Riuh angin musim panas berhembus, membawa awan kelam yang menggantung di langit. Hujan pun datang, menjadi penghantar yang menenangkan, seolah mengundang untuk berbaring di balik selimut dan bantal di sore hari. Malam tiba tanpa terasa, tak lagi dihiraukan. Tanpa disadari, ini menjadi penghalang bagi seorang perempuan dalam mengejar mimpinya. Ia terus mencari simpati atas setiap kesalahan yang dilakukan, meski katanya Ia ingin berbenah diri.
Perempuan itu senang memanjakan dirinya, tetapi banyak keinginan yang belum Ia wujudkan. Bahkan aktivitas sederhana seperti mandi dan menggosok gigi terasa membosankan karena harus diulangi setiap pagi. Namun, ia tetap melakukannya, mau tak mau, demi menjaga penampilan.
Belum sempat temannya melontarkan pertanyaan, suara riuh alarm ponsel tiba-tiba menggema, memecah suasana.
“Alarm sialan! Padahal aku penasaran Dandi mau nanya apa!” gerutunya sambil segera mematikan alarm. Ia menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Usai bersiap-siap, pikirannya kembali melayang pada mimpi yang terasa tertunda. Ingatan masa putih biru berputar seperti kilas balik di kepalanya. Sebuah senyum kecil terbit di bibirnya saat ia melangkah menuju meja belajar dan mengambil sebuah foto lama.
Foto itu memperlihatkan dirinya dan Dandi tersenyum lebar, saling merangkul bahu dengan kehangatan khas masa remaja, semuanya terbingkai dalam warna monokrom. Ia menatap foto itu dalam diam. Senyum teduh perlahan muncul di wajahnya, seolah kenangan itu berbicara tanpa kata
Bian termenung, mengenang wajah-wajah yang kini hanya tinggal di lembaran foto. Hari itu, mimpinya tentang Dandi terasa begitu nyata. Ia teringat tawa khas Dandi yang dulu sering menggema di ruang kelas, cara Dandi selalu berhasil menghibur teman-teman, hingga janji sederhana mereka untuk tetap berteman, meskipun waktu dan dunia terus berubah.
Lamunannya buyar oleh suara ketukan di pintu.
“Bian, ayo sarapan dulu!” suara ibunya terdengar dari balik pintu.
Ia menghela napas panjang, lalu perlahan meletakkan foto itu kembali di atas meja. Dengan enggan, ia bangkit dan berjalan keluar kamar menuju ruang makan.
Namun, langkahnya terasa berat. Pikirannya terus melayang, terjebak dalam gelombang rindu yang tak terbendung. Ia sadar, Dandi adalah bagian dari masa lalu yang indah namun jauh sebuah fragmen kehidupan yang mungkin tak akan kembali. Tapi, mimpi tadi seolah menyampaikan pesan: ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
Malam itu, Bian duduk di meja belajarnya. Dengan hati yang dipenuhi rasa penasaran, ia membuka galeri foto di ponselnya. Jemarinya perlahan menggulir layar, mencari-cari apakah ada kenangan lain tentang Dandi yang tersimpan.
Hingga akhirnya ia menemukannya sebuah foto perpisahan sekolah. Dalam foto itu, Dandi berdiri di sampingnya, merangkul bahunya dengan senyum lebar yang hangat. Bian menatap foto itu dalam diam. Ada sesuatu dalam tatapan Dandi di foto itu yang membuatnya kembali bertanya-tanya
Bian merasakan dorongan kuat untuk mencari tahu kabar Dandi. Ia membuka media sosial, mengetik nama Dandi di kolom pencarian, dan mulai menyusuri hasilnya. Setelah cukup lama mencari, akhirnya ia menemukan akun milik Dandi.
Foto pertama yang muncul di akun itu membuat Bian terpaku Dandi tampak tersenyum bersama seorang perempuan. Hatinya terasa tertusuk. Apakah itu kecemburuan?
Tanpa pikir panjang, Bian langsung membuka kolom komentar dan mengetik, “Apa kabarnya, Dan? Udah ada yang baru, nih.” Komentar itu terkirim, menyendiri di antara kesunyian tanpa komentar lainnya.
Namun, rasa menyesal segera datang. Bian buru-buru menghapus komentarnya, tapi keraguannya semakin menyesakkan dada. Ia merasa seolah telah melangkah terlalu cepat, mencoba menghubungi Dandi sementara dirinya sendiri masih terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Kekhawatiran mulai menyelinap, membuat Bian meragukan setiap keputusan yang ia ambil. Apa yang sebenarnya Ia cari dari semua ini?
“Mungkin memang lebih baik begini,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri. Ia menutup matanya, berharap tidur dapat menghapus kegelisahan yang terus menggigit hatinya.
Ketika Bian terbangun, matanya masih berat oleh kantuk. Ia meraih ponsel di sampingnya, dan sebuah notifikasi mencuri perhatian. Pesan dari nomor tak dikenal:
“Temui aku di Café Zero, pukul 10 malam. Jika kamu ingin tahu apa yang telah terjadi.”
