mimbaruntan.com, Untan – Perempuan itu, yang menjadi pelaku pembunuhan ayah kandungnya, mengajukan satu permintaan terakhir sebelum menghadapi hukuman mati. Ia ingin menceritakan kisah hidupnya di hadapan media, permintaan itu dikabulkan. Kini, ia berdiri lemah di bawah tiang gantungan. Tali yang menggantung di atas kepalanya seperti menanti waktu untuk menjalankan tugasnya, bersiap menjerat leher perempuan itu.
Di hadapannya, jurnalis dari berbagai media telah siap dengan kamera dan buku catatan di tangan. Waktu yang dimilikinya sangat terbatas. Tanpa ingin menyia-nyiakan sedetik pun, ia mulai menyampaikan kisahnya.
Perempuan itu bernama Zainab, anak sulung dari empat belas bersaudara, sebagian besar di antaranya adalah perempuan. Keluarganya hidup dalam kemiskinan di kota Lahore. Ayahnya, seorang tabib yang kehilangan pamor akibat meningkatnya popularitas dokter modern, menjadi pusat dari berbagai kesulitan keluarga.
Keadaan ekonomi yang mencekik semakin diperburuk oleh perilaku abusif sang ayah. Kekerasan dan tekanan yang terus-menerus menciptakan serangkaian tragedi dalam kehidupan keluarga mereka, hingga akhirnya semua berujung pada pembunuhan sang ayah yang dilakukan oleh Zainab
Itu adalah sinopsis dari film Bol, sebuah film Pakistan yang disutradarai oleh Shoaib Mansoor dan dirilis pada tahun 2011. Kata Bol berasal dari Bahasa Urdu, yang berarti “Bicaralah.” Judul ini dipilih karena cerita dalam film ini mengalir dari kata-kata Zainab, yang diungkapkan pada penghujung hidupnya. Kisah tersebut menjadi jantung narasi, menyuarakan pergulatan dan tragedi yang dialami Zainab dan keluarganya.
Baca Juga: Review Film Exhuma: Sang Iblis akan Bangkit
Film Bol lahir dari kolaborasi antara Shoman Production rumah produksi milik Shoaib Mansoor dengan John Hopkins University Center for Communication Programs (JHU, CCP). Kolaborasi ini merupakan bagian dari proyek PAIMAN (Pakistan Initiative for Mothers and Newborns), yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan ibu dan anak, isu-isu gender, serta program keluarga berencana.
Isu-isu tersebut disampaikan dengan kuat melalui kisah keluarga Zainab dan tragedi yang melanda mereka. Film ini juga menyoroti kekerasan terhadap perempuan yang terjadi akibat budaya patriarki yang mengakar di masyarakat Pakistan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Zainab adalah anak sulung dari empat belas bersaudara, yang hampir semuanya perempuan. Ayahnya, Syafatullah Khan, terus memaksa istrinya untuk hamil dengan harapan mendapatkan anak laki-laki. Namun, harapan itu tidak pernah terwujud. Meski demikian, Syafatullah tidak berhenti mencoba, tanpa menyadari bahwa jumlah anak yang terus bertambah justru memperburuk kondisi ekonomi keluarga mereka yang sudah tercekik kemiskinan.
Obsesi Syafatullah terhadap anak laki-laki mencerminkan realitas budaya patriarki yang mengakar kuat di Pakistan. Dilansir dari Daily Times, banyak orang tua di Pakistan menganggap anak laki-laki lebih bernilai karena dianggap lebih mampu menjadi tulang punggung keluarga. Selain itu, anak laki-laki dianggap sebagai “investasi” yang akan tinggal bersama orang tua dan merawat mereka di hari tua. Sebaliknya, anak perempuan sering dianggap sebagai beban karena setelah menikah mereka akan tinggal bersama keluarga suami dan memakai nama keluarga suaminya, sehingga dianggap tidak dapat mempertahankan nama keluarga.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Zainab adalah anak sulung dari empat belas bersaudara, yang hampir semuanya perempuan. Ayahnya, Syafatullah Khan, terus memaksa istrinya untuk hamil dengan harapan mendapatkan anak laki-laki. Namun, harapan itu tidak pernah terwujud. Meski demikian, Syafatullah tidak berhenti mencoba, tanpa menyadari bahwa jumlah anak yang terus bertambah justru memperburuk kondisi ekonomi keluarga mereka yang sudah tercekik kemiskinan.
