mimbaruntan.com, Untan — Hari Buku Nasional seharusnya bukan hanya seremoni rutin yang penuh slogan manis. Ia harus jadi pengingat bahwa sejarah literasi kita penuh luka dan pembungkaman. Buku-buku yang dilarang itu mengajarkan satu hal penting: kebebasan berpikir selalu punya harga, dan keberanian melawan arus bukanlah dosa. Itulah sebabnya, di negeri ini, banyak buku yang lebih cepat dibredel ketimbang dibaca, semuanya pernah merasakan betapa kata-kata bisa dianggap lebih berbahaya dari senjata.
1. Tetralogi Buru

Tetralogi Buru merupakan sebuah karya sastra milik Pramoedya Ananta Toer, terdiri dari empat seri yakni; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Dikarenakan tetralogi ini dianggap memiliki paham ideologi yang bertentangan dengan ideologi rezim pada masa itu, buku-buku Pramoedya yang banyak membahas kondisi sosial dan politik Indonesia berakhir mendapat larangan beredar dan pembatasan terutama di era orde baru.
Baca Juga: Menjelajah Waktu Temani Hari Liburmu
2. Di Bawah Lentera Merah

Buku ini merupakan sebuah karya milik Soe Hoek Gie yang didalamnya banyak membahas babak krusial dalam perjalanan bangsa Indonesia, ketika semangat kebangsaan mulai tumbuh lewat aktivitas berorganisasi. Lewat narasinya, Gie mengajak pembaca menyusuri ulang jejak-jejak pergerakan nasional di masa 1917-1920-an, sekaligus menghidupkan lagi bara perjuangan yang berhaluan kiri. Buku ini sempat ditarik peredarannya oleh kejaksaan agung pada tahun 1991, namun saat ini sudah kembali beredar dan menjadi bacaan para mahasiswa.
3. Indonesia Di Bawah Sepatu Lars

Indonesia di Bawah Sepatu Lars merupakan karya Sukamdani Indro Tjahjono, seorang intelektual dan penulis Indonesia. Buku ini diterbitkan pada tahun 1967, dan menyajikan telaah kritis terhadap situasi politik dan sosial Indonesia pada masa itu, dengan fokus pada dominasi militer dan warisan kolonialisme yang masih menekan kehidupan masyarakat.
Istilah sepatu lars dalam judulnya menggambarkan simbol kekuasaan militer Belanda yang menindas hak serta kebebasan rakyat Indonesia. Karena kandungannya yang memuat kritik tajam terhadap dominasi militer dan kolonialisme, buku ini sempat dilarang peredarannya di Indonesia dengan dalih menjaga kestabilan politik pada masa pemerintahan orde baru Soeharto.
Baca Juga: Thrifting, Tren yang Kian Populer di Kalangan Mahasiswa Pontianak
4. Demokrasi Kita

Pertama kali terbit pada 1959, Demokrasi Kita ditulis oleh Mohammad Hatta, salah satu bapak bangsa dan wakil presiden pertama Indonesia. Buku ini memuat pemikiran Hatta tentang nilai-nilai demokrasi dan penerapannya di tanah air, serta menggali berbagai aspek penting seperti peran lembaga negara, hak-hak warga, dan tanggung jawab pemerintah.
Melalui buku ini, Hatta juga menyampaikan kritiknya terhadap kekurangan sistem demokrasi yang berjalan, seraya menawarkan gagasan untuk memperkuat demokrasi agar lebih mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Buku ini sempat dilarang beredar oleh penguasa militer pada 1960 karena dianggap berisi kritik atas kebijakan Presiden Soekarno yang dinilai otoriter.
Pada akhirnya, buku bukan hanya menyimpan cerita, tapi menyimpan daya ledak gagasan. Buku mampu mengguncang keyakinan lama, membongkar kemapanan, dan menyalakan api perubahan di kepala siapa saja yang membacanya. Itulah mengapa buku selalu jadi ancaman bagi kekuasaan yang takut pada perubahan. Karena di tangan pembaca yang berani berpikir, buku bisa menjadi alat paling ampuh untuk mengubah bukan hanya cara pandang, tapi juga kenyataan.
Penulis: Mia