mimbaruntan.com, Untan – Aromanya menyerbak ke seluruh penjuru ruangan, kepulan asap membumbung tinggi membawa tak hanya keharuman semata, melainkan menjadi pengantar agar sampainya doa-doa dan harapan. Beragam tempat, daerah dan juga keyakinan menggunakannya, sebagai pelengkap peribadatan maupun sekedar wewangian semata. Itulah dupa, sebuah nama untuk bahan yang ketika dibakar akan menghasilkan aroma yang khas. memiliki Bentuk yang beraneka macam, mulai dari batang, lingkaran, kerucut, serbuk, maupun bentuk lainnya yang juga dikenal dikalangan masyarakat sebagai kemenyan, setanggi, luban atau mungkin familiar dengan nama Hio dalam bahasa Hokkian. Wangi dupa pula beraneka ragam, bergantung dari jenis kayu atau bahan yang digunakan. Keberagaman dupa ini membawa reporter Mimbar Untan mengunjungi beberapa tokoh agama untuk mengetahui makna dibalik penggunaannya.
Wewangian Sebagai Pengantar Doa dan Harapan
Pada beberapa agama besar, di Indonesia telah menggunakan dupa ini dalam proses peribadatan yang berlangsung sekian lama. Dalam agama Hindu misalnya, saat menjalankan peribadatannya tak terlepas dari penggunaan dupa. Bangunan pura menjulang megah, papan nama tertulis Pura Giripati Mulawarman menunjukkan kami telah sampai pada tujuan. Jalan Adi Sucipto No. 12, Kabupaten Kubu Raya Pontianak Kalimantan Barat, kami menemui Ida Sri Resih Dukuh, ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Dengan tenang, ia menjelaskan bahwa dupa berperan sebagai sarana persembahyangan bagi umat Hindu, baik untuk sembahyang harian maupun sembahyang hari raya. Ia juga menerangkan bahwa asap yang dihasilkan dari pembakaran dupa ini diyakini sebagai penyampai dari doa-doa yang dipanjatkan.
“Ketika dupa dinyalakan akan timbul api. Nah, api ini sebagai saksi dan asapnya lah yang menyampaikan. Tapi bukan semata-mata dupa yang menyampaikan doa, melainkan keikhlasan dan kesucian batin dari seseorang (yang berdoa). Walaupun orangnya berpakaian compang-camping tapi dia tulus dan hatinya bersih, maka akan sampai doanya,” ujar Ida Sri Resih Dukuh.
Lelaki yang berperan sebagai seorang Pandita tersebut menambahkan bahwa yang menghantarkan doa adalah karma dan perbuatan manusia. Tersampainya doa juga bergantung pada sifat, perilaku, tingkah laku dan kepribadian yang bersangkutan. Dupa yang digunakan dalam sembahyang berbentuk batangan dan cukup menggunakan satu batang dupa untuk tiap kali sembahyang. Ia bersifat wajib ada dalam sembahyang harian yang dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam sehari, yaitu pada waktu matahari terbit, saat tengah hari dan saat matahari terbenam.
Patram puspam phalam toyam,
yo me bhaktya prayacchati,
tad aham bhakty-upahrtam,
asnami prayatatmanah
Patram adalah daun, pushpam adalah bunga, phalam adalah buah, toyam adalah air, yo me bhaktya prayacchati untuk dijadikan persembahan, tad aham bhakty-upahrtam asnami prayatatmanah adalah apa yang kamu perbuat akhirnya harus didasarkan atas pemikiran yang suci. Merupakan salah satu sloka yang menjadi landasan hadirnya dupa sebagai prasarana peribadatan yang tak dapat ditinggalkan.
“Sembahyang harian namanya Tri Sandhya, bisa dilakukan di rumah atau pura. Bunga, dupa dan air merupakan syarat paling pokok untuk ibadah. Ini merupakan simbol yang diatur dalam sloka,” papar Ida Sri Resih Dukuh.
Terakhir, Ida Sri Resih Dukuh menegaskan bahwa stigma penggunaan dupa yang melekat dengan pemanggilan setan tentu tidak dibenarkan. Baginya, setiap agama memiliki masing-masing cara dalam beribadah.
“Terkadang ada orang yang berpikir terlalu ekstrim dengan mengatakan menggunakan dupa seperti memanggil setan. Padahal cara masing masing agama itu berbeda-beda, sehingga tidak boleh saling menghujat,” tegasnya.
