Aku melempar asal ranselku. Cukup berat, dipenuhi barang yang kupikir bisa membantuku bertahan hidup selama beberapa bulan, sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih layak selain menulis. Cambuk langit menggelegar, cuaca amat buruk di luar. Dapat diprediksi hujan badai akan terjadi malam ini, jika saja tubuhku tak berbalut pakaian basah. Mungkin aku sudah merebahkan raga dan hatiku yang menjerit untuk segera beristirahat. Namun ku ulur niatku dan memilih membersihkan diri terlebih dahulu, aku tinggal sendiri mulai sekarang, jika Aku sakit tiada siapapun yang bisa merawatku.
Aku berendam nyaman dalam bathup besar di kamar mandi. Apartemen ini sangat mewah, fasilitasnya bahkan lebih lengkap dari hotel bintang lima di luar sana. Namun, terasa kejanggalan. Mengapa mereka meletakkan tarif yang amat murah? Bahkan di lantai tujuh hanya Aku seorang diri yang mengisi kamar, dengan deretan empat belas pintu.
Aku berjalan menuju ranjang King size yang terhampar di dalam kamar luas bernuansa biru laut, Aku sudah terbiasa disuguhi hal yang mewah nan elegan, kali ini aku tersenyum getir dengan tangan yang sibuk mengacak surai, agar lekas mengering. Ingatanku kembali berputar layaknya menonton layar lebar dalam kenangan kelam yang tercipta oleh pengalaman pribadi. Kala itu, ketika Ku saksikan Ayah membanting keras mesin ketik kesayangan Ibu. Umurku masih lima tahun, Aku belum mengerti banyak hal.
Namun, perasaanku turut kacau begitu melihat sosok Penulis yang Ku banggakan, menangis memeluk hadiah terindah sekaligus terakhir yang Ia terima dari Kakekku. Aku tak menemukan alasan jelas kenapa Ayah begitu membenci Ibu dengan profesi menulis, masalah penghasilan? Ku rasa bukan kami sudah cukup tergolong keluarga berekonomi di atas rata-rata. Batin yang amat tertekan, hingga detik di mana Ia harus menerima panggilan Sang Pencipta, Ia memang berhenti menulis di hadapan Ayah tapi tidak di depanku, saat Ayah lembur dan sibuk pada pekerjaannya, Ia diam-diam mengajariku banyak hal seakan wasiat untuk putra sulungnya ini. Aku kembali tertawa miris ketika ingatan masa lalu ku terselam jauh, kini Aku meletakkan mesin ketik tua yang menjadi senandung penghantar tidur Ku dulu, di atas meja di samping kanan kasur.
Tirai biru dongker bergelayut tertiup angin, yang membuatku mematung bukanlah itu ataupun kilat putih yang turut benderang tampak jelas terpampang di balik pintu kaca sekaligus jalan penghubung menuju balkon. Namun, seorang Gadis yang berdiri santai di atas pinggiran balkon. Kulit pucatnya berbalut busana hitam dengan surai di bawah bahu itulah yang menyita perhatianku.
“Siapa Dia, bukankah tak ada orang lain selain diriku di lantai tujuh ini, apa gadis itu manusia?” Aku menggeleng cepat membuang jauh-jauh logika dangkal ini.
“Pasti anak itu ingin mengakhiri hidupnya, tidak akan kubiarkan,” aku menelan saliva, lamunanku seketika buyar.
Aku berlari secepat mungkin agar sempat menariknya menjauh dari tempat berbahaya itu. Bruk! Tubuhnya ambruk di lantai setelah kutarik bajunya, Aku menggigit bibir bawahku, netra itu menatap sendu pada manikku.
“Apa sesakit itu sampai Ia menangis?” Gumamku membatin.
“Seharusnya kau tidak perlu mengakhiri hidupmu, itu takkan pernah menyelesaikan masalah. Kau malah memperumit keadaan,” aku membuang nafas kesal, Ia malah semakin kuat menangis.
“Apa punggungmu patah?” desahku menahan amarah.
“Maaf..” lirihnya.
“Untuk apa? Tidak perlu meminta maaf, berjanji saja untuk tidak membahayakan dirimu lagi,” jawabku saat Ia mulai bangkit dan menatap ke bawah, gerombolan manusia berkumpul, mungkin sedang mengadakan pesta?
“Lagi pula apa masalahmu sampai seputus asa ini? Tak apa jika keberatan bercerita,” ujarku sedikit iba.
“Aku terlambat,” ia menjawab dengan senyum getir.
“Apa pria itu tidak ingin bertanggung jawab?” Jujur, Aku amat tercengang, Ia tidak menjawab. Namun, bulir bening berlomba terjun dari pelupuk matanya.
“Ah.., maaf mungkin aku terlalu lancang,” kini aku mengutuk ucapanku yang tak terkendali, mungkin menyinggung perasaannya.
“Tidak masalah.., apa boleh aku menginap di apartemen mu?” Aku kembali dibuat terbelalak.
“Tetapi..,” aku belum tahu harus menjawab apa.
“Tak masalah jika kau keberatan,” aku amat merasa iba padanya, mungkin jika malam ini kubiarkan perempuan ini sendiri di luar akan bahaya untuk kesehatan janinnya, Aku tak ingin menjadi Paman yang jahat. Lagi pun, Aku bisa tidur di sofa.
“Baiklah kau boleh menginap. Tapi, hanya satu malam,” ia mengangguk dengan senyum tipis dari bibir pucatnya, langkah kecilnya khas remaja masih melekat pada calon Ibu muda ini, tinggi badannya mengingatkan ku pada Lea, adik kecil yang kutinggalkan pergi saat Ia tengah tertidur nyaman, beberapa jam lalu. Sebelum meninggalkan rumah.
