mimbaruntan.com, Untan – Berdasarkan pantauan citra google earth engine dari situs web siar.or.id, luas hutan primer di Kalimantan Barat 20 tahun terakhir menunjukkan perubahan yang signifikan. Tutupan hutan yang semula seluas 13.021.344 Ha pada tahun 2000, tersisa menjadi 4.930.717 Ha pada tahun 2022. Aktivitas manusia menjadi salah satu faktor berkurangnya tutupan lahan di Kalbar seperti praktik Kebakaran Hutan dan Lahan atau Karhutla.
Karhutla dapat bermuara pada menurunnya kualitas udara seperti yang terjadi saat ini. Menurut data dari aplikasi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Net per bulan Agustus, konsentrasi partikulat materi (PM 2.5) di Pontianak menunjukkan nilai sebesar 247. Angka ini mengindikasikan bahwa kualitas udara ‘Sangat Tidak Sehat’ dan tingkat polusi udara yang sangat serius. Hal ini dapat mengganggu pernapasan dan berpotensi menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Baca Juga: Bahasan Lingkungan Hidup Jadi Topik Pinggiran Debat Pilpres 2024.
Berangkat dari keresahan tersebut, berbagai kelompok aktivis lingkungan seperti Tim Cegah Alam Greenpeace (TCA Greenpeace), Extinction Rebellion Pontianak (XR Pontianak), Kader Hijau Muhammadiyah Kalbar (KHM Kalbar), dan Pejuang Pelestarian Alam berkolaborasi pada Parade Global Climate Strike yang bertajuk ‘Parade Oligarki’. Parade ini digelar pada Minggu (22/09) di Car Free Day Jalan A. Yani Pontianak.
Salah satu tuntutan dalam parade ini adalah ‘Hentikan pembakaran hutan dan lahan’. Bimpi Permata Restu, partisipan dari TCA Greenpeace menyebutkan isu tersebut diangkat dalam parade ini sebab kasus Karhutla yang masih marak terjadi di Kalbar dan berdampak langsung pada aktivitas masyarakat.
“Dampak langsung di Pontianak yaitu asap, kebakaran lahan berdampak pada aktivitas warga kampung langsung. Seperti mereka bertanam atau segala macam. Selain itu, karbon dioksidanya tuh paling dan sangat berdampak. Karena itu sekali kita hirup bakalan menyebabkan penyakit ISPA,” jelas Bimpi.
Untuk itu, Bimbi berharap agar pemerintah lebih tegas dalam menegakkan hukum, terutama dalam isu Karhutla yang terjadi tiap tahun di Kalbar.
“Harapan kita paling besar ya mungkin pemerintah harus lebih aware ataupun lebih respon tentang perusahaan-perusahaan ataupun orang-orang yang membakar hutan ataupun lahan gambut secara sengaja,” pungkasnya.
Senada dengan hal tersebut, partisipan dari XR Nasional, Anang Maulana turut meminta ketegasan pemerintah dalam penggunaan energi. Menurutnya, pemerintah saat ini cenderung mendorong praktik-praktik energi kotor dibandingkan energi terbarukan.
“Hutan-hutan di Kalimantan sudah pada habis, terus energi-energi terbarukan tidak digunakan dengan maksimal, malah energi tenaga nuklir. Terus batubara itu yang masif dulu itu yang kita dorong pemerintah bahwasannya energi nuklir dan batubara itu energi kotor,” tegas Anang.
Anang juga menyampaikan bahwa dalam krisis lingkungan seperti ini, semua aspek kehidupan terdampak. Oleh karena itu, penting bagi anak-anak muda untuk turut menyuarakan kepedulian mereka. Sebab, jika suara mereka didengar oleh pemerintah, semua orang akan merasakan manfaatnya.
Baca Juga: Mimpi Liar dan Kutukan Berduri
“Dari krisis lingkungan ini, semua aspek itu terdampak. Tapi nelayan sama petani mereka mikir makan. Seharusnya kawan-kawan yang harus bersuara, menyuarakan juga petani. Mungkin juga kawan petani bisa menyuarakan, tapi mereka tuh kesibukannya dari situ cari makan dan gak sempat buat menyuarakan sendiri. Nah, kita sebagai anak-anak muda tuh apa sih salahnya kita meluangkan waktu 1-2 jam. Pada akhirnya, kalau ini didengar pemerintah juga kalian juga yang merasakan,” jelasnya.
Parade ini menunjukkan kekuatan aksi kolektif dalam menghadapi perubahan iklim, namun perjuangan yang dilakukan tidak hanya berhenti di sini. Setiap individu dapat memulai dengan mencari tahu informasi tentang lingkungan dan menyuarakan kepedulian kepada pemerintah setempat.
Penulis: Artika
Editor: Dita
Sumber:
https://siar.or.id/2023/09/19/faktor-penyebab-perubahan-angka-tutupan-hutan-di-kalbar/