Visioner” Amerika pada tahun 1970-an. Pemikiran segar yang dibawa olehnya pada akhirnya mampu memulihkan Kota Baltimore dari resesi ekonomi yang dihadapinya melalui konsep pembangunan kota pantai/pesisir. Di Indonesia, penerapan konsep waterfront telah ada sejak masa kolonial Belanda yakni tahun 1620. Konsep pembangunan ini telah diterapkan para penjajah Belanda yang menduduki Batavia untuk membangun kota tiruan lewat penataan Sungai Ciliwung sebagai tempat bertemunya lalu lintas perdagangan.
Kota Pontianak yang dilalui oleh Sungai Kapuas, sejak dulu telah akrab dengan budaya pemukiman tepian sungainya. Sungai dijadikan sebagai beranda depan rumah, sehingga sebagian besar rumah tepian Sungai Kapuas menghadap ke sungai. Hal inilah yang menunjukkan cikal bakal waterfront telah dikenal lama dalam entitas kehidupan masyarakat Kota Pontianak.
Pembangunan waterfront city Kelurahan Benua Melayu Laut, Jalan Tanjungpura menurut Deri selaku Kepala Pembangunan Sektoral Bappeda Kota Pontianak merupakan sebuah bentuk penataan lingkungan hidup, pariwisata, dan peningkatan ekonomi daerah. Penataan tersebut bertujuan untuk memperindah lingkungan, menjaga kualitas air, dan pada akhirnya menjadikan kawasan tepian sungai sebagai tempat rekreasi warga kota. Sehingga, hal ini akan berimplikasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Pontianak.
Deri melanjutkan, dalam rangka wujud mengembalikan fungsi sungai sebagai ruang yang dapat dinikmati publik, upaya yang dibangun saat ini adalah semua tepian sungai bisa diakses oleh masyarakat. Selain itu, pembebasan bangunan 10 – 15 meter bertujuan melindungi sungai dari abrasi, menjaga keselamatan bangunan, perawatan tebing rumah, dan menghindari sungai dari kekumuhan. Ke depannya, perumahan tepian sungai akan dilakukan penataan sesuai aturan 15 meter.
“Semua tepi sungai, kalau nda ditata ya dimundurkan 15 meter. Masyarakat harus tau jangan bangun rumah di atas sungai. Dikasi jarak atau jangan bangun rumah yang bukan hak kita, tanah negara kan tanah umum,” ungkap Deri selaku Kepala Pembangunan Sektoral Bappeda Kota Pontianak.
Saat ini, pembangunan jalan waterfront sudah menghabiskan lebar 10 meter, artinya masih ada 5 meter lagi bangunan yang harus dibebaskan apabila merujuk pada aturan 15 meter dari badan sungai. “Kita tetap pada posisi dari badan sungai. Kalau misal di bagian ini ada rumah, berarti harus di potong. Ini tinggal 5 meter lagi, bakal ada jalan lagi untuk motor. Masyarakat sudah di sosialisasi ada papan dilarang bangun 15 meter itu dari 5 sampai 6 tahun yang lalu, saat pengerjaan juga ada sosialisasi ke masyarakat,” jelasnya.
Pembebasan bangunan turut melihat legalitas bangunan. Kepemilikan sertifikat menjadi ukuran penting dibalik pembongkaran bangunan tepian sungai yang melanggar aturan ketentuan jarak sempadan sungai. Rumah-rumah yang tergusur nantinya akan diberikan uang ganti rugi setiap kepala keluarga sebesar Rp 3.000.000,- dan alternatif lain seperti pindah ke rumah susun. Pembangunan rumah susun bertujuan untuk menampung masyarakat miskin dan lebih diprioritaskan bagi masyarakat yang tergusur. Kapasitas untuk satu kamar rumah susun yakni untuk sebuah keluarga yang memiliki anak maksimal 2 orang dengan biaya Rp 150.000/bulan.
“Sekarang pembangunan tidak bisa merata sesuai dengan keinginan semua orang, kita kan membangun itu pro kepada masyakat umum, yang paling banyak, kalau misalnya kebutuhan 1000 orang keganggu oleh kebutuhan 10 orang misalnya apalagi yg illegal, kita pro kemana?” jelasnya.
