Dalam cerita masyarakat Tionghoa terdapat kepercayaan begitu melegenda yakni mengenai arwah leluhur berwujud dewa memasuki ke dalam tubuh manusia. Hal ini perlu adanya medium manusia supaya bisa dirasuki untuk menjadi mediator antara dunia manusia dan alam ghaib. Suku Hakka menyebut itu adalah sebagai Tatung, sementara itu, definisi Tatung secara harfiah yaitu manusia yang bisa dirasuki oleh roh leluhur atau dewa ini merupakan suatu kepercayaan dalam tradisi masyarakat Tionghoa di Singkawang dan juga di Pontianak.
Tidak jarang ketika perayaan Cap Go Meh atau hari spesial yang ada di Pekong/Klenteng, selalu menemui Tatung dengan atraksinya yang berupa unsur supranatural dan kekebalan tubuh dalam kondisi kerasukan. Biasanya seorang Tatung mengenakan kostum tradisional khas yang bisa berupa kostum bergaya masyarakat Tionghoa atau Dayak. Maka dari permainan Tatung ini pun juga ada kaitannya dengan suku Dayak karena perbenturan kedua peradaban yang saling berkaitan di Kalimantan Barat.
Dilansir dari Antara.com, tidak sembarangan orang bisa menjadi seorang Tatung, melainkan kemampuan itu harus dimiliki melalui keturunan. Dimana seseorang menjadi Tatung itu telah ditakdirkan sejak lahir atau mendapatkan ‘panggilan’ dalam perjalanan hidupnya. Tua, muda, pria wanita tidak bisa menolak panggilan’ ketika sudah datang dan kedatangan Tatung untuk pertama kali masuk kedalam tubuh manusia ini tidak bisa diprediksi dan bisa secara tiba-tiba.
Dibalik Tradisi Tatung dan Makna Spiritualitas
Keteguhan masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat dalam memegang tradisi ini, selalu memberikan ciri khas dari identitas etnis itu sendiri dengan memberikan kesan spiritual akan mistis yang bisa dirasakan. Apalagi membicarakan Tatung atau disebut Sin Min atau Lauya yang turun ke jalan maupun ke kelenteng lainnya dengan diiringi gendang dan pembakaran dupa yang tidak putus-putusnya.
Rudy Leonard, Ketua Yayasan Tatung Konghucu Indonesia (TAKIN) cabang Pontianak, mengatakan bahwa Tatung ini sejatinya berasal dari keyakinan Taoisme yang merupakan ajaran untuk manusia yang ‘diakhlakan’ karena setiap manusia di dunia diyakini oleh setiap penganutnya itu telah rusak dan perlu kebijaksanaan.
“Asalnya Taoisme dan memang Tatung ini dilakukan dengan penuh kebijaksanaan untuk membantu umat manusia, sesuai toh dengan ajaran ini, tetapi ada juga berkolaborasi dengan ajaran Konghucu sama-sama mengajar kebijaksanaan, makanya di altar itu bisa dibilang merupakan bagian dari ajaran Konghucu,” jelas Leonard.
Selain itu, ada kemungkinan roh-roh yang memasuki tubuh manusia sejatinya sudah mencapai pencerahan/kebijaksanaan maka dari itu juga mereka mendapat gelar Dewa/Dewi dan ditugaskan untuk membantu umat manusia di Dunia. Idealnya disebut sebagai Tatung, tetapi kalau di dalam bahasa Indonesia disebut pula ‘Sarung’, dimana Leonard mengungkapkan mengenai sarung yang artinya roh dewa itu meminjam badan manusia.
Kendati, Leonard juga melihat perbedaan untuk zaman masa sekarang mengenai Tatung ini sendiri, dimana zaman sekarang pada akhirnya digunakan sebagai profesi yang diandalkan dan banyak atraksi-atraksi Tatung ini digunakan bermacam-macam dan hanya digunakan untuk memperagakan kehebatan. Tetapi zaman dulu tidak sedemikian, sesuai definisinya sendiri bahwa Tatung itu mempunyai makna spiritualitas hanya bertujuan mengobati manusia yang sakit-sakitan dan mengusir roh jahat.
“Kita melihat 20 tahun belakang, jarang ada namanya Tatung itu dilakukan secara arak-arakan dengan atraksi yang terlalu bermacam, selain itu tradisi dan keberadaan orang Tionghoa dibatasi zaman Soeharto, tetapi sebelumnya itu jarang ada yang begituan, paling tidak arak-arakan di Kelenteng aja dan dapat dikatakan Tatung masa itu murni dan tidak ada intervensi lainnya” ungkapnya.
