Pernah menjadi seorang jurnalis pada beberapa surat kabar di Indonesia membuat saya tak heran dengan karya-karya Okky Madasari yang konsisten menyuarakan kritik sosial. Namun ada rasa yang berbeda di dalam karya Okky yang satu ini “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan”.
Sebagaimana kumpulan cerpen haruslah dinikmati seperti kue lebaran, tak dihabiskan dalam sekali duduk, dinikmati sedikit demi sedikit namun memberi rasa puas dari adonan mentega yang penuh. Okky berhasil menyuguhi ‘sajian lebaran’ ini dimana setiap habis satu cerpen rasa puas menghampiri dan membuat termenung sejenak. Kata “Wah” diakhir cerita selalu terucap dalam hati entah karena bergidik ngeri ataupun kekaguman terhadap tingkah tokoh dalam setiap cerita.
Menghabiskan kumpulan cerpen ini bersamaan dengan “Pasung Jiwa”, salah satu novel karya Okky Madasari pula, jelas akan kentara bedanya sekaligus menekankan bahwa ada ciri khas tersendiri untuk setiap karya Okky Madasari. Saya kira Okky butuh ekstra lebih untuk memainkan imajinasinya seluas-luasnya ke dalam cerpen-cerpen ini. Memang, sajian lebaran ya begitu, perlu ekstra membuatnya.
Okky menjadikan setiap tokoh utama haruslah unik dan harus berkesan, misalnya saja di dalam cerpen yang berjudul “Janin”, sudut pandang orang pertama adalah janin yang berusaha digugurkan. Yang berjudul “Sarap” dimainkan oleh tokoh aku yang sarap, Okky tentu memainkan pikiran si sarap ini begitu nyata, seperti saat dia ingin mencungkil bola mata ibunya, atau tingkahnya yang kerap mengejar anak-anak kecil, benar-benar sarap. Kemudian ada “Hasrat” dimana tokoh aku adalah pelaku pelecehan seksual di daerah Melawi, lagi-lagi Okky memainkan pikiran si tokoh aku begitu nyata dan gila.
Tidak hanya dengan sudut pandang aku, dibeberapa cerpen yang berjudul “Pemain Topeng” dan “Partai Pengasih” pun yang menggunakan sudut pandang orang ketiga tak kalah apiknya. Okky menggambarkan kegilaan tokoh utamanya lewat sudut pandang berbeda yang justru menegaskan keunikan dan kegilaan tokoh utama.
Okky juga menyuguhi cerpen-cerpen yang membuat saya menduga akan menyelami perkara keimanan, di dalam cerpen yang berjudul “Patung Dewa” dan “Perempuan Pertama”. Kedua cerpen itu membuat saya terbang ke dunia asketisme sejenak. Saya kira rasanya akan seperti membaca cerpen-cerpen karya Danarto ataupun tulisan sastra sufistik lainnya. Namun ternyata, di akhir cerita justru saya merasa keliru besar dengan penilaian awal. Jika mengingat tulisan Okky dalam novelnya yang berjudul “Pasung Jiwa” dan “Maryam” tentu dalam dua cerpen ini Okky masih menuliskan hal yang sama yaitu mengkritiki tentang perlakuan manusia terhadap suatu golongan, hanya ditambah bumbu tentang keyakinan suatu agama yang berhasil membuat saya mengira akan menyelami perkara keimanan. Ya, begitu memang ciri khas dari Okky di setiap tulisannya, menyuarakan tentang kritik sosial.
Saya membaca cerpen ini tak berurut. Dikira judul itu menarik dan cukup waktu untuk membaca beberapa cerpen maka saya pilih yang mana yang akan saya nikmati dulu. Ya, begitu cara saya membaca kumpulan cerpen, persis seperti menikmati kue lebaran, bukan? Lama untuk saya akhirnya menyentuh cerpen pertama yang judulnya diangkat sebagai judul antologi cerpen ini, “Yang bertahan dan Binasa Perlahan”.
Okky menyajikan sebuah long short story untuk cerpen pertamanya yang tidak menarik perhatian saya, tiga atau mungkin empat kali lebih panjang dari cerpen-cerpen berikutnya, namun pada akhirnya saya telan juga sajian itu. Seperti pikiran awal, tak akan semenarik cerpen-cerpen lainnya yang terlanjur saya baca terlebih dahulu. Sebuah cerita yang serupa dengan orang-orang Jawa yang merantau ke Kalimantan yang pernah saya temui. Merantau ke pulau yang tak pernah mereka (orang-orang Jawa) bayangkan, pulau yang konon katanya besar dan penuh hutan, jarang dihuni orang. Teringat pula dengan cerita tentang transmigrasi besar-besaran dari pulau Jawa ke Kalimantan yang pernah terjadi tanah kuning yang dahulu katanya bebas untuk ditempati. Tentu saja tak sedikit cerita yang saya dengar tentang pengalaman orang-orang saat pertama kali pindah ke Kalimantan, apalagi transmigrasi masih terus saja dilakukan maka kesannya cerita ini sungguh biasa untuk didengar.
Saya akhiri buku ini pada judul “Dua Pengantin”, penggambaran tokoh secara tersirat membuat saya menduga-duga bahwa jangan-jangan dua pengantin itu adalah teroris bom bunuh diri. Sungguh apik Okky melukiskan tokoh itu secara ‘diam-diam’ dan membiarkan saya menduga-duga.
Pada akhirnya sampailah saya pada sebuah kesimpulan. Hidup ini adalah tentang bertarung dan berjuang mempertahankan hidup, maka hanya akan ada dua pilihan dimana manusia harus bertahan untuk memastikan tetap hidup sebagaimana yang diinginkan ataukah memilih menyerah ditekan dan binasa perlahan. Okky berhasil menggambarkan kehidupan yang sebenar-benarnya terjadi diatas bumi ini dari sudut pandangnya akan kehidupan dalam sembilan belas cerpen yang diselesaikan dalam waktu satu dekade.
Penulis : Maratushsholihah