Identitas Buku
Judul Buku : Laut Bercerita
Tahun Terbit : Oktober 2017
Kota Terbit : Jakarta
Penulis : Leila S. Chudori
Jumlah Halaman : 378 hlm
Nomor Edisi Terbit : ISBN 978-602-424-694-5
Seyegan, Yogyakarta, sebuah kontrakan dengan latar tahun 90-an, ditempat yang mereka kira paling tersembunyi, Biru Laut Wibisono yang selaras dengan judul novel karya Leila S. Chudori ini memulai perjalanannya menjadi seorang aktivis. Perjuangannya melawan kekejaman rezim dimana kebebasan berpendapat dibungkam.
Bersama sahabatnya, Sunu, Alek, Kinan, Daniel, Gusti, Julius, dan beberapa aktivis lainnya digambarkan begitu detail dengan karakter yang diciptakan sang penulis, pada awalnya saya menduga karakter yang Leila ceritakan pastilah tak sekedar karangan, dikemudian hari karakter itu memang ada dan begitu dalam Leila menggali karakter tersebut dari aktivis di masa itu yang masih ada hingga sekarang. Riset Leila patut diacungi jempol. Perubahan karakter dari yang semula lugu dan pendiam kemudian menjadi berani pun dengan rapi ia tulis.
Sama halnya ketika membaca tulisan Ahmad Fuadi, Ayu Utami, Okky Madasari, dan penulis yang mempunyai catatan perjalanan menjadi seorang wartawan lainnya, selalu berhasil meneguhkan keyakinan saya pada karya sastra yang mereka buat. Begitupun Leila Chudori. Ketika memilih Laut Bercerita pun, sekedar nama dan desain sampul yang menggugah berhasil mengantarkannya ke meja kasir tanpa mempertimbangkan apapun, sebuah cara memilih buku yang agaknya asal, tapi cara ini tidak pernah mengecewakan saya.
Baca juga: Digugu dan Ditiru, Berhasrat dan Sesat
Tentu, ketika membacanya saya tidak memiliki ekspektasi apapun bahwa ini buku tentang perlawanan tahun 98, karena nuansa laut di sampul yang begitu terang, rasanya ceritanya tak mungkin getir, tapi ini salah. Getir dan rasa marah tiba disetiap langkah ceritanya.
Ini tentang orang hilang yang bukan hanya isapan jempol pada masa itu. Membaca karya sastra yang radikal dianggap dapat memicu kekacauan politik dan perkumpulan massa dapat dicurigai sebagai gerakan memusuhi pemerintah. Nyawa mereka dibayangi oleh penghilangan secara paksa atau sangat mungkin ditembak di tempat. Mereka diculik, dikurung, disiksa, dan diinterogasi, tanpa pernah tahu dimana mereka berada saat menjalani momen tragis itu. Penyiksaan mereka akan berakhir dengan dibuang tanpa tersisa atau dipulangkan apabila mereka beruntung.
Ya, sangat sering kita dengar, terutama di kalangan mahasiswa yang masih menggebu dengan idealisme perlawanannya, lalu apa yang membuat Laut Bercerita tambil beda?
Alurnya maju mudur, ini membingungkan dan membuat penasaran, untuk yang satu ini Leila berhasil membuat saya berada di posisi Laut, ini membuat halaman demi halaman harus segera tuntas di baca. Sebentar, penasaran saya dengan bagaimana tragisnya ia disiksa, sebentar lagi penasarannya pindah ke bagaimana sahabat ini bisa bertemu dan memperjuangkan hal yang paling berani semasa hidupnya. Alur ini ia pilih dengan tepat.
Lalu bagaimana selanjutnya, setelah penyiksaan tragis itu? Hilang kah mereka, mati kah mereka? Tapi ini baru separuh dari buku yang tebalnya hampir empat ratus halaman. Penasaran itu terjawab. Asmara Jati hadir, dan saya dipaksa tenggelam dalam sudut pandangnya.
Berhenti disini, nama-nama yang Leila pilih juga menjadi soroton saya, Namanya menarik. Sangat menarik, terlebih untuk nama-nama tahun 90an. Mungkin sampul buku gagal membungkus sekilas bagaimana cerita ini berjalan, tapi ia berhasil menyelaraskan nama-nama yang dibentuk indah itu.
Baca juga: Membicarakan Rahing, Si Pembunuh Cilik Milik Faisal Oddang
Asmara Jati, adik perempuan Laut. Sampainya di bagian ini cerita begitu memilukan. Saya merasakan kehilangan pula dan menjadi sangat paham kenapa ada yang lantang menyuarakan aksi di setiap kamis dengan payung hitam tanda berduka. Saya paham bagaimana duka mereka yang menerka-nerka apa yang terjadi dengan keluarganya, terlebih saya memang tahu apa yang memang terjadi melalui mata Laut. Asmara membaca dan melacak jejak kakaknya yang hilang. Ketidakadilan tersebut menimbulkan trauma yang amat dalam. Tidak hanya bagi mereka yang dihilangkan dan selamat, tetapi juga bagi keluarga korban.
Leila berhasil menghadirkan perwujudan sejarah dalam bentuk fiksi dan lagi-lagi menyadarkan bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh melupakan sejarah yang membentuk sekaligus menjadi tumpuan bangsa ini. Cerita yang tak pernah hadir di catatan sejarah bangku-bangku sekolah ini, mengajak kita untuk menguak misteri sejarah yang telah terjadi.
Diakhir cerita, saya menutup novel ini, kemudian pendapat seperti “Leila harus berbuat lebih dari sekedar novel” muncul, sebab perasaan yang tadinya getir dan pilu itu tak bertahan lama. Tapi setelahnya saya ketahui sebuah film pendek Laut Bercerita telah ditayangkan, berkali-kali dan didiskusikan di mana-mana. Setelahnya saya bergegas mencari di mana saya bisa menonton film yang dimainkan Reza Rahardian, sosok Laut dalam kisah ini. Sayang, film nya pun tak merdeka untuk di tonton kapanpun.
Penulis : Mar’atushsholihah