(Sebuah Ulasan dari Kumpulan Cerpen “ Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” karya Hamsad Rangkuti)
Imajinasi liar dan kebohongan milik Hamsad Rangkuti telah menenggelamkan saya pada ciumannya yang keenam belas. Ciuman yang dalam dan mengahantarkan saya pada ingatan akan kematian dan dosa-dosa yang melimpah. Hamsad selalu berhasil merangsang saya pada imajinasinya, “pelamun parah” ini selalu membiarkan kebohongannya menyebar luas, membuat titik-titik peristiwa menyatu dan melebar semau hati, hingga matang dan siap diberikan pada pembaca.
Ciuman adalah salah satu bentuk sayang dari yang terkasih, sebelumnya kita sepakati dulu pernyataan ini. Beginilah cara Hamsad Rangkuti memberikan ciumannya kepada para pembaca.
Perlahan, Hamsad memang tak langsung mencium saya, iya sisir pelan-pelan anak-anak rambut yang menutupi wajah saya kesamping, agar lebih jelas apa yang ingin dia cium. Saya pun begitu, mendekat padanya agar semakin jelas pula apa yang dia inginkan, begitulah Hamsad memberikan penjelasannya lewat prakata, sedikit cerita tentang “Proses Lahirnya Sebuah Cerpen” membuat pembaca tau apa maksud dari setiap ciuman di keenam belas tulisannya ini.
Hamsad bilang, sukar menjadi seorang pengarang, entah karena keproduktifannya yang rendah selama menulis cerpen-cerpennya, atau memang pikirannya saja yang begitu rumit. Padahal semua kisah dibuku ini dimulai dari titik yang sederhana.
Hamsad mulai mengambil ciuman pertama saya dengan “Lagu di Atas Bus”. Saya merasakan Hamsad masih ragu-ragu untuk mencium, sebab cerita ini sungguh bertele-tele, tidak langsung kepada intinya, namun semakin dalam saya membaca semakin saya tahu, bahwa Hamsad sedang tidak ragu melainkan memperkenalkan gayanya menulis. Ini menegaskan bahwa penggambaran suasana dengan pemilihan kata yang paling tepat membuat pembaca semakin terkesan walau kisah dan tokoh yang diangkat sebenarnya sangat sederhana. Saya kembali menemukan model tulisan dengan detail deskripsi naratif ini di cerpen-cerpen berikutnya yang membuat saya semakin mengenalnya.
Sejajar dengan “Robohnya Surau Kami” karya AA. Navis atau “Pelajaran mengarang” milik Seno Gumira Ajidarma, buku yang berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” ini merupakan cerpen yang tetap melekat dalam ingatan pembaca sebab tetap mempesona ketika mereka kembali membacanya, begitulah hasil dari sebuah riset kecil yang dilakukan oleh Agus Noor.
Barangkali, saya terlalu muda untuk Hamsad sehingga perlu adanya saya dikenalkan pada cerpen-cerpennya yang berjudul “Petani itu Sahabat Saya”, “Teka-teki Orang Desa”, “Wedang Jahe”, “Nyak Bedah” serta “Kunang-kunang”. Hamsad membisikkan pada saya bahwa ada dua dunia yang berbeda antara kehidupan perkotaan yang terselimuti gemerlap modernisasi dan kehidupan pedesaan yang sangat tradisional.
Diciuman ke sembilan “Teka-teki Orang Desa”, Hamsad menggertak saya lewat tulisannya yang halus dan jenaka tentang artinya persahabatan dan keharusan untuk pulang ke kampung setelah sukses di kota.
Saya benar-benar merasakan kebohongan milik Hamsad pada ciuman yang kesepuluh, “Wedang Jahe”. Situasi penjajahan disebuah desa yang ia buat sendiri dengan imajinasi gilanya, siapa yang bakal percaya dengan keadaan ini, hanya imajinasi yang membuncah belaka. Tapi sungguh “Wedang Jahe” ini mempesona bagi saya, pasalnya saya dibuat tertawa dipenghujung cerita, setelah merasakan keadaan masa penjajahan yang mencekam.
Barangkali Hamsad juga turut sedih dengan kisah hutan di tanah kelahiran saya ini, Kalimantan. Dia menuangkan keresahannya dalam “Palasik” harimau yang menerkam para pembakar hutan di India. Saya diam sejenak setelah membaca, andai saja ada sosok Palasik di tanah Kalimantan ini, yang berubah sosoknya menjadi harimau si penyelamat hutan, alih-alih begitu, saya justru terbayang pada Babi Ngepet, apa gunanya kisah babi ngepet yang dikisahkan saat kecil dulu, jika kisah tersebut mengajarkan untuk mencuri, bukan menyelamatkan hutan.
Dalam “Sebuah Sajak” menjadi sebuah referensi bagi saya bahwa cerpen juga kuat hadirnya untuk mengkritiki ketidaksukaan kita terhadap apapun yang meresahkan.
Kemudian sampailah saya pada ciuman utama dan yang paling dalam “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” bukan judul yang agaknya terkesan vulgar membuat ciuman ini dalam, melainkan ide yang begitu matang. Hamsad membuat ini dari sebuah kejadian diatas kapal feri saat dia melihat seorang gadis disana, kemudian keluar lah semua ide liar dan kebohongannya yang membuat gadis itu melepaskan pakaiannya sehelai demi helai dan semakin merekah imajinasinya.
Pematangan ide ini juga terjadi di cerpen yang berjudul “Dia Mulai Memanjat!”, “1000? 500! 1000!” dan “Hukuman Untuk Tom” yang dimulai dari satu titik peristiwa ataupun perkataan yang dia dengar, lalu kisah merekah selebar-lebarnya.
Ciuman yang paling berkesan bagi saya adalah yang kedua “Pispot”, yang ketujuh “Hukuman untuk Tom”, serta yang kedelapan“Ketupat Gulai Paku” . Semuanya berhasil menampar saya keras tentang kejujuran dan kebaikan secara bersamaan, jika ketiga kisah ini berangkat dari titik yang sederhana, maka sungguh luar biasa makna yang disampaikan. Saya menutup buku sejenak untuk tidak melanjutkan cerita selanjutnya.
Akhirnya sampailah saya pada dua ciuman terakhir “Antena” dan “Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan” yang mengingatkan saya pada kematian, Hamsad menghentikan ciumannya disana. Meninggalkan perenungan setelah masa kritisnya dirumah sakit yang melahirkan karya ini. Dia juga memperkenalkan pada saya para sastrawan yang tak boleh dilupakan pula.
75 tahun sudah Hamsad menebarkan ciumannya lewat tulisan. Cerpen terakhirnya yang dia takuti sekarang menjadi kenyataan. Kisah Hamsad Rangkuti tak akan pernah mati dalam ingatan saya, karena lebih dari sekedar tulisan, Hamsad juga telah banyak memberikan pembelajaran kehidupan ini. Terimakasih tak terhingga kepada Hamsad Rangkuti yang telah banyak mengajarkan.
Oleh: Maratushsholihah