Hujan sedang turun, dengan rindu yang berapi-api, memeluk tulang-belulangku yang sejuk.
Menit ke empat puluh aku terenyuh di balik kemudi, juga ratusan jiwa dalam kepingan besi yang memenuhi jalanan kota.
Satu butir hujan menyelinap kaca mobilku yang tak rapat, hinggap pada punggung tanganku yang lengah.
“Aku tak tahu bahwa biji mata bisa mendung dan menghujani pipimu” ucap sang butir hujan.
“Aku pun tak tahu butir hujan bisa berkelana sendirian, kupikir hujan yakni makhluk abiotik sosial, layaknya manusia” ejekku.
Baca Juga: Dosen Bisa Salah dan Mahasiswa Bukan Siapa-Siapa
Sang butir hujan tampak keruh, ntah itu pikirannya atau emosinya, sebab ia hanya tampak lonjong tak berupa, tak berjiwa.
“Aku pun bisa jenuh bercengkrama dengan butir hujan lainnya. Kita tak banyak berbeda, manusia.”
“Apa yang membuat kalian jenuh di atas sana, hujan?”
Sang butir mendengus panjang.
“Hhhhhfff.. Banyak hal. Beberapa rekanku begitu jenuh merindu akan bumi, hingga cinta membawanya luruh mencium tanah.”
“Dan kau? Kau pun jatuh cinta? ” tanyaku.
“Ahhh. Tidak. Aku butir hujan yang penuh logika. Aku jenuh akan penantian fana. Mungkin sama halnya dengan mereka, aku pun jatuh. Namun tak lebih dari sekedar keinginan untuk kembali ke tanah, sebab kata seseorang di atas sana ‘semua makhluk berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah’, dan aku sedang kembali”.
“Maaf bila kau tersesat kemari. Perlu bantuan menggapai tanah?” tawarku.
“Mari kita nikmati saja dulu hidup yang singkat ini” ujar sang butir.
Baca Juga: Penyelamat Pesisir Ketapang: Kalau Bukan Sekarang, Kasihan Anak Cucu Kami Nanti
Beberapa saat, kami menikmati kesunyian yang terbentang. Menit ke enam puluh lima, sang butir mulai meresap ke dalam pori-pori kulitku, perlahan.
Sang butir kemudian berkata, “Baumu seperti tanah”
“Benarkah? Ah. Mungkin saja. Seseorang dalam hatiku pun pernah berkata bahwa aku tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah”
“Jika begitu, barangkali kau tak perlu repot-repot membantuku menggapai tanah. Kita bisa raih bersama?”
“Oh ya? Boleh saja.” ujarku.
Menit ke delapan puluh, sang butir sudah sepenuhnya merasuki kulit dan jiwaku.
Menit ke sembilan puluh, aku terhempas keluar mobil, mencium tanah.
Aku menghantar sang butir kembali, juga diriku.
Penulis: Friskila