Di era layar sentuh dan wifi mengudara,
Kita kejar ilmu dengan klik dan data.
Tapi di balik gadget yang makin canggih,
Pendidikan justru jadi barang mewah yang tersembunyi.
Sekolah-sekolah megah berdiri kokoh,
Tapi hanya untuk yang kantongnya tebal.
Yang miskin dapat bantuan, tapi seadanya
Buku-buku usang, guru-guru lelah, fasilitas sekenanya.
Anak-anak kaya les sana-sini,
Dibimbing sampai ke kampus ternama.
Sementara anak jalanan berebut kursi,
Di emperan toko yang diterangi lampu kota.
Guru-guru muda penuh idealisme,
Terjepit antara gaji kecil dan tuntutan zaman.
Mereka dijejali kurikulum baru setiap tahun,
Tapi tak pernah diajak bicara tentang nasib murid-muridnya.
Pemerintah sibuk dengan jargon-jargon,
“Merdeka Belajar”, “Digitalisasi Pendidikan”.
Tapi di pelosok, anak-anak masih bertanya
“Kapan kami boleh sekolah tanpa harus membantu orang tua dulu?”
Kita punya Ujian Nasional yang dihapus,
Tapi sistem tetap mengukur dari angka semata.
Di mana letak “Pendidikan Karakter” nya,
Kalau mental anak-anak tetap diracuni kompetisi tak sehat?
Di zaman serba instan ini,
Ilmu direduksi jadi sekadar gelar dan ijazah.
Padahal hakikat pendidikan sejati,
Adalah tentang bagaimana manusia tetap manusia.
Penulis: Uis