Sementara itu ada juga Sutardi yang sebagai ketua Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin), juga menyampaikan arti Tatung itu sendiri menurut keyakinan Konghuchu. Dimana Sutardi menyebutkan pada masa itu terdapat cerita rakyat mengenai Tatung yang datang untuk mengusir roh jahat dan mengobati.
“Ada cerita rakyat, jadi gini dulu di Tiongkok ada sebuah wabah penyakit yang begitu ganas dan kala itu belum ada dokter. Orang-orang kita ini harus berobat ke Tabib atau Dukun yang menggunakan cara tradisional dengan cara gaib sebagai perantara. Nah asal muasal Tatung ada disitu mereka mengadakan ritual tolak bala dan ini dilakukan pada hari ke lima belas Imlek. Akhirnya wabah penyakit bisa diatasi dan mereka sembuh,” jelasnya.
Tatung dalam perkembangan saat ini, Sutardi mengatakan hampir memang Tatung dijadikan profesi dan Ia juga menyebutkan orang yang menjadi Tatung itu tidak semena-mena yang dapat dikatakan sejatinya orang-orang yang dipilih oleh roh-roh untuk masuk ke tubuhnya dan ini disebut pula ‘Kim Shin’.
“Yang masuk tubuhnya ini dinamakan Kimshin nah sementara yang Tatung ini disebut bagian prosesinya, sebenarnya kita lebih menyebut barang itu Kimshin karena badan dipinjam. Maka dari itu jadi Tatung ini tidak pula sembarangan, kebanyakan asal dari keturunan dan ada pula yang belajar sendiri,” paparnya.
Mengenai suku Dayak terdapat di setiap altar-altar Dewa disisinya pasti ada altar khusus dan bernuansa Dayak, sehingga banyak dikenal dengan ‘Datuk, Panglima atau Nek’. Melihat pengamatannya ini, Sutardi menjelaskannya dan berdasarkan dengan teori masa sekarang ini, ketika Tatungnya suku Dayak ini biasanya disebut ‘Kaharingan’.
“Tidak begitu jelas mengapa itu bisa terjadi, tetapi ada sebutannya Kaharingan, jadi untuk prosesinya tentu sama dan hanya pakaian saja yang berbeda, kita melihat orang Dayak ini memang ada kemiripan dengan orang Tionghoa itu sendiri, kemungkin terbesarnya adalah sama-sama keturunan Mongoloid, bisa jadi begitu atau juga ada kemiripan Dayak dengan suku Miao di pulau Hainan, Tiongkok,” ujarnya.
Manusia Pilihan Dewa
Achiang seorang Tatung wanita menceritakan bagaimana awal mula ia dirasuki oleh roh leluhur yang berwujud Dewi Guanyin (Dewi belas kasih dan welas asih pelindung para pelaut dan nelayan). Sebelum dirasuki, saat berusia 12 tahun ia pernah demam dan sakit-sakitan sampai banyak orang mengira bakalan meninggal.
“Dulu pas masih kecil, mungkin berumur 12 tahun gitu yah, pernah sakit-sakitan bahkan demam dan pusing kepala sampai tidak bisa bangun dari kamar, ada kurang lebih 2 bulan dan hampir pasrah sama keadaan,” tutur Achiang saat duduk didekat altarnya yang sederhana tapi bermakna.
Dari sana juga ia sering bermimpi yang aneh-aneh dan seringkali melihat ada perwujudan seperti Dewi dan mulai mendengar ada bisikan untuk bisa masuk ke tubuhnya.
“Pernah dan saya langsung ketindihan akan hal itu, tapi saya ingat betul katanya bahwa jika dia masuk tubuhku maka sakit-sakitan itu bisa hilang dan akhirnya papa saya dulu mendengar ceritaku ini, langsung menyuruh saya puasa selama 100 hari tanpa makan daging dan sayuran hanya nasi putih dan air putih,” jelasnya.
Achiang pun menyakini bahwa ini adalah takdir yang tidak boleh lari dan harus menerima apalagi kondisi tubuhnya sudah sakit-sakitan. Saat ketika waktunya tiba, ia pun dirasuki secara tiba-tiba dari kamar dan saat dirasuki ia tertidur dan kemudian bermimpi dengan sosok Dewi Guanyin-nya sehingga meminta untuk menyebarkan kebaikan, kebajikan dan mengobati umat di bumi manusia dari roh-roh jahat.