Baca Juga: Temu Pemuda Lintas Iman (Tepelima): Cara Orang Muda Merawat Toleransi dan Keberagaman di Kalbar
Harumnya Dupa Artikan Penghormatan
Oktavianus Meman, dosen pengajar Teologi di Sekolah Tinggi Agama Katolik (STAKat) Negeri Pontianak menjelaskan bahwa prosesi pendupaan telah diatur dalam Pedoman Umum Misa Romawi (PUMR) yang membahas mengenai liturgi dalam gereja Katolik. Proses pendupaan dilakukan oleh Paus dengan mengelilingi altar, tempat kitab suci, tabernakel dan terakhir mendupai umat yang dilakukan sebanyak tiga kali. Sementara Paus juga didupai oleh pelayanan imam sebanyak tiga kali.
“Nantinya umat berdiri dan didupai pada saat ingin menerima komuni (hosti) yang bermakna tubuh Kristus. Sehingga penggunaan dupa paling banyak secara umumya ada di ekaristi,” jelas lelaki yang akrab disapa Rey tersebut.
Pendupaan tentu memiliki makna yang berbeda dalam tiap keyakinan. Dalam Katolik, dupa juga dikenal dengan nama ukupan, disebut sebanyak 173 kali di dalam Al kitab menyebutkan dalam Mazmur 141:2, “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang”. Rey menerangkan bahwa hadirnya ayat ini sebagai landasan bahwa pendupaan merupakan bentuk penyampaian doa kepada Allah.
“Ketika dupa dibakar, ada asap yang membumbung ke langit. Hal itu diibaratkan sebagai doa umat Katolik yang sampai kepada Allah. Jadi, tradisi pendupaan itu sebenarnya tidak waktu gereja lahir tapi sejak awal sudah ada,” ungkap Rey.
Pendupaan yang dilakukan kepada barang-barang suci, altar, imam dan umat dalam gereja Katolik dianggap sebagai makna penghormatan terhadap kehadiran Kristus ketika Ekaristi berlangsung. Imam, yang merupakan pemimpin ibadah juga akan mendupai bahan persembahan, berupa hosti (roti), anggur dan persembahan lainnya. Persembahan yang dilakukan Imam dalam Ekaristi hadir sebagai bentuk mengenang Yesus dalam mempersembahkan dirinya untuk keselamatan manusia, khususnya dalam perjamuan yang dilakukannya sebelum wafat.
“Altar harus dihormati (didupai), karena digunakan untuk persembahan Yesus. Imam juga akan mendupai roti, anggur dan persembahan lain seperti buah-buahan. Pendupaan ini melambangkan persembahan dan doa Gereja yang naik ke hadirat Allah,” papar Rey.
Terakhir, Rey melanjutkan makna pendupaan digunakan sebagai martabat pelayanan baik sebagai imam maupun sebagai umat. Imam sebagai pemimpin dan umat sebagai partisipan dalam Ekaristi juga harus didupai sebagai tanda memuliakan perayaan yang dilaksanakan.
“Kalau imam itu dalam Ekaristi didupai oleh pelayan atau sesama pastor sebelum mulai prosesi persembahan, selanjutnya mendupai umat. Pendupaan ini dilakukan sebagai tanda bahwa perayaan ini perlu kita muliakan,” ucapnya.
Sambung Subandri Simbolon yang juga merupakan dosen pengajar di STAKat menjelaskan dupa yang digunakan dalam Gereja Katolik berbentuk serbuk, yaitu kemenyan halus siap pakai. Berbeda dengan anggur dan hosti yang bersifat forma sehingga harus ada dalam perayaan dan tak dapat digantikan dengan bahan lain. Dupa masuk ke dalam materia, bahan yang tidak harus ada dalam Ekaristi, namun tak boleh digantikan dengan bahan lain. Apabila dalam suatu kondisi tidak ada sedikitpun dupa yang tersedia, maka yang dihilangkan adalah prosesi pendupaan itu sendiri tanpa mengurangi makna perayaan Ekaristi.
“Misalnya ketika ingin mendupai ya harus pakai kemenyan, tidak boleh dengan alat atau bahan lain, harus kemenyan. Jika kepepet tapi nggak ada dupanya, proses pendupaannya dihilangkan, bahkan pendupaan terhadap imam,” jelas Subandri.