Obsesi Syafatullah terhadap anak laki-laki mencerminkan realitas budaya patriarki yang mengakar kuat di Pakistan. Dilansir dari Daily Times, banyak orang tua di Pakistan menganggap anak laki-laki lebih bernilai karena dianggap lebih mampu menjadi tulang punggung keluarga. Selain itu, anak laki-laki dianggap sebagai “investasi” yang akan tinggal bersama orang tua dan merawat mereka di hari tua. Sebaliknya, anak perempuan sering dianggap sebagai beban karena setelah menikah mereka akan tinggal bersama keluarga suami dan memakai nama keluarga suaminya, sehingga dianggap tidak dapat mempertahankan nama keluarga.
Pernikahan paksa menjadi salah satu topik yang diangkat dalam film ini, dengan Zainab sebagai salah satu korbannya. Pernikahan paksa adalah pernikahan yang terjadi atas tekanan pihak ketiga, di mana pengantin tidak memiliki hak untuk menolak. Praktik ini marak di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Pakistan.
Di Pakistan, salah satu alasan utama orang tua memaksa anaknya menikah adalah faktor ekonomi. Mereka menganggap pernikahan sebagai cara memperbaiki kondisi finansial keluarga. Jika seorang anak perempuan menikah dengan pria yang lebih mapan, kehidupannya dianggap terjamin, sementara keluarganya mendapat keuntungan dari berkurangnya tanggungan ekonomi (Batool et al., 2023).
Orang tua Zainab terpaksa menikahkannya karena tekanan ekonomi yang semakin berat, bahkan hingga kesulitan memberi makan anak-anak mereka. Namun, pernikahan tersebut justru membawa bencana. Zainab menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena tidak kunjung hamil.
Pernikahan paksa menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan. Dalam situasi ini, perempuan sering menjadi korban KDRT dan marital rape, karena posisi mereka dianggap lebih lemah. Ketiadaan akses terhadap pendidikan dan ekonomi membuat perempuan sulit melawan, sementara budaya patriarki memperkuat dominasi laki-laki dengan menuntut perempuan untuk selalu tunduk pada suami.
Kekerasan domestik adalah masalah serius yang dihadapi perempuan di Pakistan, dengan sekitar 80 persen perempuan menjadi korban. Pada tahun 2009, terdapat 608 kasus kekerasan domestik yang tercatat, namun jumlah ini diyakini jauh lebih besar karena banyak korban enggan melapor (Hadi, 2017).
Di Indonesia, kekerasan domestik juga menjadi ancaman serius. Data Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu) 2020 mencatat 3.221 kasus KDRT dari total 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan, menjadikannya jenis kekerasan yang paling dominan. Data Sistem Informasi Online (SIMFONI) juga menunjukkan bahwa mayoritas kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga, dengan suami sebagai pelaku utama.
Rumah Zainab pun tidak lepas dari kekerasan domestik. Sebagai kepala keluarga, Syafatullah memiliki kendali penuh karena istri dan anak-anaknya tidak memiliki akses pendidikan maupun penghasilan, membuat mereka bergantung sepenuhnya padanya. Dominasi ini sering disalahgunakan untuk melakukan kekerasan. Zainab beberapa kali dipukul karena berani membantah, dan ibunya pernah ditendang hanya karena melayangkan protes. Selain kekerasan fisik, Syafatullah kerap melakukan kekerasan verbal melalui ancaman, intimidasi, dan ucapan yang merendahkan.