“Jujur ketakutan sekali oooo, karena omongannya itu sangat nyata karena ngomongnya makai Bahasa Mandarin, betul-betul tidak ngerti tapi segala ritual dan prosesi dia yang jalankan dengan kesadaran saya yang hilang,” imbuhnya.
Usai peristiwa itu akhirnya ia kemudian seringkali ikut melakukan pengobatan dan pengusiran roh-roh jahat dirumah orang yang memintanya untuk mengusir bahkan seringkali orang-orang datang ke altarnya untuk meminta berkah. Saat cap go meh di Pontianak atau di Singkawang rajin untuk ikut melakukan atraksi Tatung yang selalu diadakan setiap tahun.
Selain dari Achiang, ada juga Afui seorang Tatung muda yang berusia 23 tahun. Awal mula ia mendapatkan Tatung itu saat dua tahun lalu tepatnya berusia 21 tahun, katanya itu adalah akibat keturunan karena buyut nya dulu pernah menjadi Tatung dan roh yang dirasuki itu sama.
“Roh yang masuk dalam diriku itu Cai He, dulu buyut saya pernah dapat dewa ini karena beliau waktu itu memiliki dewa terkuat cuma gak tau lah namanya, yang pasti itu dewa perang. Nah, awal mula saya dapat itu karena tiba-tiba saat lagi makan dan langsung saja keluar seperti orang gila dan kemudian datang paman ku yang juga bisa Tatung dan menerawang, bawah saya kerasukan dewa,” paparnya.
Sebelum dirasuki roh leluhur ini, ia menceritakan tanda-tanda dari tubuhnya yang mengantuk, agak mual dan badan kemudian merasa berat, sampai bawaan ingin tidur. Sehingga ini bisa dianggap sebagai salah satu tanda menjadi Tatung dan secara tidak sadar nanti berganti alih dan roh itu kemudian bergerak tanpa dia sadari.
“Nah, tubuh saya ini tiba-tiba bergerak sendiri dan ngomong bahasa Mandarin, untungnya saudara bisa menjadi pengawalku dan menuntun dewa Cai He ini melakukan prosesi nya,” ujarnya.
Selain itu, saat atraksi Tatung inipun ia juga melakukan naik tandu yang isinya banyak benda tajam atau biasanya saat cap go meh ia melakukan penusukan di mulutnya. Ia memberikan kesan pertama kali saat melakukan hal seperti itu.
“Kesan pertama pas cap go meh itu yang saya dapatkan itu ketika tusuk-tusuk ataupun naik tandu memang ada sedikit merasakan sakit dan rasa ada darah yang mengalir keluar banyak, tetapi uniknya itu tidak ada yang terjadi saat peristiwa, itu karena ini bergantung bagaimana cara kita menjalankan tradisi dan kita gak boleh ngomong kotor maka dari itu semuanya bisa berjalan lancar,” ungkapnya.
Selain, di altar itu juga terdapat banyak beragam dewa dewi yang terdapat dan juga ada Datuk atau disebut latok yang mirip karakteristik Dayak.
“Kalau itu, namanya Datuk Gagak Hitam, itu didapatkan tidak lama kedatangan Cai He, dimana saya bermimpi dan ketemu dia untuk ikut bersama menyertai kehidupanku. Konon ini sebenarnya roh yang sesat di jalan tetapi dibawa oleh dewa yang pertama kali masuk ke badan saya untuk membuat hal kebajikan dan kebaikan,” jelasnya sambil menunjukkan altar Datuk Gagak Hitam.
Ia mengatakan adanya budaya Dayak didalam altarnya tidak begitu jelas, tetapi ia pernah mendengar cerita dari pendahulunya, kenapa itu bisa terjadi karena terdapat kisah masa lalu orang Tionghoa dan Dayak. Meski mempunyai kesamaan pemahaman religi, hal ini ada kaitannya tentang kematian Panglima Perang Dayak masa lalu kemudian diarak-arakan oleh orang Tionghoa dengan menggunakan tradisi Tatung untuk menghormati kematian Panglima itu setelah berhasil dikalahkannya.
“Dengar cerita akung (kakek) saya dulu, katanya memang ada Panglima Besar dari kalangan Dayak itu terbunuh dalam perang dengan orang kita (Tionghoa), karena terbunuh, mereka kemudian melakukan ritual penghormatan dan arak-arakan karena terlanjur memenuhi pesan atau sumpah, ini mungkin awal mula mulai terhubungnya Tionghoa dan Dayak,” tambahnya.
