mimbaruntan.com, Untan – Kasus pelecehan seksual seringkali terjadi di lingkungan sekitar. Tindakan tersebut merupakan hal yang tidak pantas dan termasuk kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pelecehan seksual bukan hanya berupa kekerasan seksual, akan tetapi juga bisa berupa pelecehan verbal, yakni meremehkan korbannya menggunakan lisan.
Banyak orang di luar sana beranggapan bahwa pelecehan seksual hanya berupa pemerkosaan, memegang area sensitif orang lain, dan sejenisnya. Padahal, tanpa mereka sadari, perbuatan seperti melakukan catcalling, memberikan lelucon kotor seksi, dan sejenisnya juga merupakan bentuk pelecehan seksual.
Saat ini, di media sosial banyak beredar kata-kata yang sering dianggap remeh, namun sebenarnya merupakan bentuk pelecehan terhadap perempuan. Kata-kata seperti “tobrut”, “ceker babat”, “logo Tesla”, dan sebagainya sering ditemui di berbagai platform. Mirisnya, istilah-istilah tersebut hanya dianggap sebagai lelucon, bahkan ada yang menganggapnya sebagai pujian bagi perempuan dengan postur tubuh tertentu.
Baca Juga: Relevansi Budaya Feminisme dan Pemberdayaan Kaum Perempuan
Sayangnya, fenomena ini jarang dikritisi sehingga semakin menormalisasi perilaku tersebut. Akibatnya, para pelaku pelecehan merasa bahwa tindakan mereka wajar dan terus menjadikannya bahan hiburan. Situasi ini memperkuat budaya yang tidak menghargai perempuan dan mengabaikan dampak negatif dari komentar semacam itu.
Pelecehan verbal terhadap perempuan, yang sering kali dianggap sebagai lelucon, dapat memberikan dampak buruk bagi para korban. Banyak dari mereka mengalami gangguan mental, kehilangan rasa percaya diri, hingga trauma akibat pelecehan tersebut. Jika pelecehan verbal terus dinormalisasi, jumlah korban akan semakin bertambah, dan mereka yang sudah menjadi korban bisa semakin terpuruk. Akibatnya, korban mungkin enggan melapor atau berbicara, karena merasa bahwa tindakan tersebut dianggap wajar dan orang-orang di sekitar mereka cenderung mengabaikannya. Hal ini membuat korban semakin menutup diri dan berisiko mengalami keterpurukan yang lebih parah.
Normalisasi pelecehan verbal juga memiliki dampak buruk bagi penyintas kekerasan seksual. Penyintas yang sedang berusaha berdamai dengan masa lalunya dapat kembali merasa tidak aman akibat komentar-komentar verbal yang tidak pantas. Hal ini dapat membangkitkan ketakutan lama mereka dan menghambat proses pemulihan yang sudah mereka perjuangkan.
Media sosial, yang seharusnya menjadi wadah untuk berbagi hal-hal bermanfaat, kini sering disalahgunakan sebagai tempat penyebaran konten vulgar dan pelecehan. Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar perilaku seperti ini tidak terus dianggap normal?
Baca Juga: Sosok Ayah dan Perjalanan Seorang Anak
Sebagai pengguna media sosial, kita bisa mengambil peran aktif untuk melawan pelecehan dengan cara sederhana namun berarti. Misalnya, kita bisa memberikan komentar yang mengkritisi tindakan pelecehan, memberikan dukungan kepada korban, dan menghindari ikut menyebarkan kata-kata yang berkonotasi merendahkan seperti “tobrut” atau istilah lainnya. Dengan langkah ini, pelaku akan merasa bahwa tindakan mereka tidak mendapat tempat.
Selain pengguna media sosial, masyarakat umum juga memiliki peran penting dalam mengubah kebiasaan yang merugikan ini. Menghindari catcalling, tidak merespons tindakan tersebut, dan menolak ikut dalam tren kata-kata yang mengandung pelecehan adalah langkah kecil namun signifikan untuk menciptakan perubahan. Kita juga harus mengingatkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar bahwa menghormati hak asasi manusia, menjaga perasaan, dan memberikan rasa aman kepada orang lain, terutama perempuan, adalah hal yang sangat penting.
Pelecehan seksual, baik secara verbal maupun fisik, tidak boleh dianggap remeh apalagi dijadikan bahan lelucon. Setiap kata atau tindakan yang merendahkan bisa meninggalkan luka mendalam pada korban, bahkan memengaruhi kesehatan mental mereka. Mari kita mulai menciptakan lingkungan yang lebih baik, dengan berhenti menormalisasi candaan yang melecehkan dan menggantinya dengan sikap yang penuh empati serta penghormatan terhadap sesama.
Penulis: Dhini