Subandri menegaskan bahwa penggunaan dupa bersifat bukan suatu keharusan sebab pendupaan sendiri dapat membuat suasana perayaan lebih meriah dan membantu umat menghayati kehadiran Kristus dalam perayaan Ekaristi. Selain untuk wewangian, dupa murni juga digunakan untuk melakukan peribadatan dalam perayaan dan tidak boleh digunakan oleh selain Imam atau pelayan yang bertugas.
Aroma Baik dan Buruknya Manusia
Setali tiga uang dengan Hindu dan Katolik, agama Buddha juga menggunakan dupa dalam peribadatan umatnya. Biksuni Shi Lian Yi 釋蓮眙法師 atau yang akrab dipanggil Fa Shi, menerima kunjungan reporter Mimbar Untan di kediamannya yang teduh, Vihara Bumi Vajra Kertayuga di jalan Ahmad Yani II No.12, Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Nuansa merah nan hangat di seluruh penjuru ruangan menjadi pemandangan tak terelakkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di vihara Bumi Kertayuga yang merupakan tempat ibadah bagi umat Buddha Tantrayana.
Fa Shi menjelaskan dalam bahasa Mandarin, dupa bernama xiāng yang memiliki arti harum. Xiāng, hio atau dupa merupakan sebuah alat atau media untuk berkomunikasi dengan para Buddha, Bodhisattva, Dharmapala dan para makhluk sosial lainnya.
“Orang zaman dulu menganggap kalau asap dupa yang membumbung tinggi ke langit menjadi penghantar atau media penyampai doa kita. Nah, sedangkan kalau dalam sembahyang itu menggunakan hio (dupa) sebagai media komunikasi,” jelas Fa Shi.
Penggunaan dupa dalam Buddha Tantrayana cukup beragam. Fa Shi memaparkan terdapat jenis dupa tanpa kaki (tidur), dupa batang, dupa bubuk, dupa lingkaran, dupa kerucut dan sebagainya. Namun, yang paling sering digunakan adalah dupa tidur dan dupa batang. Ia menambahkan jumlah dupa batang yang biasa digunakan berjumlah tiga batang dan masing-masing batang dupa memiliki makna yang berbeda ketika proses penancapan. Ketiganya ditancapkan dalam posisi sejajar dan sesuai urutan yang dianjurkan.
“Biasanya kita harus menancapkan dari sisi tengah dulu sebab melambangkan menghormati Buddha. Kemudian kita tancapkan di sebelah kiri, melambangkan kita menghormati Dharma. Terakhir, kita tancapkan di sebelah kanan yang berarti menghormati Sangha (Vihara, Bhikku, Bhante). Posisi ketiganya harus sejajar, tidak ada yang di depan atau dibelakang meskipun kalau jarak tidak harus sama,” ujar Fa Shi sembari mempraktekkan proses penancapan dupa batang sesuai urutan.
Umat yang datang berdoa sendiri di vihara diharuskan memberi persembahan dupa kepada para Buddha, Bodhisattva dan Dewa Langit. Sementara pada ibadah berjamaah, persembahan juga harus dilakukan sebelum melakukan kebaktian atau upacara, misalnya pada upacara penghormatan, upacara api homa, upacara agung trimula puja dan sebagainya. Baik secara individu maupun kolektif, Fa Shi menegaskan prosesi ibadah harus didahului oleh persembahan dupa.
“Setiap kegiatan baik upacara kecil maupun besar, itu semua diawali dengan menggunakan dupa, hal yang tidak bisa ditinggalkan,” tegas Fa Shi.
Namun, Fa Shi melanjutkan penggunaan dupa dalam Buddha Tantrayana dapat ditiadakan apabila tidak ada dupa yang tersedia dan dalam kondisi mendesak. Walau tanpa dupa sebagai media pengantar pesan, bagi Fa Shi ketulusan seseorang-lah yang akan menyampaikan pesan dan harapan pada Budhha Bodhisattva.
“Dupa memang sebuah persembahan, tapi dia juga merupakan media komunikasi dan penyampai pesan. Sifatnya kalau ada digunakan, kalau dalam posisi mendesak nggak apa-apa kalau nggak ada. Karena sebenarnya dalam buddhis juga ada membaca sutra dan mantra, jadi sudah sebagai penyampai pesan untuk doa kita,” jelas Fa Shi.