Namun, penggusuran permukiman masyarakat tepian sungai tidak disetujui oleh Gusti Zulkifli Mulki selaku Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Tanjungpura. Ia menegaskan bahwa keberpihakannya tentang ini cenderung membela penduduk karena penduduk telah ada jauh sebelum peraturan tersebut dibuat. “Tidak boleh digusur, termasuk di beting. Itu sudah lama, sudah ratusan tahun, apalagi kalau punya sertifikat, mereka tidak salah,” tegasnya.
Menurutnya, pemindahan masyarakat yang bermukim di tepian sungai ke rusunawa dinilainya keliru, sebab budaya orang Pontianak tidak bisa tinggal di rusunawa selama ketersediaan tanah masih ada. Seharusnya penggusuran diubah menjadi penataan dengan konsep arsitektur lama yang terus dipertahankan. Ia menuturkan bahwa pada dasarnya permasalahan krusial bagi permukiman di tepian Sungai Kapuas adalah kepemilikan tanah. “Karena mereka sudah lama tinggal disitu, ya saya pikir penduduk tidak bisa disalahkan, karena sudah jadi hak milik”.
Peraturan tentang batas bangunan dengan sungai dibuat oleh pemerintah pusat cenderung menggeneralisasi ketentuan yang berlaku pada setiap daerah. Sementara itu, kondisi di Kalimantan terikat dengan sejarah bahwa sejak dulu orang-orang bermukim di tepian sungai dan sudah menghadap sungai. “Harus ada suatu kebijakan, di Pontianak, Kalimantan barat itu tidak bisa di terapkan, apalagi itu peraturan baru,” jelasnya.
Sore itu saat hujan deras Anggun selaku aristektur yang juga merupakan pencetus komunitas Cari Wawasan (CAWAN) dengan tegas menentang jika penggusuran pemukiman tepian sungai itu terjadi. “Saya sendiri sangat menentang kalau itu memang dilakukan, saya akan mengadakan suatu forum kalau memang mereka mau digusur” ujarnya.
Menurutnya sungai adalah hak seluruh masyarakat kota Pontianak dan sudah seharusnya pemerintah bersikap melindungi warga yang bermukim di tepiannya. Memindahkan bangunan tidak hanya sekedar memindahkan manusia beserta wujud fisik yang terlihat, tetapi juga memindahkan kehidupannya, termaksuk mata pencahariannya.
“Tidak masuk logika, dengan segampang itu mereka memindahkan orang ke habitat yang baru, tempat tinggal bukan sekedar bangunan. Kita tidak tau mata pencaharian orang disana seperti apa,” jelasnya Nilai estetika Sungai Kapuas terletak pada keindahan permukiman tepian sungai. Hal itulah menjadi daya tarik yang menjual. Menurutnya, dampak waterfront yang paling dekat dirasakan warga yang bermukim di sekitaran waterfront, bukan wisatawan. Masyarakatlah yang selama 24 jam kehidupannya berhadapan dengan waterfront, sementara wisatawan hanya datang sesekali saja. “Balik lagi pemerintah mau membangun itu untuk apa dulu, penggunaannya untuk orang yang datang berwisata atau untuk masyarakat yang udah turun-temurun disitu,” jelasnya.
Sebelum mengakhiri percakapan sore itu, ia menegaskan bahwa penggusuran dilakukan saat terdesak, ketika sudah tidak ada solusi lagi. Kalau memang harus ada penggusuran, Pemerintah seharusnya memikirkan keberlanjutannya secara menyeluruh. Tidak hanya sekedar memikirkan pemindahan lokasi, tetapi juga menciptakan suasana baru yang semestinya menjadi lebih baik dibandingkan kehidupan sebelumnya.
“Penggusuran bukan hal yang haram, tapi kalau bisa dihindari. Jangan sampai ada penggusuran” ujarnya.
Penulis : Laily Lutfiana Dhia dan Sekar Aprilia Maharani