“Kau mandilah dulu, ada pakaian adikku yang bisa kau kenakan,” ujarku sambil memberikan kaos oversize dan celana panjang kegemaran Lea, Aku sengaja menyimpan ini dalam ranselku agar saat hati ini merindukan Lea aku bisa memeluknya sebagai kenangan.
Baca Juga: Lowkey
“Apa tak masalah kau meninggalkannya, bahkan kau belum sempat pamit untuk terakhir kalinya?” Ujar Wanita itu pelan padaku.
“Kau tau tentang Adikku?” Ia mengangguk.
“Jangan bilang kau cenayang, tunggu di mana rumahmu, bagaimana kau bisa berada di balkon lantai tujuh?” Aku menghujamnya dengan banyak pertanyaan, apa dia spidergirl? Tidak mungkin, ini jaman modern sedangkan spiderman ataupun spidergirl dan sejenis siluman lainnya pastilah hanya imajinasi penulis film saja.
“Aku menemukan brosurnya, seorang pengantar surat kabar berisikan fotomu bertuliskan orang hilang, apa itu seperti cenayang?” Aku sedikit tertawa.
”Apa sebenarnya yang membuatmu pergi dari rumah?” Aku mendesah, dadaku sesak, degup jantungku berpacu dengan waktu. Tubuhku melemah, manikku menatap nanar, sepasang tangan pucat tampak samar menyambar tubuhku yang kini terkulai di hadapannya.
“Jawab aku?” Pintanya memaksa. Aku mencoba melawan rasa pusing yang semakin memuncak, ku pandangi sudut lain, lagi-lagi kejutan yang amat tak masuk akal dan tak dapat ku terima, beberapa detik kemudian.
“Aku tetap ingin menjadi penulis seperti Ibu sampai ragaku kembali ke-pangkuan Yang Kuasa,” beserta jawaban itu pula kesadaran ku menghilang sepenuhnya.
Situasi sudah sedemikian ramai ketika pagi tiba, sementara Aku sibuk mengerjapkan mata menyesuaikan diri dengan cahaya. Ku amati orang-orang di sekitar, Polisi dan beberapa kerabat sudah berkumpul di dalam Apartemen ku. Beberapa dari mereka bergegas menuju balkon, di sudut lain teman-teman sekolah ku datang untuk menangis dan yang aku herankan kali ini ada Ayah dan Lea, apa yang mereka lakukan di sini.
Baca Juga: Temaram Senja di Kota Khatulistiwa
“Ayah, apa kalian sedang menyiapkan pesta kejutan, agar Aku pulang ke rumah?” Aku menghampirinya, namun Ia tak menggubris pertanyaanku.
“Lea, Kakak sangat merindukanmu. Kalian tak perlu datang untuk menjemput Kakak, sudah jangan menangis. Kakak akan mengemasi semua barang-barang sekarang,” Aku mengusap jejak bulir pada pipi gembulnya, yang selalu ku cubit saat Gadis kecil ini merajuk.
“Putraku tak mungkin dengan mudah mengahkiri hidupnya sendiri. Cerita konyol apa ini, ku pastikan kalian salah mengenai data korban,” Berontak Ayah pada kedua Polisi di depannya.
“Ayah cukup, Kakak sudah tenang bersama Ibu. Mereka sudah bahagia dan bersenang-senang di Surga,” lirihnya menatap beberapa barang yang tergeletak rapi di atas meja bersama mesin ketik tua milik Ibu.
“Seharusnya, Ayah bodohmu tak perlu melarang apa yang kau inginkan, Nak,” Ayah mengusap mesin ketik tua dan usang itu.
Aku menunduk, tak sadar tangan pucat menggenggam ku berlari menjauhi keramaian, menuju balkon tempat pertama kami berjumpa.
“Maaf….” lirihnya kembali terdengar, Aku mengusap surai tebalnya sambil tersenyum tipis,
“Seharusnya Aku paham saat kau berucap ‘terlambat’ ku rasa setelah mati pemikiranku juga sudah lenyap beserta raga,” ujarku sendu.
“Seharusnya, jika saja Aku ada disampingmu sebelum kejadian itu terjadi….” sesalnya.
“Tak perlu menyesal. Kau memiliki kemampuan untuk berbicara dan melihat makhluk seperti kami, bukan?” ia mengangguk,
“Pantas saja semalam saat berada di depan cermin yang tertampil hanya bayangan gelap yang samar, ku pikir mataku bermasalah,” Aku kembali tertawa miris.
“Padahal kau penulis idolaku,” Sendunya
“Kau menjadikan ku inspirasi?” Ia mengangguk.
“Aku bisa menungkan semua yang ku rasa, dengan menjejalkan aksara dalam lembar-lembar putih karenamu…, apa kita akan bertemu lagi setelah ini?” Kesedihan membingkai wajahnya.
“Kau begitu lucu, mesin ketik Ibuku akan ku berikan padamu, terus menulis ya. Jangan cepat ingin menemuiku lagi,” air matanya tumpah, berhambur tubuhnya dalam dekapanku yang perlahan mulai lesap. Bagaimana Aku sempat berpikir Dia hantu padahal, Akulah roh itu. Aku bahkan mengiranya Wanita yang tidak baik, padahal Ia gadis yang polos dan manis baik rupa maupun perawakannya.
“Ku titip Lea, padamu,”
Penulis: darinala