Selain aliran Tantrayana, reporter Mimbar Untan pula menemui Bhante Thitayanno, seorang pemuka agama dalam aliran Theravada. Menurutnya, penggunaan dupa dalam Theravada tidak sebanyak dan sesering yang digunakan oleh aliran Buddha lainnya. Prosesi persembahan dupa hanya dilakukan pada perayaan hari-hari besar tertentu serta pada pertemuan mingguan yang biasa dikenal dengan Puja Bakti.
“Kami menancapkan dupa hanya pada saat Puja Bakti atau perayaan besar. Itu pun hanya ditancapkan oleh pemimpin upacara, umat tidak melakukan. Sehingga kesannya vihara Theravada tidak begitu banyak asap dupa, karena menyalakan dupa dalam jumlah sangat sedikit,” jelas Bhante.
Bhante kemudian menjelaskan macam-macam perayaan hari-hari besar yang menggunakan persembahan dupa antara lain pada upacara perayaan waisak, upacara Kathina, upacara Kasada, upacara Magha Puja dan terakhir upacara Pattidana. Bhante kemudian menerangkan bahwa upacara Pattidana merupakan upacara yang dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada leluhur, sehingga lebih banyak menggunakan dupa dibandingkan perayaan lainnya.
“Sembahyang leluhur itu memang seringkali umatnya menggunakan dupa, tapi bukan di altar Buddha melainkan di altar leluhur. Upacara Pattidana atau pelimpahan jasa dikhususkan untuk mendoakan sanak famili yang sudah meninggal,” terang Bhante saat diwawancarai secara daring melalui WhatsApp pada (16/05).
Kedua aliran sama-sama menggunakan dupa sebagai persembahan bagi Budhha Bodhisattva dengan makna dan filosofis yang tak berbeda. Penggunaan dupa melambangkan keharuman dari perbuatan baik maupun buruk seseorang. Seperti aroma dupa yang selalu menyebar, perbuatan baik akan selalu dikenang dan menyebar kemana-mana sedangkan perbuatan buruk akan selalu tercium meski ditutup-tutupi.
Prosesi “Hio” dalam Peribadatan Umat Konghucu
Tak jauh berbeda dengan tiga agama sebelumnya, Konghucu dalam peribadatannya pula tak lepas dari penggunaan dupa. Adalah Tjhin Djie Sen, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN) Kota Pontianak menerangkan pendupaan dalam peribadatan Konghucu wajib digunakan ketika melakukan sembahyang. Adapun sembahyang wajib setiap bulannya dilaksanakan selama 2 kali pada tanggal 1 dan 15 di rumah ibadah umat Konghucu.
Di luar itu, sembahyang kepada Thian (Tuhan) dapat dilakukan pada saat pagi dan sore hari dan masih banyak lagi. Pria yang akrab dipanggil Djie Sen itu mengungkap bahwa penggunaan dupa selain pada peribadatan tidak diwajibkan dalam agama Konghucu.
“Biasa kalau dia memasang itu (altar), berarti dia setiap hari juga hidupkan dupa, bakar dupa setiap bangun pagi dan sore, sehari 2 kali. Kalau kita sudah memasang altar kecil di rumah kita, otomatis itu harus dirawat dengan baik, jangan dibiarkan begitu aja, harus setiap hari dirawat dan setiap hari disembahyangi,” tuturnya.
Pada pelaksanaan sembahyang, dupa atau hio digunakan untuk membantu meningkatkan kekhusyuan dalam beribadah. Aroma yang timbul dari pembakaran dupa dapat menambah aura positif dalam ibadah. Hio dalam agama konghucu sendiri terbagi menjadi beberapa warna dan bentuk. Setiap jenisnya pula merepresentasikan arti yang berbeda-beda. Misalnya, pada dupa bergagang hijau digunakan untuk bersembahyang ke hadapan jenazah keluarga sendiri.
Jap Adi Sucipto, Ketua MAKIN Kecamatan Pontianak Kota turut menambahkan dalam Pendidikan Agama Konghucu di bangku sekolah turut mengajarkan makna mengenai dupa. Umat Konghucu memiliki ketentuan tersendiri mengenai jumlah dan cara penancapan dupa ketika melakukan peribadatan. Misalnya tiga dupa bergagang merah masing-masing digunakan untuk memberi penghormatan kepada Thian, bersembahyang kepada Nabi Kongzi dan para suci (Shen Ming) pada umumnya.
