mimbaruntan.com, Untan — Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sarang Semut Universitas Tanjungpura (Untan) kembali menggelar pentas tunggal tari pada Rabu dan Kamis, 3–4 Juni 2025. Berlokasi di Taman Budaya Kalimantan Barat, Sarang Semut mengangkat isu sosial yang dekat dengan kehidupan kaum muda saat ini, bertajuk “Kapan Nikah?”
Mengangkat realitas yang sering terjadi di lingkungan masyarakat, “Kapan Nikah?” tidak hanya menjadi pertunjukan hiburan semata, melainkan juga menjadi kumpulan suara mereka yang mengalami nasib serupa. Dilema privasi dan rasa tidak percaya diri untuk mengungkapkan perasaan turut mewarnai karya tari yang digarap oleh Sarang Semut bersama koreografer Kota Pontianak yang akrab disapa Budi Jak.
“Kebetulan di momen dekat Lebaran, ketika keluarga ngumpul, satu pertanyaan sakral yang biasanya muncul di kalangan kita, ya itu tadi. Terkadang banyak orang yang mengalami nasib yang serupa, hanya saja tidak berani mengungkapkan, cukup dipendam dalam hati, padahal ini adalah sesuatu yang sifatnya privasi. Berangkat dari itu, kita coba bawa ke dalam sebuah karya tari,” ungkap Budi selaku koreografer pentas tari saat ditemui pada Rabu (3/6).
Menurut Budi, kebiasaan yang selalu dianggap sepele ini nyatanya menjadi isu sosial yang luput dari perhatian masyarakat. Padahal, setiap manusia memiliki tingkat emosi yang berbeda, dan tidak menutup kemungkinan pertanyaan “Kapan Nikah?” akan memberikan tekanan yang berbeda pula bagi orang lain.
“Isu sosial yang kalau kita bilang sesuatu hal biasa, namun sebenarnya kita tidak juga bisa membenarkan suatu kebiasaan. Mungkin penyadaran buat kita semua untuk bijak memilih kata-kata yang akan dipertanyakan pada seseorang,” jelas Budi.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa proses penggarapan pentas tari ini tidak hanya bertujuan untuk menjual gerakan, tetapi yang terpenting adalah emosi yang disampaikan oleh para penari. Budi mengakui bahwa penggarapan emosi lebih sulit dilakukan, mengingat ada kemungkinan para penari pernah mengalami emosi serupa.
“Jadi saya berpikir, selain gerak, kami bisa menjual emosi. Itu yang akan kami tonjolkan di dalam penggarapan ini. Sehingga dalam proses penggarapan, yang lebih sulit adalah penggarapan emosinya. Karena tingkat emosi seseorang ini beda-beda. Apalagi teman-teman penari ada yang mengalami kondisi yang serupa atau tidak,” ungkapnya.

Beranjak dari koreografer, Wondo, selaku ketua panitia pentas tari “Kapan Nikah?”, turut membagikan bahwa proses penggarapan kegiatan ini telah melalui tahap yang matang, mulai dari pemilihan penari hingga kerja sama dengan koreografer dan komposer musik.
“Penari kita di pentas ini ada 9 orang, berdasarkan hasil seleksi. Kalau seniman yang terlibat secara langsung itu ada dua, yaitu yang sebagai koreografernya Bang Budi, terus komposer musiknya itu Mbak Dina,” sebut Wondo.
Menutup dengan apresiasi terhadap pentas tari dari Sarang Semut, Kira, salah satu penonton, mengaku bahwa ia cukup merasakan emosi dan pesan yang disampaikan oleh para penari. Kira berpendapat bahwa pertanyaan sepele “Kapan Nikah?” merupakan sesuatu yang turut ia rasakan.
“Judulnya relate sama kita saat ini. Pesan yang mau disampaikan bisa diterima. Beban dari pertanyaan kapan nikah, sepele kapan nikah, itu tuh jadi terasa pesannya, perasaan sedihnya gimana,” kata Kira yang menyaksikan pertunjukan pentas tari pada Rabu (3/6).
Penulis: Fitri
Editor: Aga