Aulia membuka aplikasi Instagramnya, mata tertuju pada layar ponsel yang terasa lebih berat dari biasanya. Setiap foto yang dia unggah sekarang seolah menjadi monumen kecil dari sebuah identitas yang tidak lagi dia kenali. Di dunia ini, dia adalah wajah yang muncul di antara ribuan gambar lainnya, saling bersaing untuk mendapatkan perhatian lebih dari sekadar likes.
Tapi Aulia bukanlah sekadar gambar. Bukan sekadar senyum, lipstik merah, atau postur tubuh yang tampak sempurna dengan latar belakang pantai yang berkilau. Sayangnya, dunia digital tidak melihatnya seperti itu.
Instagram adalah cermin besar yang mengelilinginya, mencerminkan bukan siapa dirinya, tetapi siapa yang ingin orang lain pikirkan tentang dirinya. Kadang, cermin itu terasa lebih seperti penjara, tempat di mana bayangan yang direfleksikan bukan milikmu, melainkan milik mereka yang menekan tombol “follow” dengan jari yang terbungkus keinginan untuk melihat “perempuan sempurna.”
“Kenapa aku harus selalu terlihat sempurna?” Aulia bergumam pada dirinya sendiri.
“Mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan siapa aku sebenarnya,” ucap Aulia sembari mengusap layar ponsel dengan jari yang terasa kaku.
Baca Juga: Hari Klub Wanita Internasional: Refleksi dan Kritik
Namun, cermin itu bisa juga mengubah, seiring dengan zaman. Jika layar itu adalah layar kaca yang memantulkan bayangan-bayangan dunia maya, maka Aulia mulai merasa tubuhnya bukan lagi miliknya. Dia hanya sebuah foto, sebuah pose, sebuah konten. Seiring berjalannya waktu, Aulia menyadari bahwa dia bukan lagi seorang manusia. Dia hanyalah sekeping pixel yang dikonsumsi begitu cepat, kemudian dilupakan begitu saja.
Saat komentar pertama datang “Kok keliatan gemuk ya di foto ini?” rasanya seperti benda tajam yang menghujam langsung ke dada. Setiap kata yang dia baca seolah mengikis sedikit demi sedikit rasa percaya dirinya.
“Kenapa mereka bisa begitu jahat?” gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. “Kenapa tubuhku harus selalu dikritik? Aku bukan objek untuk dilihat begitu saja.”
Satu komentar berubah menjadi puluhan, lalu ratusan. Tubuhnya dipertanyakan, ekspresinya dipermasalahkan, bahkan senyumannya pun tak pernah cukup. Semua yang dia buat di balik layar dianggap sebagai objek, bukan sebagai seorang perempuan dengan jiwa dan pikiran yang utuh. Tidak ada ruang untuk keraguan, tidak ada ruang untuk kesalahan. Seperti bayangan yang harus sempurna, tanpa cacat, tanpa garis yang retak.
Aulia merasa tubuhnya dipertaruhkan di atas standar kecantikan digital yang tak bisa dia kontrol. Di media sosial, dia adalah properti, bukan manusia. Begitu banyak pengikut yang memandangnya seperti barang yang bisa dibeli dengan like, komentar, atau share. Bagi mereka, ia hanya sebuah ilustrasi, gambar yang bisa mereka hargai atau cemooh sesuai keinginan mereka.
“Aku tak tahu lagi siapa aku dalam dunia ini,” kata Aulia dengan mata yang mulai berkaca-kaca, berbicara pada dirinya di depan cermin kamar. “Aku hanya ingin jadi diriku sendiri, tanpa harus menjadi apa yang mereka inginkan.”
Baca Juga: Rumah itu Terang
Di luar sana, di dunia nyata, dia adalah Aulia yang penuh mimpi, dengan ide dan ambisi yang lebih besar dari sekadar foto di Instagram. Tetapi di dunia digital, dia hanyalah bagian dari tren yang datang dan pergi begitu cepat.
Lalu, satu malam, ketika dia merasa seperti gelombang di lautan yang tak akan pernah tenang, dia memutuskan untuk menutup aplikasi itu untuk sementara. Bukannya melawan atau menghapus semua jejak digitalnya, Aulia memilih untuk bernafas.
“Tak perlu selalu ada di sana untuk orang lain,” dia berbisik pada dirinya sendiri. “Aku akan mencari jalan kembali ke diriku yang hilang.”
Setiap kali dia menatap layar, dia merasakan ada sesuatu yang hilang. Tapi saat dia menatap cermin yang lebih kecil, cermin yang ada di dalam dirinya tanpa filter, tanpa editan dia melihat dirinya kembali. Begitu sederhana, begitu nyata, tanpa ada jari yang menilai.
Dengan ketukan jari yang lebih pelan, dia mengunggah foto pertama yang tidak mengharapkan pujian atau kritik, hanya ingin berbagi siapa dirinya yang sesungguhnya. Tak ada senyum sempurna di sana, hanya matanya yang sedikit lelah, namun penuh makna. Itu adalah Aulia yang sebenarnya, seorang perempuan yang tak ingin lagi hanya menjadi objek yang harus dilihat dari sudut tertentu.
“Ini aku,” dia berkata pelan saat foto itu diposting. “Tak ada yang perlu aku sembunyikan lagi.”
Di dunia digital, cermin mungkin tak pernah benar-benar ada. Tapi dia tahu, di dunia yang lebih luas, cermin yang paling jujur adalah yang ada di dalam hati.
Penulis: Uis