Apa yang tertulis di atas menggambarkan ironi besar perempuan tidak bisa merasa aman bahkan di rumahnya sendiri, bersama orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat berlindung. Ini adalah masalah serius yang harus menjadi perhatian kita semua.
Baca Juga: Resensi Buku: Kota Pontianak Doeloe-Kini-Mendatang
Selain kekerasan terhadap perempuan, film Bol juga menyoroti kekerasan terhadap interseks. Karakter interseks dalam film ini adalah Saifuddin, adik bungsu Zainab. Saifuddin berkali-kali menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Sebagai penganut Islam konservatif, Syafatullah memandang gender Saifuddin sebagai sesuatu yang menjijikkan dan tidak normal. Dalam keyakinannya, haram bagi laki-laki menyerupai perempuan, dan sebaliknya. Pada akhirnya, Saifuddin dibunuh oleh ayahnya sendiri karena dianggap sebagai pembawa aib.
Tindakan Syafatullah ini mencerminkan fenomena honor killing yang kerap terjadi di Pakistan. Kebanyakan korban praktik ini adalah perempuan, tetapi di film ini, korban adalah seorang interseks. Syafatullah merasa tindakannya benar demi “kehormatan” keluarga, meskipun Tuhanlah yang menciptakan Saifuddin seperti itu—sebuah ironi yang menyayat hati.
Film ini mengangkat isu-isu serius dengan pendekatan yang menarik melalui kisah sebuah keluarga. Keluarga, sebagai komunitas terdekat dalam hidup, membuat penonton terhubung secara emosional. Saya pribadi tergerak untuk merenung bagaimana jika tragedi seperti ini terjadi di keluarga saya? Perasaan takut dan prihatin ini membuat saya semakin menghargai cara sang sutradara menyampaikan pesan pentingnya
Penggambaran tokoh perempuan dalam film Bol patut diacungi jempol. Para perempuan, terutama Zainab, digambarkan berani bersuara dan memprotes ketidakadilan yang mereka alami. Mereka menolak tunduk pada sistem patriarki yang terus menekan mereka.
Akting para pemainnya juga luar biasa. Manzar Sehbai sebagai Syafatullah berhasil memancing rasa jengkel penonton, sementara Humaima Malik memerankan Zainab dengan sangat kuat. Ekspresi dan penyampaian dialognya begitu emosional, membuat penonton tergerak untuk ikut melawan ketidakadilan.
Selain akting, alur cerita, dialog, dan penggambaran kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah di Pakistan patut diapresiasi. Dialog-dialognya menyentuh logika dan perasaan, sementara alurnya mampu menyisipkan isu-isu sensitif dalam sebuah drama yang menarik. Setting-nya yang menggambarkan lingkungan padat dan sesak di Lahore memberi gambaran realistis tentang kehidupan masyarakat menengah ke bawah.
Film ini diakhiri dengan pernyataan Zainab yang tajam, mengapa hanya pembunuhan yang dianggap kriminal, sementara melahirkan anak tanpa merawatnya tidak? Meski suaranya tak menyelamatkan hidupnya, kata-katanya berhasil menyentuh dan menggerakkan banyak hati. Karena itu, bicaralah!
Penulis: Artika
Sumber:
Batool, S., Waqas, M., & Khurshid, A. (2023). Causes And Impacts Of Forced Marriages In Pakistan ( A Case Study Of District Mandi Bahauddin , Punjab ,. 7(5), 559–565.
Hadi, A. (2017). Patriarchy and Gender-Based Violence in Pakistan. European Journal of Social Sciences Education and Research, 10(2), 297. https://doi.org/10.26417/ejser.v10i2.p297-304
https://dailytimes.com.pk/604711/why-pakistani-mothers-yearn-to-have-a-male-child
https://nasional.kompas.com/read/2012/06/13/11002530/~Ibu%20&%20Anak~Seputar%20Kehamilan
https://ykp.or.id/kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-jenis-dan-cara-melaporkannya/