“Kau terlalu berani Na, taruhannya bukan cuma pekerjaanmu lagi tapi nyawa.”
Kirana menggertakkan giginya, tentu saja kepalanya juga bagaikan beruap panas. Peringatan Reno ada benarnya, tapi perempuan itu tak pernah gentar, ia tak akan membiarkan ketakutannya hidup di atas rasa kemanusiaan.
“Aku gak bisa hidup digentayangi dosa menipu manusia, Ren.”
Perempuan itu bergegas keluar ruangan kerjanya, membawa tas selempang yang berisi barang-barang yang sebelumnya tersusun rapi di atas meja. Tidak semuanya, setidaknya yang penting dan milik pribadi sudah ia angkut semua. Perempuan itu memasang topi hitam miliknya, kemudian memasang wireless earphone di telinga. Langkah kakinya kian cepat, melangkah menaiki jembatan penyebrangan tanpa melihat anak tangga seperti ia sudah hafal rute itu diluar kepala.
Tiga puluh menit kemudian dirinya tiba di sebuah Hotel bintang lima—dimana acara mewah itu diselenggarakan, matanya selalu waspada terhadap sekitar juga terhadap penjaga-penjaga bertubuh kekar yang berada di depan pintu.
“Saya dari Media.”
Salah satu penjaga menyipitkan matanya, menatap Kirana dengan curiga. Ia memperhatikan tanda pengenal yang mengalung di leher sang gadis, cukup dikenali. “Masuk. Sebelah kiri.” Mungkin tak ada yang melihat, perempuan itu menyeringai puas kala dirinya lolos dari pencurigaan. Dirinya tak diperiksa banyak, mungkin saja karena tanda pengenal perusahaan yang masih mengalung di lehernya. Kirana meringis dalam hati, ia tahu ia berkhianat pada perusahaan namun setidaknya ia bersumpah tidak akan berkhianat pada rakyat.
Puluhan orang dari Pers sudah berkumpul, entah teman entah lawan. Manusia bobrok yang terbalut sampul terpuji itu akan mengadakan konferensi pers hari ini. Pria bau kretek dengan tubuh gempal itu dicanangkan akan maju ke RI 1, Kirana mengutuk pada semua orang di balik majunya pria itu. Bagaimana mereka bisa melupakan kejadian belasan tahun lalu, penghilangan bukti yang termasuk pembunuhan massal? Kirana tak akan lupa, Kirana menyimpan amarah.
“Hei, kalian dititipin pertanyaan apa? Besar juga modal beliau buat citra publik.”
Kirana mual mendengarnya, santai sekali manusia-manusia yang melabeli dirinya sebagai jurnalis itu. Miliaran uang digelontorkan hanya untuk membungkam pers dan membangun citra publik. Perempuan itu menepi, enggan bergabung dengan orang-orang yang sudah menjadi antek si pria bobrok itu.
Sekitar belasan menit menunggu konferensi pers akhirnya dimulai, kilatan kamera sudah saling bergantian memenuhi ruangan begitu pula dengan hiruk pikuk suara yang saling berdiskusi juga minta giliran bertanya.
“Bagaimana pendapat bapak tentang kubu lawan yang mengusung capres dari latar belakang militer?”
Pria bobrok itu terkekeh, “Ya tidak masalah, kita kembalikan lagi kepada suara rakyat.”
Mual. Sungguh mual. Kirana muak dengan topeng pria itu.
Pertanyaan-pertanyaan lain terlontarkan dari beberapa jurnalis, Kirana hanya menunggu waktu untuk bagiannya. Sedikit lagi, ketika durasi akan berakhir. Pandangan perempuan itu jatuh jauh di pojok ruangan, sosok wanita berusia empat puluhan berdiri di sana. Senyumannya lebar, bagai bangga dengan kerumunan yang tercipta. Itu pemimpin perusahaannya, wanita yang sebenarnya sudah menitipkan pertanyaan paling menjijikkan yang pernah Kirana terima.
Kirana mengangkat tangannya, ini akan menjadi puncak. Bagiannya dipersilahkan, seluruh mata tertuju padanya. Bukan tanpa alasan, Kirana cukup terkenal, dengan sifat pembangkangnya.
“Kejadian kebakaran di Kejaksaan Agung dua belas tahun lalu memakan belasan korban, kasus tersebut sempat menyeret nama bapak namun hilang tenggelam begitu saja. Bukankah anda harus membersihkan nama anda terlebih dahulu hingga tuntas sebelum maju ke pencalonan kursi RI 1?”
Suasana seketika hening, wajah pria tua itu mengeras. Pandangannya menatap Kirana bagai ingin memakan perempuan itu. Kegiatan itu dibubarkan seketika, sang gadis diseret begitu saja keluar ruangan oleh pria-pria bertubuh besar. “Berhenti, saya mau bicara dengannya.” Pria itu berhenti, melepaskan Kirana kepada perempuan paruh baya yang sebelumnya sudah ia kenali.
Sebuah tamparan melayang ke pipi kiri Kirana, panas sekali rasanya. Pandangan perempuan tua itu berapi-api, menatap Kirana dengan penuh rasa benci. “Kamu sadar apa yang kamu lakukan hah?! Kamu baru saja menjatuhkan nama perusahaan saya!”
Kirana tak gentar, dia menatap perempuan itu sama berapinya. “Saya melakukan apa yang menurut saya benar! Saya berpihak pada korban kejadian tersebut!”
“Tidak ada yang peduli lagi pada kejadian yang sudah berlalu selama dua belas tahun! Hanya kamu dan ambisimu!”
Kirana terkekeh, “Ambisi apa? Bukankah anda yang berambisi dengan uang miliaran itu? Bukankah anda yang berambisi dengan jabatan yang akan dibagikan?!”
Tubuh Kirana terhuyung ketika didorong dengan keras oleh wanita itu, “Kau akan hidup dalam bahaya Kirana, saya akan menyaksikan sendiri penderitaanmu.” Wanita itu menarik kasar tanda pengenal yang mengalung di leher Kirana, melemparkannya ke tempat sampah.
“Setidaknya saya menderita bersama mereka yang lebih dulu menderita dibanding saya. Saya juga akan menunggu waktu dimana saya akan menyaksikan keruntuhan kalian, para bajingan negeri ini.”
Kirana meninggalkan gedung itu dengan segera, dirinya tak lanjut diringkus saat ini entah kemungkinan ada di lain hari. Pandangannya nanar, menatap gedung yang hampir mencakar langit itu penuh kebencian.
Hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh. Kirana bersumpah, atas nama semua nyawa yang sudah berpulang bahwa ia akan kembali berusaha, sampai titik dimana ia menemui kata menyerah. Dan semoga, tidak akan pernah sampai.
Penulis: Mia