Oleh Dodoy
mimbaruntan.com Pontianak – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak, Senin, (14/4) melakukan diskusi lingkungan bersama Lembaga Gemawan. Kegiatan yang dilaksanakan di Gedung Graha Pena, Jalan Gajah Mada, Pontianak, turut dihadiri perwakilan awak media lainnya.
”Ini adalah kegiatan rutin bulanan AJI Pontianak,” ucap Heriyanto Sagiya, selaku Ketua AJI disela-sela pembukaan acara diskusi tersebut. Heri mengatakan, media sering memberitakan hanya terkait perkebunan sawit saja, namun pertambangan masih dinilai kurang, ungkapnya.
Diskusi yang memaparkan dampak deforestasi dan degradasi lahan ini juga membahas terkait kontribusi perusahaan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat. ”Pertambangan, perkebunan sawit dan HPH tidak berkontribusi pada masyarakat justru membuat rugi.” Ucap Arif Munandar, Peneliti Swandiri Institute dalam kegiatan diskusi tersebut.
Sektor tambang diberi pervilage dalam hal mendapatkan akses terhadap hutan dan lahan, jadi setiap izin tambang yang berada dalam perizinan sektor usaha lain seperti HTI, dan perkebunan sawit maka paling diutamakan adalah sektor tambang.
Sedangkan untuk tambang dalam kawasan hutan mempersyaratkan adanya izin pinjam pakai kawasan tidak hanya dalam kawasan hutan produksi dengan pertambangan open fit, tapi juga tambang dalam kawasan hutan lindung, close fit. Sementara itu ada 10 perusahaan yang memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan untuk izin operasi produksi dan 5 untuk IUP eksplorasi, bisa di katakan di luar itu Illegal termasuk ada beberapa izin tambang terdapat dalam kawasan konservasi, kata Arif.
Masih dilanjutkan oleh Arif, dari ketiga penguasaan industri berbasis hutan dan lahan di dominasi oleh PT.Sinar Mas Group pada sektor HTI dan perkebunan sawit. Sementara di sektor tambang, group terbesar yaitu Citra Mineral Investindo. Tbk, salah satu anak perusahaan terbesarnya PT. Harita. Berdasarkan Hasil analisis group sebagian besar 70 persen adalah dikuasai oleh Asing diantaranya Cina, Malaysia dan Singapore. Saat ini luas pertambangan melebihi dari luas perkebunan. Pertambangan 37 persen, perkebunan kelapa Sawit 36 persen, dan HTI 27 persen. Ungkapnya.
Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah, dari Perda No.4 tahun 2012 tentang sinkronisasi sektor tambang dan sektor usaha lainnya, hingga SK 936 tahun 2013 tentang perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
Khairul Rahman, Redaktur Pelaksana Harian Pontianak Post mengatakan pemerintah sangat bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. ”Masalah tambang bukan hanya tentang kerusakan lingkunagan atau cukong, tapi pemerintahlah yang bertanggung jawab,” ungkapnya dihadapan peserta diskusi.
Pemanfaatan SDA Kalbar menimbulkan konflik dan kesengsaraan bagi masyarakat, hal ini dilihat dari maraknya perijinan atas penggunaan lahan baik itu untuk pertambangan, perkebunan sawit dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHAK) HTI.