Pesan itu singkat, tetapi terasa seperti menyimpan beban yang tak kasatmata. Bian terdiam, jantungnya berdebar. Tubuhnya kaku, sementara keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Pikiran-pikirannya berkecamuk, dipenuhi berbagai kemungkinan yang mengerikan. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa yang sebenarnya terjadi?
Malam itu, meskipun ragu, Bian memutuskan untuk pergi. Setiap langkah menuju Café Zero terasa lebih berat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang mengawasinya di sepanjang jalan. Ketika Ia tiba, suasana kafe terasa aneh. Tempat itu hampir kosong, hanya diterangi lampu-lampu redup yang tampak kusam dan usang. Jam menunjukkan pukul 10 tepat, namun tak ada siapa pun di sana.
Tiba-tiba, dari sudut ruangan, sebuah bayangan muncul. Gerakannya perlahan mendekat, menyelimuti ruangan dengan aura misterius. Nafas Bian tercekat, tubuhnya membeku. Bayangan itu semakin jelas, dan saat itu Bian menyadari siapa yang ada di hadapannya.
Itu adalah Dandi.
Sosok yang selama ini Ia rindukan berdiri di depannya, namun dengan tampilan yang jauh berbeda. Rambutnya berantakan, wajahnya lusuh, dan tubuhnya penuh bekas memar. Pipi dan pergelangan tangannya tampak lebam, dengan pakaian yang koyak, hampir tak layak disebut pakaian. Tatapan yang dulu penuh keceriaan kini redup, penuh beban yang sulit dijelaskan.
Bian berdiri terpaku, mencoba mencari kata, tetapi lidahnya kelu. Saat itu, ia tahu ada sesuatu yang kelam dan menyakitkan menanti untuk terungkap.
“Bian,” suara Dandi terdengar serak, hampir seperti bisikan. “Ada sesuatu yang harusnya aku jelaskan sejak dulu,”.
Suasana di kafe semakin mencekam, membuat bulu kuduk Bian berdiri. Dandi meletakkan sebuah amplop cokelat yang lusuh di atas meja. Bian hanya bisa menatap benda itu dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya.
“Apa sebenarnya ini semua?” pikirnya.
Dengan ragu, tangan Bian bergerak membuka amplop tersebut. Saat itu, Dandi mulai bicara, suaranya pelan namun penuh beban.
“Aku tak berniat melibatkanmu dalam hal ini,” katanya. “Tapi hanya kamu satu-satunya orang yang bisa aku percaya.”
Di dalam amplop itu, terdapat selembar karcis bus yang terlipat rapi. Nomor serinya terlihat familiar, seperti pernah dilihat Bian di suatu tempat. Di sudut karcis itu tertulis sebuah pesan: “Stasiun terakhir, pukul 12.00. Jangan terlambat.”
Kebingungan meliputi Bian. Ia menatap Dandi dengan wajah penuh tanya. “Apa maksudnya ini?” Ia bertanya, suaranya mengandung campuran bingung dan curiga.
Namun, Dandi hanya terdiam, seolah tak ada waktu untuk menjelaskan lebih banyak.
Tanpa membuang waktu, Bian memutuskan untuk mengikuti perintah yang tertera di karcis tersebut. Langkah kakinya tergesa, menuju stasiun terdekat dengan perasaan gelisah, takut terlambat.
Sesampainya di sana, suasana terasa sunyi, hampir seperti dunia terhenti. Di sudut stasiun, ia melihat sosok Dandi, berdiri sendirian. Dandi mengenakan jaket hitam dengan tudungnya terpasang, tubuhnya sedikit membungkuk. Ia terlihat gemetar, penuh rasa takut, dan seperti sedang menunggu sesuatu yang tak terhindarkan.
“Bian… sebenarnya aku pernah bekerja sama dengan—”
Dor!
Suara tembakan memecah udara. Darah menyembur, membasahi lantai. Mata Bian membelalak melihat tubuh Dandi yang ambruk, darah segar mengalir dari luka tembak di kepalanya.
“Dandi!” Bian berteriak panik, segera berlutut dan mengangkat kepala sahabatnya ke pangkuan. Tangan gemetarnya berusaha menghentikan darah yang terus mengalir.
“Dandi… ada apa ini? Siapa yang melakukan ini?” suaranya pecah di tengah keputusasaan.
Namun sebelum jawaban itu datang, suara tembakan kedua menghantam udara. Dor!
Rasa panas yang menyengat membakar kepala Bian. Tubuhnya terhempas ke lantai, bersimbah darah di samping sahabatnya. Nafasnya tersengal, penglihatannya perlahan memudar. Dalam detik-detik terakhirnya, Bian menyadari bahwa mereka berdua telah menjadi korban dari rahasia besar yang terlalu berbahaya untuk diungkapkan.
Dalam sunyi yang menyelimuti stasiun, darah mereka menjadi saksi terakhir dari cerita yang berakhir tragis, menutup segala kemungkinan untuk jawaban.
Penulis: NAVA