Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat yang dikenal sebagai Kota Khatulistiwa ini telah menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) pada 2023 lalu. Pontianak berhasil mendapat kategori Nindya dalam mengimplementasikan 5 klaster penilaian KLA, yakni pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak, hak anak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak anak atas kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak anak atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, serta hak anak atas perlindungan khusus. Namun di balik predikat ini, prostitusi anak di Kota Pontianak masih saja kerap didapat?
Pada tahun 2022 lalu, melalui aplikasi Mi Chat, sebuah aplikasi bertukar pesan, tempat yang teridentifikasi sebagai area praktik prostitusi, termasuk prostitusi anak, mencakup tempat terbuka seperti kawasan Alun-Alun Kapuas yang dikenal masyarakat Pontianak sebagai Korem, lorong pasar, dan pelabuhan. Selain itu, tempat tertutup seperti hotel-hotel tertentu, panti pijat dan spa, kafe, serta karaoke.
Data dari Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukan fasilitas-fasilitas umum seperti ini menjadi tempat kejadian terbanyak kasus kekerasan pada anak. Tercatat 41 korban mengalami kekerasan pada fasilitas umum seperti tempat penginapan dan hiburan.
Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat, Eka Nurhayati, membeberkan data di mana sebanyak 500 anak perempuan di Kota Pontianak diduga terlibat jaringan prostitusi online.
Masalah ini kembali mencuat pada tahun 2023 di mana belasan remaja, di antaranya di bawah umur, terjaring razia oleh Patroli Reaksi Cepat (PRC) Satuan Samapta Polda Kalbar di salah satu hotel bintang 3 di daerah Pontianak Selatan, dikabarkan terlibat dalam kasus prostitusi. Praktek ini dapat dijumpai di berbagai tempat, baik secara terselubung maupun terbuka, dengan pola transaksi yang sudah tersusun rapi. Modusnya mulai dari menjual diri hingga dijual oleh temannya.
Baca Juga: Melindungi Anak, Menjaga Etika: Refleksi Media di Hari Pemberitaan Sedunia
Penindakan Kasus Prostitusi Anak
KPAD dibantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Kepolisian untuk melakukan razia-razia ke hotel, kos-kosan, ataupun tempat-tempat yang mencurigakan. Penertiban ini menjadi upaya dalam menjaring kasus-kasus prostitusi anak.
Dalam penindakan yang dilakukan oleh kepolisian sendiri, AKP Sulastri selaku Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal atau Kasat Reskrim Kota Pontianak mengaku terkendala. Ia mengatakan dalam menentukan kasus prostitusi perlunya bukti yang jelas, mencakup bukti transaksi, identitas orang yang berperan sebagai perantara atau pemilik pekerja seks komersial yang biasa dikenal sebagai muncikari, ditambah lagi dengan korban yang tidak kooperatif, membuat kasus prostitusi anak sulit terungkap.
“Kalau sekarang rata-rata memang susah kita ungkap, karena buktinya harus jelas. Unsur eksploitasi ini agak rumit karena sekarang orang menggunakan Mi Chat. Kalau Mi Chat itu bisa langsung hilang. Nah, ini kendala kita juga, apalagi korbannya tidak kooperatif. Eksploitasi itu banyak sebenarnya, cuma pembuktiannya susah,” kata Sulastri.
Namun sayangnya, alih-alih mendapatkan rehabilitasi yang intensif, tindak lanjut penertiban berakhir dengan membayar denda.
Jonatan Simamora, selaku bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kota Pontianak, mengungkapkan bahwa proses pemulihan justru tidak berjalan. Anak-anak yang sudah terjaring razia oleh Satpol PP hanya akan dilakukan penitipan sementara sebelum dijemput oleh keluarga.
“Setiap temuan begitu Satpol PP yang mengamankan, lalu diberikan informasi tentang perundang-undangan dan lain-lainnya sebatas itu. 1 x 24 jam sudah dijemput keluarganya, hanya itu. Namanya penitipan sementara,” ungkap Jonatan (25/10/2024).
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Daerah Kota Pontianak No. 19 Tahun 2021. Pada pasal 39 ayat 2 berbunyi: “Setiap orang yang berlainan jenis dilarang berada di dalam ruangan tertutup di rumah kost, hotel/penginapan, dan sejenisnya tanpa ikatan pernikahan yang sah.”
Sanksi atas pelanggaran ini yaitu dikenai denda atau disebut “pembebanan biaya paksaan penegakan hukum” sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu.
Dewi Aripurnawati, salah satu penggiat anak di Kota Pontianak, turut membenarkan hal tersebut. Menurutnya, perda-perda seperti itu perlu ditinjau kembali sebab berbenturan dengan peraturan-peraturan di atasnya, terlebih jika sudah menyangkut anak dan tindakan asusila yang seharusnya diserahkan ke Kepolisian dan ditindaklanjuti oleh Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS yang sudah jelas mengatur jerat hukumnya.