Akulturasi Budaya Tionghoa dan Dayak dalam Tradisi Tatung
Fenomena mengenai Tatung yang dibaliknya terdapat budaya Dayaknya, seringkali terlihat saat Cap Go Me mendapatkan Tatung dengan memakai atribut Dayak yang layaknya seperti masyarakat Dayak saat melakukan gawai di Rumah Radakng. Hal ini kemudian, Reporter Mimbar Untan menjumpai Wakil Direktur Institut Dayakologi bernama Giring.
Giring memaknai Tatung dengan unsur-unsur Dayak yang terkandung didalamnya sesuai dengan kacamata antropologi, dimana ilmu tersebut tentu bersangkut paut kan dengan manusia. Karena sejatinya Tatung juga manusia dan tentu bagian kebudayaan Tionghoa terbesar.
“Fenomena yang ada dalam Tatung, ini bisa kita dasarkan dalam berbagai ekspresi kebudayaan dan agamanya yang terdapat banyak kesamaan-kesamaan. Jadi kita tahu kebanyakan dari wilayah banyak juga tradisi saling mengadopsi ya. Nah Dayak itu banyak yang mengadopsi atau mengambil atau kena akulturasi yang tadi menyerap satu misalnya kalau di Malaysia, di Sabah selalu ada tradisi makan concok yang kurang lebih mirip dengan disini,” jelasnya.
Pernyataan mengenai Tatung dengan unsur Dayak ini, tidak begitu jelas kapan awal mulanya terjadi. Tetapi Giring mengatakan ada kemungkinan hal ini didasarkan pada pengadopsian kebudayaan dan tradisi. Dimana orang Tionghoa yang kala itu disebut pendatang ada kemungkinan terbesar nya mengadopsi dan berakulturasi dengan kebudayaan Dayak.
“Yah ada sebuah momen dimana, orang Dayak itu punya kepercayaan satu, hubungan dia dengan religi, dengan Tuhan dan Alam. Sementara Tionghoa juga punya, yang lebih kepada dengan leluhurnya. Nah itu ketemu kelihatannya, ada kemiripan, ada kesamaan antara sakral juga itu,” ujarnya.
Hal ini sah-sah saja mengenai keterlibatan budaya Dayak didalam tradisi Tatung itu sendiri, karena mengingat akan keharmonisan dan memiliki hubungan jauh sejak dulu.
“Sejatinya juga ada pendekatannya karena melalui mantra-mantra yang terlihat ada juga menggunakan bahasa Dayak saat roh Dayak itu datang memakai tubuhnya,” jelasnya.
Menurutnya, Tatung ini banyak pula dimanfaatkan oleh kepentingan pemerintah daerah, sehingga seringkali kepentingan spiritualitas kepada leluhur dikesampingkan dan lebih kepada aktivitas politik-ekonomi ketika atraksi Tatung digunakan sebagai tempat pengunjung/turis luar negeri untuk melihat secara langsung.
“Apakah puluhan tahun kebelakang, Tatung ini memang digunakan kepentingan seperti gitu dari apa yang saya lihat dan apakah orang kami seperti Dayak, Melayu ataupun Jawa terlibat dalam spiritualitas ini, jadi berdasarkan kacamata saya ini lebih ke aktivitas politik-ekonomi yang digunakan oleh kepentingan pemerintah daerah,” ungkapnya.
Maka dari itu, Giring berharap tentang Tatung maupun unsur-unsur Dayak yang ada didalamnya itu harus betul dilakukan dengan penuh spiritualitas dan tidak serta merta digunakan untuk kepentingan soal keuntungan karena menarik wisatawan datang ketempat itu.
“Setelah reformasi kelihatannya banyak sekali keterbukaan, kemudian orang semakin bebas mengekspresikan kebudayaan umum diberi ruang kepada masyarakat untuk mengekspresikan reaksi budaya terlebih sekarang undang-undang pemajuan kebudayaan nomor 5 tahun 2017 itu undang-undang kebudayaan yang terletak di sebuah kubu bebas di ekspresikan di ruang-ruang umum apapun itu yang jelas memiliki nilai satu,” pungkasnya.
Penulis: Judirho
Editor: Yoga Indrawan
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi XXVII. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/TabloidMimbarUntanEdisiXXVII