mimbaruntan.com, Untan – Sebuah palang otomatis tampak berdiri tegak di setiap pintu masuk menuju kawasan Gedung Konferensi dan Perpustakaan Pusat Universitas Tanjungpura (Untan). Di tengah suasana itu, mahasiswa dan dosen tampak bergantian mengambil tiket dari mesin untuk bisa masuk ke area parkir.
Pemandangan itu sekilas memperlihatkan wajah kampus yang tertib dan modern. Namun di balik sistem parkir yang diklaim sebagai inovasi digital tersebut, muncul berbagai suara keberatan dari mahasiswa. Mereka menilai kebijakan Smart Parking tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan mahasiswa, bahkan mulai menyeret kampus ke arah komersialisasi ruang akademik.
Kebijakan Smart Parking yang sudah diberlakukan sejak 11 Agustus lalu, ternyata tidak sepenuhnya dijalankan secara otoritas oleh pihak universitas. Mela Melinda, admin di sistem Untan Smart Parking, mengungkapkan bahwa pengelolaan sistem ini diserahkan kepada pihak swasta dari luar kampus.
“Smart Parking bukan langsung dikelola Untan. Ada vendornya dari Jakarta, mereka nyewa lahan kampus selama sepuluh tahun,” jelasnya saat ditemui oleh Reporter Mimbar Untan.
Mela Melinda menjelaskan bahwa sistem Smart Parking telah diterapkan di sejumlah titik kawasan strategis kampus seperti area BNI, Auditorium, Gedung Olahraga (Gor) Untan, dan Perpustakaan Pusat Untan. Sedangkan kawasan lain seperti Cafe 5CM, yang dekat dengan Fakultas Teknik, tidak termasuk dalam area yang dikelola oleh sistem tersebut.
Ia menambahkan bahwa secara aturan, mahasiswa memang tidak dikenakan biaya parkir. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi.
“Kalau mahasiswa itu enggak bayar sih, asalkan dia nunjukin KTM secara fisik, bukan yang dari HP. Itu digratiskan selama dari hari Senin sampai Jumat,” ungkapnya.
Kendati demikian kebijakan gratis tersebut juga memiliki batas waktu yang ketat. Setelah jam tertentu, mahasiswa akan dianggap sebagai pengunjung umum dan otomatis dikenakan tarif sesuai ketentuan.
“Gratisnya dari jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Kalau malam tetap bayar, walaupun bawa KTM. Karena sudah di luar jam perkuliahan,” tambahnya.
Tarif yang berlaku yakni berkisar Rp2.000 untuk motor dan Rp3.000–Rp5.000 untuk mobil, tergantung pada lamanya kendaraan terparkir. Aturan ini tampak sederhana, tetapi bagi sebagian mahasiswa, ketentuan yang terlalu teknis itu justru menyingkap persoalan lebih dalam mengapa lahan kampus yang seharusnya menjadi ruang belajar publik, kini bisa disewakan ke pihak swasta dengan mudah dalam meraup keuntungan?
Baca Juga: Usut Tuntas Palang Parkir di Untan: Penjelasan di Balik Pemasangannya
Keresahan mahasiswa datang dari Rijal (nama samaran), yang hampir setiap hari memarkir motornya di kawasan Perpustakaan Pusat. Ia mengaku, di balik kesan modern yang dibangun, Smart Parking justru menambah beban bagi mahasiswa.
“Saya sebagai mahasiswa jadi merasa terbebani, karena kadang-kadang lupa bawa KTM. Kalau enggak bawa KTM, dengar-dengar juga bayar padahal kampus sendiri,” katanya dengan nada kecewa.
Baginya, kebijakan ini terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan realitas sederhana kehidupan mahasiswa. Karena tidak semua mahasiswa setiap hari membawa KTM fisik, apalagi jika hanya datang sebentar untuk membaca atau mengerjakan tugas.
Ia merasa kebijakan Smart Parking menunjukkan kecenderungan kampus yang semakin berpihak pada keuntungan finansial ketimbang kenyamanan mahasiswa.
“Katanya demi keamanan, tapi kok malah terasa seperti menekan mahasiswa, seharusnya juga mempermudah bukan menyulitkan mahasiswanya,” lanjutnya.
Rijal menyebutkan kampus tidak sekadar mengadopsi sistem digital tapi harus memikirkan aspek sosial di baliknya. Bagi mahasiswa, modernisasi tidak seharusnya diartikan sebagai pembatasan. Kampus, katanya yang seharusnya menjadi tempat belajar yang terbuka, bukan sekadar ruang berbayar yang dikontrol mesin.
Suara serupa juga datang dari Muhammad Iqbal, mahasiswa yang aktif salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sarang Semut. Ia mengaku sering beraktivitas di Komplek UKM yang berada didalam kawasan Auditorium salah satu area yang juga terdapat sistem Smart Parking. Di tempat itulah, ia dan rekan-rekan UKM kerap mengadakan kegiatan dan latihan hingga malam hari.
“Awalnya kami kemarin waktu UKM itu disuruh bawa KTM. Nah, kami kira memang untuk Smart Parking itu. Cuma ternyata enggak, rupanya perlu bayar juga meski udah kita kasih KTM-nya,” ceritanya.
Iqbal mengatakan, kebijakan Smart Parking sangat tidak realistis bagi mahasiswa yang aktif di organisasi kampus dan justru semakin mempersempit ruang kebebasan bagi mahasiswa berorganisasi.
“Gratisnya cuma sampai jam lima sore. Kami sering latihan sampai malam. Begitu keluar, tetap bayar, padahal kami bukan pengunjung luar. Rp2.000 itu mungkin kecil, tapi kalau tiap hari keluar masuk kampus, terasa juga. Lama-lama ini jadi bentuk tekanan kecil yang terus diulang,” keluhnya.
Menurut Iqbal, kampus seharusnya peka terhadap realitas bahwa kegiatan mahasiswa tidak berhenti di jam perkuliahan. Banyak organisasi mahasiswa beraktivitas hingga larut malam demi menjalankan program kerja dan kelancaran organisasi, namun kini justru dibebani tarif parkir. Apalagi Smart Parking yang didirikan sekitaran kawasan Auditorium, katanya untuk meminimalisir parkir liar, justru didepan Smart Parking terdapat parkir liar dan mempersempit jalan.
“Di depan (komplek UKM) ada UMKM itu kan ada parkir liar juga. Nah, di sana itu kadang-kadang rame jadi tempat orang-orang belanja dan motor-motor banyak di parkir liar. Kami yang UKM mau masuk komplek itu susah masuk, karena jalan sempit,” ungkapnya.
Baca Juga: Apakah Lingkungan Kampus Untan Sudah Benar-Benar Aman?
Kritik juga datang dari Nurhaliza. Ia mengaku kebijakan Smart Parking sejak awal membingungkan mahasiswa karena tidak disertai sosialisasi yang memadai sejak diberlakukannya.
“Awalnya tiba-tiba ada palang parkir tanpa ada himbauan dulu dari kampus tentang bagaimana sistem palang parkir, apakah mahasiswa masih harus membayar atau tidak. Jadi belum ada himbauan, tiba-tiba udah ada palang parkir,” ujarnya.
Bagi Nurhaliza, kebijakan Smart Parking seolah dibuat terburu-buru tanpa memperhitungkan dampak bagi mahasiswa yang sering berkegiatan di luar jam kuliah.
“Kegiatan kami sering di hari libur atau malam. Tapi jam gratis cuma sampai lima sore. Harusnya kampus paham, mahasiswa itu bukan pekerja kantoran,” tegasnya.
Ia menambahkan, mahasiswa yang organisasi justru menjadi kelompok yang paling terdampak karena sering kali harus membayar parkir.
“Seharusnya mahasiswa tidak usah bayar, karena itu kegiatan kampus juga. Kami sudah bayar UKT, sudah bayar yang lainnya. Harusnya untuk mahasiswa itu ada kartu terpisah, contoh kartu khusus untuk UKM. Jadi tidak perlu bayar,” jelasnya.
Lebih jauh, Nurhaliza menilai keberadaan Smart Parking memperlihatkan arah kebijakan kampus yang semakin menekankan pada komersialisasi ketimbang pelayanan.
“Yah dulu kami bisa bebas keluar masuk, terutama ketika kita ke komplek UKM, sekarang (keberadaan smart parking) harus ingat jam, ingat kartu, dan ingat uang,” ujarnya dengan nada kecewa.
Dari berbagai keterangan tersebut, tampak jelas bahwa kebijakan Smart Parking menghadirkan dua sisi yang saling bertentangan. Di satu sisi, sistem ini memang berhasil membuat kawasan kampus lebih tertib dan terorganisir. Namun di sisi lain, mahasiswa kehilangan keleluasaan dan kenyamanan untuk beraktivitas di lingkungan kampus sendiri yang terdapat area Smart Parking.
Palang otomatis yang berdiri di setiap gerbang kini bukan sekadar alat parkir, tetapi simbol baru dari bagaimana kampus menilai. Bahwa mahasiswa tidak lagi diperlakukan sebagai pemilik ruang akademik, melainkan sebagai pengguna yang diatur, dibatasi, bahkan dikenakan tarif.
Penulis: Judirho
Editor: Fitri