Samar-Samar Rehabilitasi Kasus Prostitusi Anak
Tak hanya pada proses penindakan yang kerap selesai dengan membayar, fasilitas rehabilitasi sebagai upaya mengembalikan anak kepada masyarakat dengan mengembangkan kapabilitas dan tanggung jawab sosial anak serta keluarga agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar, tidak berjalan. Dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Program Rehabilitasi Sosial Anak (Progresa), tugas Rehabilitasi Sosial Anak dilaksanakan oleh Pekerja Sosial yang menjadi tanggung jawab Dinas Sosial, di mana salah satu sasarannya adalah anak yang memerlukan perlindungan khusus seperti anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.
Realitanya, tanggung jawab ini justru ditampik oleh Dinas Sosial Kota Pontianak. Pusat Layanan Anak Terpadu (PLAT), yang seharusnya menjadi tempat rehabilitasi kasus prostitusi anak, tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Muhammad Agribi, selaku Penyuluh Sosial Dinas Sosial Kota Pontianak, menjelaskan bahwa mulanya PLAT ditetapkan sebagai Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) untuk menangani anak berhadapan dengan hukum (ABH). Berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), pelaku ABH yang masih anak-anak harus ditempatkan di ruang khusus anak, yang menjadi tanggung jawab kepolisian. Jika kepolisian tidak memiliki fasilitas tersebut, pelaku akan ditempatkan di LPKS. PLAT sempat menangani kasus ABH, tetapi pengelolaannya dilakukan oleh pihak ketiga meskipun asetnya milik pemerintah Kota Pontianak. Namun, dengan diperbaruinya peraturan terkait SPPA melalui Permensos Nomor 26 Tahun 2019 tentang rehabilitasi sosial terhadap ABH, aturan ini mengharuskan LPKS ABH yang dikelola pemerintah untuk berbentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT). PLAT tidak memenuhi persyaratan tersebut, sehingga fungsinya dialihkan menjadi rumah singgah yang melayani empat standar pelayanan minimal (SPM). Pengalihan ini penting untuk menghindari ketidakobjektifan dalam penanganan ABH, karena sebelumnya pekerja sosial di PLAT menangani baik saksi dan korban maupun pelaku, yang bertentangan dengan aturan yang mengharuskan pelaku ABH ditangani oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
“Karena semisal tetap dilanjutkan, pertama itu menyalahi aturan dan juga Sumber Daya Manusia (SDM) yang diberdayakan di situ jatuhnya tidak objektif karena dia menangani saksi dan korban didampingi tapi pelakunya juga didampingi,” jelas Agribi (08/10/2024).
Baca Juga: Jalan Fisip-Faperta Tak Kunjung Diperbaiki, BUK Ungkap Terbentur Kebijakan Efisiensi
Selain Dinas Sosial, berdasarkan alur penanganan kasus KPAD, DP2KBP3A juga menjalankan fungsi rehabilitasi. Dinas ini lebih spesifik menangani rehabilitasi bagi korban anak perempuan.
Namun, dalam praktiknya pemerintah lebih fokus pada langkah preventif. Jonatan menjelaskan pemulihan bagi anak dalam kasus prostitusi sangat sulit karena menyangkut faktor ekonomi. Satu-satunya jalan adalah dengan memberikan wawasan kepada anak, salah satunya melalui sosialisasi. DP2KBP3A sendiri memiliki beberapa program yang secara tidak langsung menjadi bentuk pencegahan kasus prostitusi anak, seperti sosialisasi ke sekolah-sekolah dan Pusat Pelayanan Keluarga atau Puspaga. Program ini diperuntukkan kepada orang tua, yaitu dengan memberikan pengenalan akan seks, kesehatan reproduksi, dan kenakalan remaja.
“Yang bisa kita lakukan adalah pencegahan seperti sosialisasi tentang bahaya prostitusi online, seks bebas. Lalu ada program Puspaga tapi tidak khusus untuk anak tetapi kepada orang tua, karena keluarga sebagai garda terdepan,” jelasnya.
Dewi menjelaskan, seharusnya pemerintah mengkaji lebih dalam persoalan prostitusi anak. Selain proses hukum berjalan, latar belakang anak juga harus dipahami. Maka dari itu pemerintah tidak bisa menjalankan ini sendiri, perlu partisipasi semua elemen masyarakat untuk duduk bersama mencari solusi. Namun sayangnya hal ini tidak dilakukan, pemerintah seakan anti kritik jika dipaparkan dengan fakta-fakta miris.
Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya memiliki rasa empati dalam melakukan rehabilitasi terhadap para korban jika benar-benar ingin serius memulihkan mereka, demi menyelamatkan masa depan para korban.
“Saya sampaikan sebagai penggiat anak, Pontianak tidak layak untuk anak. Karena penegakan hukum babak belur, rehabilitasi pemerintah tidak ada sense of empathy kepada para korban. Padahal, rehabilitasi harus segera dilakukan agar masa depan mereka tidak hancur, faktanya itu tidak dilakukan. Kalau pemerintah masih menyalahkan pola asuh, lantas bagaimana? Apakah tidak bisa ambil peran untuk meluruskan kalau memang ingin melindungi kepentingan anak ini, ingin pemulihan anak ini? Lalu anggaran yang digelontorkan untuk apa, apakah menyentuh pada korban?” pungkasnya.
Penulis: Alfiyyah Ajeng Nurardita
Editor: Adi Rahmad
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Edisi XVII. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/MajalahMimbarUntanXVII