“Hio itu ditancapkan di tempat dupa itu menggunakan tangan kiri, itu satu persatu dan di tengah dulu baru sebelah kiri lalu sebelah kanan. Pakai tangan kiri bukan tangan kanan,” imbuhnya.
Meski telah diajarkan oleh Nabi Kongzi mengenai pewarnaan, jumlah dan cara menancapkan dan masing-masing fungsinya. Ketua MAKIN Kecamatan Pontianak Utara, Po Fo menyebut bahwa Di Kalimantan Barat sendiri belum lazim dalam penggunaan dupa selain pada dupa bergagang merah.
“Cuma kalau dari konghucu itu seperti itu. di Kalbar sendiri belum bisa pelaksanaannya, tapi kalau yang kita pelajari yang diajarkan nabi Kongzi itu memang dari dulu ada perbedaan warna itu,” tambahnya.
Baca Juga: Dirikan Tiang Keberagaman di Vihara Paticca Samuppada
Sirat Bukhur dalam Filosofi Islam
Samsul Hidayat, Akademisi Program Studi Studi Agama Agama (SAA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Ia menerangkan kegunaan membakar dupa atau bukhur bergantung pada tujuannya. Namun, kerap kali konstruksi pemahaman yang terbangun dalam masyarakat membuat asumsi pembakaran bukhur atau dupa menjadi beragam.
“Jadi bukhur itu juga sama seperti pisau, bisa digunakan untuk yang baik, seperti untuk wewangian, mengharumkan segala macam atau jangan jangan yang tidak baik misalnya jadi media untuk mendatangkan arwah atau untuk roh atau jin dan seterusnya,” paparnya.
Kebersihan merupakan sebagian dari iman. Dalam hal ini, membakar bukhur atau dupa merupakan salah satu sarana menjaga kebersihan sehingga ruangan atau lingkungan menjadi harum. Menjadi salah satu sunnah, pembakaran dupa atau bukhur tidaklah dilarang. Adapun dupa bukanlah satu-satunya media yang dapat digunakan sebagai wewangian. Seiring perubahan zaman, pengharum ruangan, mobil dan berbagai bentuk pengharum lainnya dapat digunakan sebagai salah satu alat wewangian.
Penggunaan dupa lainnya biasa ditemui pada prosesi pemakaman jenazah. Mayat dengan kondisi tertentu terkadang membutuhkan wewangian agar dapat meredam aroma kurang sedap pada ruangan. Berbeda halnya dengan penggunaan dupa yang identik dengan perdukunan. Dengan tujuan untuk memanggil roh tentu hal ini dilarang dalam agama Islam.
Secara filosofi, pembakaran dupa untuk wewangian ini diharapkan akan mendatangkan kenyamanan, ketenangan dan kegembiraan. Interaksi aroma dengan stimulus otak akan menimbulkan suatu respon tertentu di tubuh.
“Orang kalau menghirup sesuatu yang wangi, itu akan merangsang beberapa saraf otaknya. tapi setiap orang berbeda beda, wewangian yang bisa merangsang saraf otaknya itu bisa berbeda beda. jadi dia lebih kepada bagaimana interaksi aroma dengan stimulus otak itu menimbulkan suatu respon tertentu di tubuh kita. Karena respon itu akan mendatangkan kenyamanan, ketenangan kegembiraan maka sangat menjadi hal yang wajar, lumrah kalau bukhur/dupa itu kita gunakan,” tambahnya.
Beragam cerita telah tersampaikan lewat dupa. Ada yang menganggap begitu sakral dalam peribadatan, sebagai wewangian penghantar doa hingga kepada bentuk-bentuk penghormatan pada Tuhan. Terlepas dari makna apapun yang ingin disampaikan, penggunaan dupa di Indonesia, khususnya Kota Pontianak tak lagi asing di setiap mata dan indera penciuman. Menjadi kota yang berisi multi agama dan keyakinan membuat bau dupa akan selalu tercium di seluruh penjuru kota sebagai simbol keberagaman dan persatuan.
Penulis: Dedek Putri Mufarroha dan Lulu Van Salimah
Editor: Yoga Indrawan
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanXXVI